G 30 S dan Monumenisasi Sejarah
Oleh: Dian Purba
Nggak
punya senjata. Nggak punya senjata! Yang dihadapi bersenjata. Pada 30 September
1965 Angkatan Darat bunuhin semua… bunuhin mereka
sehingga nggak punya kekuatan apa-apa. Menurut Domo [Sudomo, pensiunan laksamana]
dua juta yang dibunuh.
Mengenang peristiwa 48 tahun silam itu
kini boleh jadi tidak begitu bergema kuat, alih-alih nyaris pupus dari
kesadaran sejarah. Atau, barangkali, kita masih ingat tanggal dan tahun itu
namun tak lebih tak kurang sebagai penanda di tanggal 30 September semata.
Karena memang begitulah, bendera setengah tiang yang kita pacakkan di pagar
rumah di tanggal itu di keesokan hari bendera itu akan kita simpan kembali di
lemari. Tak ada yang keliru di sana hingga kita kemudian sadar: peristiwa Gerakan 30
September 1965 dan rentetan peristiwa setelahnya pantas disandingkan
“kemegahannya” dengan dua peristiwa sejarah bangsa Indonesia: Sumpah Pemuda
1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Peristiwa G30S 1965 sesungguhnya
bukanlah peristiwa yang dahsyat bila kita menghitung dari jumlah korban yang
meninggal. Yang membuat gerakan ini menjadi peristiwa yang dikutuk sepanjang
Orde Baru berkuasa, alih-alih di jaman reformasi, hanyalah karena saat-saat
yang sudah lama ditunggu oleh mereka yang antikomunis telah tiba. Saat-saat
paling tepat menghantam PKI yang memang sudah lama ingin dibinasakan. Saat itu
adalah saat Aidit dan Sjam dari PKI, Untung dari Cakrabirawa (pasukan kawal
presiden), Latief dari Angkatan Darat, dan Soejono dari Angkatan Udara memutuskan
menculik tujuh jenderal dan akan menghadapkan mereka ke presiden. Mereka
menamai gerakan mereka Gerakan 30 September.
Ketujuh jenderal itu didesas-desuskan
telah membentuk Dewan Jenderal yang akan mengkudeta Presiden Sukarno. Presiden Sukarno
yang sudah kerap sakit menimbulkan kesimpangsiuran: siapa kelak penggantinya?
Desas-desus kudeta itu semakin nyaring tatkala Sukarno di bulan Agustus 1965 mesti
berobat ke Cina. PKI, partai yang sangat dekat dengan Sukarno, tentu menjadi
pihak yang paling kuatir dengan situasi itu. Kekuatiran itu sangat berdasar
mengingat Sukarno semenjak Demokrasi Terpimpin dilaksanakan menjadi semakin
dekat dengan PKI. Sementara itu juga Sukarno menjaga keseimbangan hubungan
dengan tentara, khususnya Angkatan Darat.
PKI menjadi pendukung setia untuk mensukseskan
program-program Sukarno. Tentu saja, dukungan paling kuat PKI adalah jutaan
massa yang mereka miliki. PKI, misalnya, menyambut luar biasa ambisi besar Sukarno
mengganyang Malaysia tahun 1965. PKI memaknai ajakan itu dengan mengajukan
gagasan yang membuat merah telinga, untuk tidak mengatakan menggetarkan,
Angkatan Darat: pembentukan angkatan kelima. Pembentukan angkatan tambahan ini ditentang keras Angkatan Darat. Mereka
melihatnya sebagai upaya PKI untuk mendapatkan senjata agar dapat melakukan
pemberontakan.
PKI juga begitu riang hendak selekas
mungkin mewujudkan land reform-nya Sukarno,
yang diatur pada Undang-undang Pokok Agraria. Berbeda dengan seruan mengganyang
Malaysia, land reform bagi PKI jauh
lebih “seksi” karena menyangkut langsung terhadap kehidupan praktis para petani
miskin dan petani tak bertanah, penyumbang mayoritas anggota mereka. Land reform menjadi madu bagi partai ini
yang mampu menarik tambahan anggota yang sangat signifikan. Tujuan besar undang-undang
ini adalah untuk merangsang peningkatan produk pertanian oleh para produsen
kecil yang mandiri maupun menjamin hubungan produksi yang wajar di pedesaan.
