Header Ads

Sex, Race and the Contract

Review chapter 3
Dalam bingkai conjectural histories, dimana catatan-catatan kelima penulis umumnya didasarkan pada terkaan semata atas realitas, Quilty mencoba melihat hubungan kolonial Inggris dengan kaum pribumi. Pertama terkait dengan “kontrak sosial”, dimana tercipta perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara manusia-manusia yang tergabung dalam komunitas tertentu. Teori ekonomi digunakan oleh para penulis untuk menunjukkan pola kontrak sosial yang adil dan sepadan. Disitulah para penulis mencoba memberi legitimasi atas kolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Sebuah kontrak sosial telah dibentuk: para sultan memberikan kekayaan [terutama hasil bumi dan tanah] untuk ditukarkan dengan perlindungan dan bantuan militer. Semua nampak sepadan dan adil seperti catatan Rafles atas kontrak sosial di Jawa dan sekitarnya serta Anderson atas kontrak sosial dengan raja Siak. Moral ekonomi liberal Adam Smith dipakai untuk legitimasi awal tentang kontrak sosial yang seimbang dan saling menguntungkan.
Tetapi Quilty menunjukkan bahwa kelima tulisan itu tidaklah menunjukkan kontrak sosial yang sepadan. Kelima penulis telah menggunakan pandangan John Locke. Kelima penulis, terutama Marsden, Raffles dan Crawfurd—yang memang para pejabat pemerintah kolonial murni—memandang kehidupan sosial politik pribumi seperti pandangan John Locke tentang tahapan patriarki, dimana kaum maskulin begitu dominan. Seperti yang diperlihatkan Marsden dalam catatannya tentang orang-orang Sumatra dan Raffles menuliskan hal yang sama dalam sejarah orang Jawa dan sekitarnya serta Crawfurd yang memandang penguasa pribumi (raja Jawa) memiliki pola patriarki yang sama. 
Kaum pribumi yang dipandang dalam konstruksi patriarki, memunculkan alasan kuat bagi kaum kolonial Inggris untuk masuk dan menawarkan kontrak yang tidak lagi seimbang kepada kaum pribumi. Kolonial Inggris memandang dirinya layaknya seorang “ayah” bagi pribumi yang dianggap seperti “anak”. Inilah relasi yang dibangun untuk menunjukkan superioritas kaum Eropa (Inggris) atas pribumi. Seperti pandangan Crawfurd atas kolonialisme, dimana ia percaya bahwa orang-orang Asia Tenggara berada jauh dibelakang kaum Eropa dalam segala aspek sosialnya dan tidak akan pernah menyamai Eropa. Nampaknya Crawford menggunakan nilai-nilai kultural barat untuk memandang dunia timur, dunia Asia Tenggara. 
Dalam superioritas Eropa ini, maka patriarki yang dijalankan telah menempatkan kaum pribumi, terutama kaum perempuan, dalam posisi subordinat. Kaum perempuan (pribumi) tidak berubah posisinya, karena memang demikian juga pandangan patriarki kaum pribumi. Dalam konteks perbudakan misalnya, nampak pandangan terbalik, sementara kaum pribumi masih menganggap perdagangan budak sebagai tindakan yang sah, kaum kolonial—seperti muncul dalam catatan Marsden, Crawfurd serta Rafles—menganggapnya sebagai tindakan tidak bermoral. Mereka telah menunjukkan penilaian-penilaian moral barat dalam teks-teks mereka, seperti yang ditunjukkan Quilty, untuk menentang perbudakan.   Tetapi moral Judgement yang mereka ungkapkan tidak mengubah apa-apa. Rafles dan Marsden sebagai pejabat publik yang memiliki wewenang juga tidak sanggup berbuat banyak. Karena realitasnya perbudakan masih terjadi secara luas. Dalam catatan Symes bahkan perbudakan memberikan keuntungan untuk menaikkan populasi perempuan di Penang. Perempuan menjadi komoditi yang menjanjikan. Dan nampaknya para penulis, terutama Rafles, merupakan orang-orang yang berfikir positif tentang pertumbuhan populasi. Mereka berfikir “lebih banyak orang akan lebih baik”. Teori populasi Robert Malthus, dimana ledakan penduduk berakibat kemiskinan, begitu ditentang terutama oleh Rafles. 
Pandangan bangsa Eropa sebagai ras unggul tetap dipegang dalam konteks perdagangan Asia Tenggara. Orang Eropa (terutama kaum kolonial) melihat diri mereka sebagai yang utama dan mengklasifikasikan ekonomi secara rasial. Mereka memperlihatkan posisi dominan seperti yang ditunjukkan oleh Crawfurd. Di sinilah nampak, seperti yang diperlihatkan oleh Quilty atas nilai-nilai barat yang ada dalam teks-teks kelima penulis itu, bahwa superioritas ras Eropa begitu kuat tertanam di Asia Tenggara.

Dalam konstruksi sosial di Asia Tenggara, kaum kolonial mepresentasikan diri sebagai pembaharu dan pembebas. Bayangan orang-orang Eropa (Inggris) atas dunia timur seperti yang ditulis oleh kelima penulis itu—seperti yang disimpulkan Quilty—ingin memperlihatkan secara tekstual bahwa kolonialisme telah menggerakan sejarah Asia Tenggara keluar dari tirani, despotisme, takhayul, dan kebebasan untuk menentukan aturan sesuai aturan kolonial.  Kelihatan bahwa teks-teks kelima penulis itu dipakai untuk menciptakan pandangan positif atas kolonialisme Inggris sehingga kepentingan-kepentingan Inggris tetap terjaga di negeri-negeri koloni Asia Tenggara, dimana kelima penulis—seperti yang dijelaskan oleh Quilty—semuanya merupakan pejabat-pejabat kolonial Inggris.  Karena kelima penulis adalah pejabat kolonial maka orientasi penulisan sejarah mereka juga nampak jelas. 

No comments

Powered by Blogger.