Header Ads

Memaknai Mitos dalam Penulisan Sejarah Jawa

Review

Anthony H. Johns mencoba melihat penulisan sejarah Jawa melalui dua tulisan klasik tentang Jawa, Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Johns memilih kedua karya itu karena keduanya sama-sama disusun dalam deskripsi naratif yang memiliki alur kronologis.  Kedua kronik ini memang penuh dengan cerita-cerita tidak masuk akal, penuh mitos. Dalam nilai-nilai barat, terutama sejarah positivistik, tulisan-tulisan dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi tentu saja akan dianggap tidak memiliki nilai historis, kedua karya itu akan dipandang hanya sebagai catatan folklore masyarakat Jawa bukan sebuah historiografi karena tidak menggunakan metode standar penulisan sejarah. Seperti catatan Johns bahwa beberapa peneliti Eropa melihat kedua naskah kronik itu, terutama bagian-bagian awal, sebagai cerita yang tak bernilai dan pengarangnya, baik Pararaton maupun Babad Tanah Jawi, dianggap tidak memiliki kemampuan dalam menyusun kronologi dan tidak bisa membedakan fakta ataupun fiksi.
            Sejarah positivistik pasti akan menyingkirkan cerita-cerita mitos dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi, menganggapnya tidak bisa digunakan—sebagai bagian dari historiografi Jawa—untuk memahami tokoh dan keadaan sosial politik masyarakat Jawa. Tetapi dalam tulisannya, John membaca mitos dalam kedua karya itu memiliki makna tersendiri untuk memahami pola penulisan dan bahkan kultur Jawa di masa lampau, di saat kedua karya itu ditulis. John mencoba melihat sesuatu dibalik mitos yang muncul dalam karya-karya itu. Ia menggunakan nilai-nilai budaya Jawa.
Terkait dengan prinsip-prinsip penjelasan sejarah, John memberikan analisisnya. Dalam  Pararaton misalnya, kisah-kisah mistis yang mengawali kehidupan Arok dalam budaya Jawa dimaknai sebagai bentuk perwujudan sakral seorang raja yang memiliki fungsi mikro dan makro dalam kehidupan serta raja yang dianggap memiliki sifat ilahiah, berbeda dengan orang-orang kebanyakan.  Perjumpaan Arok dengan pelbagai kelas sosial di Jawa representasi dari pemenuhan syarat atas fungsi-fungsi makro-mikro kosmosnya. Sementara aspek-aspek dewa-dewa yang melekat dalam diri Arok dianggap sebagai representasi sifat-sifat Ilahiahnya. John menjelaskan bahwa mitos-mitos dalam tulisan-tulisan awal Pararaton tidak hanya sekedar dongeng. Kisah-kisah itu menyatu dengan konsep raja dalam masyarakat Jawa, sehingga menurut John orientasi penulisan pararaton adalah untuk memberikan gambaran peran seorang raja dalam dunia orang-orang Jawa.

Begitu juga dengan Babad Tanah Jawi yang diawali dengan mitos bercampur genealogi yang kompleks. John memberikan analisis yang serupa bahwa percampuran unsur-unsur Hindu Budha dengan Islam merupakan ilustrasi penulis babad untuk menunjukkan legitimasi seorang Raja—terutama Panembahan Senopati—dalam menduduki tahtanya. Kisah-kisah awal yang rumit itu juga ditambah dengan perjumpaan-perjumpaan Senopati dengan hal-hal gaib, terutama dengan penguasa lau selatan, berfungsi sama seperti dalam Pararaton, untuk pemenuhan fungsi kosmis sang raja serta menunjukkan sifat-sifat ilahiah sang raja. Yang sedikit berbeda hanya dalam babad tanah Jawi—dalam konteks genealogi yang dituliskan—pujangga kraton Mataram mencoba menarik garis trah Senopati hingga Majapahit, dimana ia dinyatakan masih keturunan raja Majapahit, sementara penulis Pararaton tidak menghubungkan Arok secara genealogis dengan penguasa-penguasa Jawa terdahulu, sebelum kelahiran Arok. Dalam pola penulisan yang lain lagi, Johns menganalisa bahwa Babad Tanah Jawi sesungguhnya merupakan adaptasi dan revisi dari babad Pajang yang mendapat tambahan tulisan yang telah disesuaikan seperti kehendak penulis.   

No comments

Powered by Blogger.