Kedekatan PKI dengan Sukarno dan
kekuatiran tentang sakitnya Sukarno ditambah desas-desus kudeta yang semakin
kencang di awal-awal bulan September itu membuat D. N. Aidit berpikir keras. Andai
Sukarno dikudeta oleh beberapa jenderal itu akan mengirim partai yang
dipimpinnya menemui jurang kebinasaan. Memilih PKI hancur saat Peristiwa Madiun
tahun 1948 meletus tentulah bukan pilihan bijak.Maka D. N. Aidit menyisakan tiga pilihan yang bisa dia gunakan menghadapi
situasi yang semakin kalut itu. Pilihan pertama ialah memberi kesempatan Sukarno menangani sendiri masalah
dengan jenderal-jenderal sayap kanan tersebut. Menurut Aidit Sukarno bisa saja
memecat Ahmad Yani sebagai panglima Angkatan Darat dan menggantikannya dengan
jenderal yang lebih berhaluan kiri. Namun, saat itu adalah saat di mana Sukarno
tidak mempunyai kendali cukup kuat atas militer. Pendukung fanatik Sukarno di
militer boleh jadi berjumlah tak sedikit. Pertanyaannya kemudian adalah apakah
itu akan menjamin setipa perintahnya akan dilaksanakan? Bisa saja Ahmad Yani
memutuskan untuk membangkang perintah Sukarno. Apakah kemudian Sukarno akan
tetap ngotot dan memaksa Yani untuk mundur tanpa menimbulkan pertempuran
berdarah antara berbagai satuan-satuan militer? Aidit tidak memilih jalan ini.
Dia mempunya alasan untuk takut bahwa saat Sukarno mengganti Yani akan
melahirkan kup kepada Sukarno dan Aidit kuatir Sukarno tidak akan mempunyai
kekuatan menghadapi bentrokan dengan pimpinan tertinggi Angkatan Darat.
Pilihan Aidit jatuh kepada kekuatan
pendukung partai, yaitu dua puluh tujuh juta orang yang selalu digemakan Aidit
dalam pidato-pidatonya. Pengerahan massa sebanyak itu ke jalan-jalan akan
menghadirkan tantangan hebat bagi jenderal-jenderal Angkatan Darat. Kondisi
saat itu memang membuat PKI hakul yakin bahwa mereka telah mencapai suatu tahap
di mana mereka bisa melancarkan pukulan pamungkas terhadap pimpinan tertinggi
Angkatan Darat. Namun, sekali lagi, pertimbangan Aidit kemudian membatalkan
jalan pengerahan massa. Aidit menyadari betul bahwa partainya, betapapun itu
besar dan berpengaruh, bukanlah satu organisasi yang mempunyai senjata. Sesuatu
yang mesti dimiliki untuk menghadapi senapan mesin dan tank militer. Aidit
tidak ingin melihat massa partainya digiring layaknya seperti domba-domba ke
penjagalan jika PKI diserang jenderal-jenderal sayap kanan itu secara
besar-besaran.
Pilihan terakhir, pilihan yang akan
dilakoninya kemudian, adalah mendahului kudeta. Pilihan ini mensyaratkan
penggunaan perwira militer progresif di angkatan bersenjata yang bersimpati
kepada Sukarno dan partai untuk menyerang jenderal-jenderal sayap kanan
tersebut. Menurut Aidit partai akan diuntungkan dengan pilihan ini karena
rencana ini tidak akan membahayakan jiwa massa partai yang tak bersenjata.
