Review The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography
Melalui
tulisan ini, sebenarnya Anthony H. Johns bermaksud menguraikan mengenai karya
atau naskah-naskah yang mempunyai nilai penting dalam hal sosial budaya di
Jawa. Naskah-naskah tersebut adalah Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Kedua
naskah tersebut menjadi menarik diulas oleh Anthony Johns karena isi atau teks
dalam naskah tersebut digunakan sebagai sumber sejarah yang memerlukan metode
kritis, dimana dalam naskah itu sendiri mengandung unsur fakta yang perlu diuji
kebenarannya disamping manfaat-manfaat yang kita ambil dalam rangka
historiografi.
Anthony Johns memulai ulasannya dengan
mencoba menjelaskan isi dari kedua naskah tersebut. Pararaton merupakan sebuah naskah yang
berkaitan dengan raja-raja Jawa dari Jawa Timur. Pada bagian awal naskah ini menjelaskan
mengenai usaha Ken Arok untuk menjadi raja dengan berbagai cara. Kisah Ken Arok
yang berupaya menjadi raja cukup unik, dimulai dengan berupaya merebut
perempuan cantik Ken Dedes dari Tunggul Ametung dan dalam menghancurkan Tunggul
Ametung pun harus menggunakan keris sakti (Mpu Gandring). Suatu hal magic
digambarkan dalam naskah ini, yaitu keris yang mempunyai kekuatan misterius.
Kelak kematian Ken Arok pun juga tidak terlepas dari keris yang misterius
tersebut.
Naskah berikutnya adalah Babad Tanah Jawa. Naskah ini
menceritakan tentang kerajaan Mataram Islam yang berkuasa di tanah Jawa.
Diawali dengan munculnya kerajaan Demak setelah Majapahit runtuh, kemudian
setelah Demak muncullah kerajaan Pajang yang kemudian digantikan kerajaan
Mataram di pedalaman Yogyakarta. Kemunculan Mataram juga menjadi perhatian
karena Panembahan Senopati yang sebenarnya tidak memiliki trah darah biru bisa
menduduki tahta kekuasaan. Hal ini juga melalui proses yang dalam babad
diceritakan penuh unsur magis atau mistis. Proses awal hingga akhir dalam
naskah ini jelas merupakan istana centris, dimana Mataram Islam mendapat
sorotan besar karena naskah ini dikeluarkan pada masa Sultan Agung di Mataram
Islam.
Kedua naskah tersebut memiliki persamaan, yaitu
sebagai upaya legitimasi seorang raja yang naik tahta secara tidak sah, dengan
kata lain bukan merupakan garis keturunan yang berkuasa sebelumnya. Akan tetapi
raja tersebut langgeng memerintah dan menurunkan raja-raja Jawa selanjutnya.
Hal ini juga sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh naskah-naskah yang dibuat
oleh pujangga-pujangga istana sehingga khalayak umum, terlebih rakyat
mempercayai bahwa raja mereka memiliki kekuasaan yang benar-benar diperoleh
dari Tuhan mereka. Unsur semacam inilah yang kemudian oleh penulis naskah
tersebut dibuat dengan konsep mitologi, dimana penduduk Jawa benar-benar diselimuti
unsur mitos pada waktu itu.
Anthony Johns menyatakan bahwa bagian awal dari Kitab
Pararaton tidak dapat dianggap sebagai sejarah, artinya dalam tulisan tersebut terkandung
unsur mitos yang perlu diuji kebenarannya. Namun setelah Ken Arok naik tahta, Kitab
Pararton memiliki nilai sejarah yang tinggi dan ini didukung, baik oleh
prasasti maupun sumber-sumber Cina. Selain itu, mitos tersebut juga
diinterpretasikan oleh Anthony Johns sebagai bentuk pemahaman Orang Jawa
terhadap fungsi penguasa bagi kehidupan manusia, dalam hubungan antara
mikrokosmos dan makrokosmos serta sifat keilahian yang dimiliki oleh penguasa. Dengan
demikian, mitos dapat dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Tidak berbeda dengan Babad, dimana
usaha Panembahan Senopati untuk naik tahta didramatisir dengan mendapatkan
wahyu yang digambarkan turunnya bintang yang terang di atas kepala Panembahan
Senopati dan juga dukungan Nyi Roro Kidul (tokoh mistis di Pantai Selatan Jawa)
yang menjadi permaisurinya. Kebesaran wibawa kerajaan Mataram pun diselimuti
oleh kekuatan yang berasal dari dunia luar, yakni dunia ghaib. Melalui hal ini
masyarakat Jawa akan semakin mantap mengakui dan menghormati pemimpinnya. Hal
ini juga tidak dapat dijadikan sejarah, namun fakta tersebut tetap dapat kita
ambil sebagai gambaran terhadap kondisi masyarakat pada masa itu.
Seperti yang telah kita ketahui
bersama, bahwa fakta sejarah tidak terletak pada peristiwanya, tetapi terletak
pada penulis sejarah itu. Pada persoalan ini kita sebenarnya tidak perlu
mempermasalahkan mengenai mitos dalam historiografi Jawa pada masa Mataram
ataupun Singosari. Hal ini memang menjadi ciri khas pada masa itu. Setiap zaman
memiliki jiwanya masing-masing. Tergantung kita yang menggunakan naskah-naskah
tersebut untuk proses historiografi lebih lanjut secara bijaksana.
Historiografi di negara-negara barat dengan di Jawa pada masa itu jelas
berbeda, dan tentunya kita tidak bisa membandingkan untuk mencari kebenaran,
karena sejarah bergantung pada subjektifitas masing-masing penulisnya.
Jadi disini struktur sosial dan
mitos dalam penulisan sejarah di Jawa sangat berperan penting untuk memberikan
makna dalam tulisan itu sendiri. Struktur sosial dan mitos yang dibangun
ternyata terbukti efektif untuk menegakkan kekuasaan raja-raja Jawa. Tanpa
peran para pujangga tentu akan sulit membangun kepercayaan masyarakat yang
justru memang mengharapkan pemimpin atau rajanya itu menjadi setengah dewa atau titisan dewa.
Mungkin karya sastra Jawa pada masa
itu memang lemah secara metodologis. Hal ini dapat dimaklumi karena memang
tujuan dari penulisan tersebut memang sesuai dengan kehendak penguasa kerajaan
atau lebih bersifat politis. Apapun yang dapat memperkuat kedudukan atau
legitimasi raja tentu akan menjadi isi dari karya sastra tersebut. Tujuan
politis memang masih menyelimuti historiografi di Jawa bahkan di Indonesia
sampai saat ini. Hal semacam inilah yang menjadi tugas sejarawan saat ini untuk
mencoba mengubah paradigma tersebut.
Post a Comment