Header Ads

Review The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography

Oleh: Yudiyanto / 13/353715/PSA/7527 
         Melalui tulisan ini, sebenarnya Anthony H. Johns bermaksud menguraikan mengenai karya atau naskah-naskah yang mempunyai nilai penting dalam hal sosial budaya di Jawa. Naskah-naskah tersebut adalah Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Kedua naskah tersebut menjadi menarik diulas oleh Anthony Johns karena isi atau teks dalam naskah tersebut digunakan sebagai sumber sejarah yang memerlukan metode kritis, dimana dalam naskah itu sendiri mengandung unsur fakta yang perlu diuji kebenarannya disamping manfaat-manfaat yang kita ambil dalam rangka historiografi.
Anthony Johns memulai ulasannya dengan mencoba menjelaskan isi dari kedua naskah tersebut. Pararaton merupakan sebuah naskah yang berkaitan dengan raja-raja Jawa dari Jawa Timur. Pada bagian awal naskah ini menjelaskan mengenai usaha Ken Arok untuk menjadi raja dengan berbagai cara. Kisah Ken Arok yang berupaya menjadi raja cukup unik, dimulai dengan berupaya merebut perempuan cantik Ken Dedes dari Tunggul Ametung dan dalam menghancurkan Tunggul Ametung pun harus menggunakan keris sakti (Mpu Gandring). Suatu hal magic digambarkan dalam naskah ini, yaitu keris yang mempunyai kekuatan misterius. Kelak kematian Ken Arok pun juga tidak terlepas dari keris yang misterius tersebut.  
Naskah berikutnya adalah Babad Tanah Jawa. Naskah ini menceritakan tentang kerajaan Mataram Islam yang berkuasa di tanah Jawa. Diawali dengan munculnya kerajaan Demak setelah Majapahit runtuh, kemudian setelah Demak muncullah kerajaan Pajang yang kemudian digantikan kerajaan Mataram di pedalaman Yogyakarta. Kemunculan Mataram juga menjadi perhatian karena Panembahan Senopati yang sebenarnya tidak memiliki trah darah biru bisa menduduki tahta kekuasaan. Hal ini juga melalui proses yang dalam babad diceritakan penuh unsur magis atau mistis. Proses awal hingga akhir dalam naskah ini jelas merupakan istana centris, dimana Mataram Islam mendapat sorotan besar karena naskah ini dikeluarkan pada masa Sultan Agung di Mataram Islam.
Kedua naskah tersebut memiliki persamaan, yaitu sebagai upaya legitimasi seorang raja yang naik tahta secara tidak sah, dengan kata lain bukan merupakan garis keturunan yang berkuasa sebelumnya. Akan tetapi raja tersebut langgeng memerintah dan menurunkan raja-raja Jawa selanjutnya. Hal ini juga sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh naskah-naskah yang dibuat oleh pujangga-pujangga istana sehingga khalayak umum, terlebih rakyat mempercayai bahwa raja mereka memiliki kekuasaan yang benar-benar diperoleh dari Tuhan mereka. Unsur semacam inilah yang kemudian oleh penulis naskah tersebut dibuat dengan konsep mitologi, dimana penduduk Jawa benar-benar diselimuti unsur mitos pada waktu itu.
Anthony Johns menyatakan bahwa bagian awal dari Kitab Pararaton tidak dapat dianggap sebagai sejarah, artinya dalam tulisan tersebut terkandung unsur mitos yang perlu diuji kebenarannya. Namun setelah Ken Arok naik tahta, Kitab Pararton memiliki nilai sejarah yang tinggi dan ini didukung, baik oleh prasasti maupun sumber-sumber Cina. Selain itu, mitos tersebut juga diinterpretasikan oleh Anthony Johns sebagai bentuk pemahaman Orang Jawa terhadap fungsi penguasa bagi kehidupan manusia, dalam hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos serta sifat keilahian yang dimiliki oleh penguasa. Dengan demikian, mitos dapat dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.
            Tidak berbeda dengan Babad, dimana usaha Panembahan Senopati untuk naik tahta didramatisir dengan mendapatkan wahyu yang digambarkan turunnya bintang yang terang di atas kepala Panembahan Senopati dan juga dukungan Nyi Roro Kidul (tokoh mistis di Pantai Selatan Jawa) yang menjadi permaisurinya. Kebesaran wibawa kerajaan Mataram pun diselimuti oleh kekuatan yang berasal dari dunia luar, yakni dunia ghaib. Melalui hal ini masyarakat Jawa akan semakin mantap mengakui dan menghormati pemimpinnya. Hal ini juga tidak dapat dijadikan sejarah, namun fakta tersebut tetap dapat kita ambil sebagai gambaran terhadap kondisi masyarakat pada masa itu.
            Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa fakta sejarah tidak terletak pada peristiwanya, tetapi terletak pada penulis sejarah itu. Pada persoalan ini kita sebenarnya tidak perlu mempermasalahkan mengenai mitos dalam historiografi Jawa pada masa Mataram ataupun Singosari. Hal ini memang menjadi ciri khas pada masa itu. Setiap zaman memiliki jiwanya masing-masing. Tergantung kita yang menggunakan naskah-naskah tersebut untuk proses historiografi lebih lanjut secara bijaksana. Historiografi di negara-negara barat dengan di Jawa pada masa itu jelas berbeda, dan tentunya kita tidak bisa membandingkan untuk mencari kebenaran, karena sejarah bergantung pada subjektifitas masing-masing penulisnya.
            Jadi disini struktur sosial dan mitos dalam penulisan sejarah di Jawa sangat berperan penting untuk memberikan makna dalam tulisan itu sendiri. Struktur sosial dan mitos yang dibangun ternyata terbukti efektif untuk menegakkan kekuasaan raja-raja Jawa. Tanpa peran para pujangga tentu akan sulit membangun kepercayaan masyarakat yang justru memang mengharapkan pemimpin atau rajanya itu menjadi setengah dewa atau titisan dewa.  

            Mungkin karya sastra Jawa pada masa itu memang lemah secara metodologis. Hal ini dapat dimaklumi karena memang tujuan dari penulisan tersebut memang sesuai dengan kehendak penguasa kerajaan atau lebih bersifat politis. Apapun yang dapat memperkuat kedudukan atau legitimasi raja tentu akan menjadi isi dari karya sastra tersebut. Tujuan politis memang masih menyelimuti historiografi di Jawa bahkan di Indonesia sampai saat ini. Hal semacam inilah yang menjadi tugas sejarawan saat ini untuk mencoba mengubah paradigma tersebut.

No comments

Powered by Blogger.