Aidit ingin memanfaatkan kontak mereka di kalangan militer yang sudah lama
mereka bangun. Untuk keperluan ini, Aidit mempercayakan penghubungan partai
dengan para perwira itu kepada Sjam Kammaruzaman. Tindakan mendahului kudeta,
menurut Aidit, akan mendatangkan dua keuntungan sekaligus: menghindari
kelihangan nyawa massa partai dan PKI akan muncul sebagai juru selamat Sukarno
dan seluruh program-programnya.
Begitulah. Gerakan ini tidak berjalan
mulus. Tujuan awal mereka untuk menghadapkan tujuh jenderal itu ke hadapan
Sukarno dan meminta Sukarno menanyai mereka tentang hasrat mengkudeta itu dan
bila perlu memecat mereka dari jabatannya berakhir tragis. Gerakan ini memang
dirancang tidak sempurna. Gerakan ini tidak didesain sebagai sebuah gerakan
militer, bentuk gerakan yang justru dihasratkan Aidit. Dalam pandangan Aidit,
gerakan ini di muka akan tampak seperti gerakan militer murni, gerakan internal
Angkatan Darat. Para perwira progresif itu akan menculik tujuh jenderal itu
lantas membawa mereka ke istana, menghadapkan mereka ke presiden, lalu meminta
penjelasan dari mereka tentang pembentukan Dewan Jenderal itu. Sementara itu
PKI akan menyediakan massa. Aidit mengharapkan gerakan ini akan seperti gerakan
“sumbu”: ledakan-ledakan akan terjadi di daerah saat sumbu utama sudah
dinyalakan di pusat. Gerakan ini mengharapkan di daerah-daerah akan terbentuk
Dewan Revolusi, dewan tandingan Dewan Jenderal. Gerakan ini mendambakan
pembersihan perwira-perwira militer sayap kanan di tubuh Angkatan Bersenjata.
Apa yang terjadi kemudian dengan Gerakan
30 September adalah ketidakadaan strategi matang. Mereka tidak memperhitungkan
matang-matang apa yang akan terjadi seandainya gerakan itu gagal. Kesalahan
yang lain, gerakan ini tidak memiliki kesatuan komando. Barangkali kesalahan
paling fatal adalah ketika pucuk pimpinan gerakan ini dipercayakan kepada Sjam,
tangan kanan Aidit yang orang sipil. Ini terbukti dari terbunuhnya tiga
jenderal saat aksi penculikan, sesuatu di luar rencana. Sjam salah menempatkan
pasukan penculiknya. Kebanyakan dari pasukan itu adalah pasukan yang belum
terlatih bertempur. Ketidaktepatan pemilihan pasukan inilah yang kemudian
menjawab kematian tiga jenderal itu dan juga lolosnya Nasution.
Lolosnya Nasution dan terbunuhnya tiga
dari enam jenderal yang diculik itu membuat gerakan ini hancur lebur. Mereka kemudian
memutuskan untuk membatalkan rencana menghadapkan jenderal-jenderal itu kepada
Sukarno. Tidak mungkin mereka membawa tiga jenazah berdarah-darah yang tak
bernyawa itu ke istana presiden. Karena sudah tidak memungkinkan menghadapkan para jenderal itu ke istanalah
kemudian membuat mereka menghabisi tiga nyawa jenderal lain yang masih hidup.
Bagi mereka orang yang paling penting dihadapkan ke presiden adalah jenderal
Nasution. Di titik ini sesungguhnya boleh disebut sebagai titik puncak Gerakan 30
September. Titik puncak yang menyatakan gerakan itu gagal. Gagal karena
kemudian Sukarno tidak mendukung gerakan ini. Andai ketiga jenderal itu tidak terbunuh kemungkinan besar Sukarno akan
mendukung gerakan mereka karena di kemudian hari Sukarno mengomentari gerakan
itu sebagai “riak gelombang di samudera luas”. Kegagalan gerakan itu semakin
disempurnakan oleh pengumuman mereka radio di sore hari 1 Oktober 1965. Sjam
dan Aidit tidak ingin gagal terlalu dini. Lewat pengumuman radio: mereka
“mendemisionerkan” kabinet Sukarno yang ada dan memberi “segenap kekuasaan
Negara” kepada Dewan Revolusi Indonesia. Pengumuman inilah kemudian menjadi titik berangkat Suharto menuduh gerakan ini
sebagai gerakan yang hendak mengkudeta Sukarno.
