UUPA
Setelah Indonesia
merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria
yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan
kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bagian yang cukup penting
dari UUPA antara lain ialah yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan
landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak atas tanah dan
pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Oleh Noer Fauzi (dalam Farida,
2002:1) menyatakan bahwa semenjak tanggal 24 September 1960, rakyat petani
mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan
pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran.
Bila ditinjau
secara seksama maka akan jelaslah bahwa UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17)
merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang
hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah. Dengan membaca
konsiderans maupun Penjelasan dari UUPA dan pasal 1 hingga pasal 19 UUPA, mapun
Ketentuan Konversi akan jelas tentang penetapan dari landreform di Indonesia
(A.P.Parlindungan, 1987:4).Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 17 UUPA
tentang batas maksimum-minimum pemilikan tanah dikeluarkan Undang-Undang No.56
Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dikenal sebagai UU
Landreform. Kemudian terhadap pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik
tanah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Perkembangan
lebih lanjut dari landreform di Indonesia dalam pelaksanaannya mengalami
stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas terkesan dianaktirikan dalam
kebijakan pembangunan bahkan baru pada tahun 1978 kemudian tahun 1983 dalam
GBHN secara tegas dinyatakan landreform sebagai suatu kemauan politik.
Perubahan jaman dengan adanya liberalisasi perdagangan menempatkan tanah
sebagai komoditi membuat masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
semakin kompleks dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai korban
arus kapitalisme global. Fenomena di atas terlihat jelas, dimana rejim orde
baru sejal awal langkah pemerintahannya telah meninggalkan roh dan semangat
UUPA yang populis dan diganti dengan kebijakan memfasilitasi akumulasi modal.
Diundangkannya UU
No.5/1960 (UUPA) mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya berlaku
di Indonesia, yakni Hukum Barat yang didasarkan pada Kitab undang-Undang Hukum
Perdata dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
penduduk sipil (adat) Indonesia.
Tujuan pokok dari
diundangkannya UUPA adalah (i) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum
agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan
dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat adil dan makmur, (ii) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, (iii) meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.
Latar belakang
dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena realitas
pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan
dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria
dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua
itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada
kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu
menunjukkan bahwa UUPA adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat
kerakyatan (populis). Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara
mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi
kepentingan rakyat petani. Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA (Anonim,
2002:3) yaitu:
hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat;
Eksistensi dan
wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak
Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33
UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Pelaksanaan
program landreform.
Asas-asas dan
ketentuan pokok landreform dijumpai dalam UUPA. Landreform dalam arti sempit
merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform Indonesia (Boedi
Harsono, 1999:350). Oleh Effendi Perangin (1986:121) membagi program landreform
dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas. Program landreform dalam arti
luas biasa disebut Agraria atau Reform atau Panca Program yang meliputi:
Pembaharuan hukum
agraria yaitu dengan mengadakan perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria
lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi jaman dan menggantikan dengan
perkembangan masyarakat modern.
Mengadakan
penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing konsesi colonial.
Mengakhiri
kekuasaan tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah banyak melakukan
pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.
Mengadakan
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan
hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
Mengadakan
perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana
sesuai dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan. Sedangkan pengertian program
landreform dalam arti sempit hanya mencakup program yang ke empat yang mencakup
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan
hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
UUPA sebagai
induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang
sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17. Untuk mencegah
hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7
yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam
pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10
yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh Sudargo
Gautama (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak menghalangi
terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja
hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah
perintah/kuasanya.
Selanjutnya dalam
pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam pasal 7 dan 10, maka
pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum luasnya tanah. Dengan adanya
ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah pada golongan-golongan
tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan pula dengan tujuan
landreform. Arman Makanu (2001:28) dikatakan bahwa pasal 17 UUPA ini juga
mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan landreform di
Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah kepada bekas
pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee. Oleh Boedi Harsono (1999:353)
dikatakan bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah
untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani
kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Dalam kerangka
pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA pemerintah
mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan, antara lain UU No.56
Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA, UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil,
Peraturan Pemerintah (PP) No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No.224/1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya
disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.
Keberadaan
aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform dapat
dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak memperlancar
program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang digunakan
oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi
nasional. Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini dengan
dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini konsep
tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu
dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan
pembangunan industri.
Fenomena yang
terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak
tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan menguasai tanah
melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan kepentingan umum, karena
berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah
yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai
ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian dalam
penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk mempertinggi
taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup diadakan penetapan luas maksimum
dan minimum saja, tetapi harus diikuti dengan pembagian tanah-tanah yang
melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan,
maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya misalnya pembukuan
tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk
mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada
waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
Ketimpangan dalam
pemilikan dan penguasaan tanah semakin nampak jelas akibat dari tidak meratanya
pendistribusian/pembagian tanah, hal ini dapat dilihat dari gejala, tanah-tanah
tersebut terakumulasi di tangan orang atau badan-badan tertentu. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Hery Haryadi, dosen Fakultas Hukum Unika (Anonim, 2001)
bahwa terjadi penyusutan luas lahan produktif. Termasuk penguasaan tanah yang
hanya dikuasai oleh segelintir orang. Kekhawatiran terbesar adalah akan
melambungnya harga tanah. Untuk memperkecil aksees dari ketimpangan itu, dia
menyatakan perlunya kesadaran akan aturan yang berlaku. Penegakan hukum yang
menyangkut masalah tanah sangat dipwerlukan agar jangan sampai tanah dikuasai
oleh orang atau badan tertentu saja. Bila itu terus berlanjut nanti akan banyak
lahan yang sia-sia, sebab disebuah lingkungan perumahan tidak semua lahan
tersebut digunakan. Padahal di sisi lain sekelompok masyarakat kecil kesulitan
mencari tanah untuk bercocok tanam.
Oleh sebagian
kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi ketimpangan dalam
penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang. Kebijakan pemerintah yang
lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah menempatkan tanah sebagai asset yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak heran bila banyak pihak yang
bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai penanaman modal tabungannya.
Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan mengurangi daya produksi
dipedesaan, karena berkurangnya kegiatan menggarap tanah atau tanah digunakan
untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan.
Werner Roll
(1981:70) menyatakan bahwa UUPA/Landreform yang diumumkan pada tahun 1961
-demikian juga dengan tindakan transmigrasi- tidak dapat mengatasi keadaan
pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak memiliki tanah.
Dalam
perkembangannya pelaksanaan landreform di Indonesia pun mengalami stagnasi,
tersendat-sendat, dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan
landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintah orde baru yang lebih
mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan
keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang
memang membutuhkan tanah. Heru menyarankan kebijakan pertanahan dalam rangka
landreform perlu ditinjau ulang .
Hal hampir senada
dikemukakan oleh Erman Rajagukguk (1985:331) beberapa UU dan peraturan
pelaksanaan UUPA sudah tiba waktunya mengalami perubahan, seperti pengurangan
luas batas maksimum umpamanya meenjadi 2 ha dan batas minimum ½ ha amat
diperlukan dengan alasan jika batas maksimum yang ada sekarang terus
dipertahankan maka tidak akan banyak tanah kelebihan yang dapat dibagikan
kepada petani gurem yang demikian besar jumlahnya.
Bila mencermati
uraian di atas maka UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya hanya berisikan
hal-hal yang pokok saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU
dan peraturan pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan
dan kesemuanya bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan
perkembangan masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah,
program landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung
oleh kemauan politik pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk
diperbaharui sesuai konsep pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung
ekonomi kerakyatan, demokratis, dan partisipatif.
Post a Comment