Header Ads

Aplikasi Teori Strukturasi dari A. Giddens terhadap Sejarah Indonesia Termutakhir


Hasil gambar untuk INDONESIAAplikasi teori strukturasi dari A. Giddens terhadap sejarah Indonesia termutakhir bisa untuk melihat kondisi peristiwa Lampung tahun 1989, atau yang oleh orang Lampung sendiri lebih dikenal sebagai peristiwa Talang Sari. Ketika masa pemerintah Orde Baru yang begitu represif dan ketatnya kontrol negara terhadap segala macam kehidupan berbangsa yang di sokong oleh ABRI dan Golkar, membuat seolah pemusatan kekuatan politik (sentralisasi) adalah satu-satunya cara yang dianggap tepat untuk mengelola dan mengawasi keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia. Akibatnya setiap rakyat, atau dalam hal ini yang terdiri dari berbagai etnis kesukuan yang beranekaragam jarang terjadi konflik karena begitu ketatnya kontrol negara. Namun yang terjadi kebanyakan malahan adalah konflik antara rakyat dengan negara.


Bagaimana represifnya ABRI sebagai garda terdepan kekuatan Orde Baru dengan membawa dasar alasan demi keutuhan negara dan Pancasila bisa bebas melakukan penertiban paksa pada setiap kegiatan atau tindakan setiap warga negaranya yang terindikasi mengancam kedaulatan dan kekuasaan Orde Baru. Negara punya peraturan-peraturan yang cukup ketat dalam mengatur keragaman rakyatnya. Hal ini berdampak pada kondisi rakyat yang mau tidak mau harus menuruti struktur yang dibuat oleh pemerintah, seperti di larang berambut Gondrong, di larang menyanyikan lagu ­cengeng, larangan melakukan aksi demo, dsb. Kondisi ini memang menciptakan ketertiban kehidupan bernegara yang ditandai jarang terjadinya konflik dilapisan bawah.

Kontrol negara yang ketat hamper-hampir tidak memungkinkan setiap warga negara mempunyai kebebasan dalam melakukan sebuah tindakan. Golongan pengajian yang di pimpin oleh Warsidi di Lampung Timur akhirnya di anggap sebagai sebuah bentuk Namun golongan kaum Islam yang tidak setuju dengan represifnya kontrol pemerintah Orde Baru yang mengharuskanNamun kondisi diatas tidak membuat kaum intelektual mahasiswa terkekang, sentralisasi yang dilakukan Orde Baru malah membuat Mahasiswa fokus tertuju pada satu tujuan untuk menuntut dilakukannya pembaharuan reformasi yang memberikan kebebasan pada setiap warga negaranya. Pemerintah Orde Baru dijadikan musuh besama dan ini menyatukan seluruh elemen gerakan mahasiswa yang berbeda ideologi. Disini mahasiswa sebagai aktor dalam perubahan. Adanya krisis moneter dan semakin melemahnya kekuatan Orde Baru membuat reformasi kemudian terjadi.

Berubahnya struktur dari Orde Baru yang represif ke reformasi yang memberikan kebebasan HAM menimbulkan konsekekuensi-konsekuensi baru. Perubahan unsur ruang dan waktu memungkinkan pemaknaan yang berbeda dari struktur sebelumnya. Tuntutan dari kaum intelektual untuk melakukan reformasi, yang ditandai dengan berakhirnya sentralisasi dan kemudian memunculkan desentralisasi berupa otonomi daerah ternyata memungkinkan terjadinya implikasi lain. 

Stuktur dalam reformasi ini yang memberikan kebebasan memberikan suara ternyata berdampak pada disintegrasi bangsa. Begitu banyak kita lihat pada masa reformasi ini ketegangan-ketegangan antar etnis bahkan yang mengancam keutuhan berbangsa. Lepasnya Timor Leste, Konflik dengan GAM, Konflik etnis di Poso, gerakan Papua Merdeka, Perang antar etnis Lampung dan Bali di desa Balinuraga serta konflik-konflik identitas lain merupakan implikasi-implikasi dari akomodasi kondisi-kondisi baru yang berbeda dari sebelumnya. Tindakan-tindakan mahasiswa dan kaum intelektual, meskipun mereka tidak menyadari akibat-akibatnya, telah menciptakan kondisi-kondisi baru sehingga orang lain harus memilih dalam struktural baru. Apa yang terjadi ini dalam modernitas masa kini oleh Giddens disebut sebagai konsep resiko.

No comments

Powered by Blogger.