Terror
dan propaganda
Gerakan 30 September dalam bentuk
sederhananya adalah gerakan gabungan antara beberapa perwira progresif di
angkatan bersenjata (Untung, Latief, Soejono) dengan segelintir orang dari PKI (Aidit
dan Sjam) yang tidak ingin menyaksikan presiden mereka dikudeta sehingga mereka
mendahului mengkudeta para jenderal sayap kanan itu. Perlu ditekankan: PKI
secara lembaga tidaklah terlibat. Namun, keliru semata menghilangkan peran
Aidit dan Sjam. Dengan demikian, pelaku gerakan gagal ini selayaknya diajukan
ke pengadilan atas tuduhan pembunuhan. Begitu saja. Namun tidak bagi Suharto.
Momen ini sudah begitu lama didambakan
dan dinanti Angkatan Darat. Sukarno yang semakin condong ke kiri mereka maknai
sebagai pertanda buruk. PKI yang semakin merapat ke Sukarno semakin melengkapi
keburukan itu. Melakukan aksi terang-terangan menentang Sukarno jelas-jelas
membawa mereka ke kemustahilan. Sukarno masih begitu dicintai rakyatnya. Dia
begitu berwibawa di hadapan bangsanya. Melawan Sukarno adalah melawan rakyat.
Dan kebanyakan dari rakyat itu merupakan anggota Partai Komunis Indonesia, juga
para simpatisan partai. Ketika Gerakan 30 September mengumumkan pengumuman
mereka terakhir di sore hari itu, itulah saat-saat bagi Suharto melengkapi
momen bahagia itu. Apa yang dilakukan Suharto kemudian?
Gerakan 30 September, tulis John Roosa,
menerobos sebuah institusi bersenjata, yang mengetahui dengan tepat bagaimana
harus bereaksi. Bahkan andaikata PKI tidak terlibat sekalipun, hampir bisa
dipastikan kesalahan dilemparkan kepadanya. Menurut Roosa gerakan ini gagal
bukan karena sebelumnya direncanakan untuk gagal, tapi karena ia diorganisasi
dengan cara yang sangat buruk dan karena Angkatan Darat telah mempersiapkan
pukulan balik. Pukulan balik yang telah dipersiapkan Angkatan Darat itulah kemudian yang akan
mengubah selamanya wajah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ke dampak pukulan
balik itulah sesungguhnya perhatian kita mesti lebih banyak difokuskan. Karena
memang hal yang jauh lebih penting adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan
Angkatan Darat setelah Gerakan 30 September yang berlangsung sangat cepat,
berskala kecil, bersifat tertutup itu dan masyarakat umum tidak diberi
kesempatan mengetahui gerakan itu sendiri secara langsung dan menyeluruh.
Gerakan ini yang “hanya” menghilangkan
dua belas nyawa namun bagi Suharto sudah cukup menjadi pemantik untuk membunuh tanpa pandang
bulu anggota PKI dan simpatisannya. Suharto memutarbalikkan situasi sehingga
apa yang kita pahami sekarang tentang peristiwa itu sebagai aksi kudeta PKI terhadap
Sukarno justru menjadi awal bagi Suharto melakukan kudeta. Suharto justru
menjadikan tanggal 1 Oktober sebagai awal kudeta yang sesungguhnya dan berakhir
secara de facto dengan pengangkatan
Suharto sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan penunjukkannya secara
resmi sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
Hari-hari antara 4 Oktober 1965 hingga jauh ke tahun 1966, bahkan hingga tahun-tahun sesudahnya, menjadi pesta
pora pembunuhan massal tak kenal ampun. Ada beberapa versi jumlah korban pembantaian. Dari beberapa daftar korban yang
diterakan Robert Cribb, perkiraan Mellor jumlah korban mencapai 2.000.000 jiwa. Pembunuhan paling ganas berlangsung di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Untuk
Bali menjadi daerah pembantaian massal paling beringas dalam hal proporsi
penduduk yang terbunuh. Sebanyak 80.000 orang nyawa melayang antara Desember
1965 dan awal 1966. Jumlah ini setara dengan lima persen penduduk Bali yang
berjumlah sekitar dua juta jiwa saat itu. Jumlah korban akan semakin banyak bila kita memperhitungkan ribuan tahanan yang
dikirim ke Pulau Buru. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa anggota partai palu
arit itu dan para simpatisannya mesti dibantai dalam jumlah yang sangat
mencengangkan itu?
Menurut Julie Southwood dan Patrick
Flanagan Suharto membutuhkan situasi semacam itu untuk mendukung konsolidasi
kekuasaan yang dilakukan Suharto dan para pendukungnya guna mengambilalih
kontrol militer di Jakarta pascakudeta. Posisi rezim baru itu belum aman. Rezim
ini belum dapat menggenggam dan menjalankan kekuasaan sepenuhnya sampai mereka
menghilangkan satu-satunya kekuatan politik alternative dalam masyarakat
Indonesia—PKI dan basis dukungan populernya.[22]
John Roosa dalam satu tulisannya berpendapat Suharto mengambil tindakan semacam
itu untuk memastikan bahwa Amerika Serikat akan mengakui mereka sebagai
kelompok antikomunis yang sangat gigih, lalu memberi mereka imbalan berupa
pemberian bantuan dari AS yang berlimpah-limpah—bantuan yang sangat penting
demi kelanjutan kekuasaan diktator militer yang sudah direncanakan. Namun, kalau kita bertanya sekali lagi, apakah semua alasan itu cukup mumpuni
menjadi pembenar untuk pembantaian massal itu? Apakah semua alasan itu sanggup
menjadi prasyarat maksimum untuk membunuh ratusan ribu orang?
Mari kita kembali ke masa saat land reform begitu bergelora
diperjuangkan partai di akar rumput. Kelak rezim Orde Baru dan kaum agamawan
menjadikan isu ini menjadi pembenar untuk pembantaian massal itu. PKI memaknai
Undang-undang Pokok Agraria sebagai alat untuk meredistribusikan tanah.
Undang-undang ini diprakarsai Sukarno dan PNI dan disahkan atas desakan PKI.
Selepas undang-undang ini disahkan segera memecah konsentrasi besar tanah di
pedesaan Jawa. Undang-undang ini sesungguhnya tidak bertujuan untuk membagikan tanah
secara paksa kepada orang-orang miskin, tetapi ditujukan untuk membantu para
pemilik tanah kecil yang baru saja kehilangan tanahnya atau akan kehilangan
tanahnya karena utang. PKI kemudian menjadikan undang-undang itu melahirkan
isu. Mereka menjadikannya menjadi masalah rakyat dengan mengaitkannya pada
upaya pemilik tanah untuk membatasi partisipasi dalam produksi, terutama pada
saat panen. Para pemilih tanah menyiasati tuntutan undang-undang itu. Mereka
membagi-bagi tanah mereka kepada sanak saudara, atau menyumbangkannya kepada
lembaga agama, terutama masjid dan pesantren. Inilah yang membuat PKI kemudian
mengumumkan “aksi sepihak”. Mereka menuntut land
reform segera dilaksanakan. Mereka menuntut reformasi kepemilikan tanah.
Mereka berkampanye untuk melawan tujuh setan desa. Di beberapa tempat mereka
merebut tanah dari tuan tanah dan mengembalikannya kepada pemilik semula.
Mayoritas pemilik tanah yang menjadi korban perebutan tanah itu adalah santri
pendukung Nahdlatul Ulama. Tindakan “aksi sepihak” ini memunculkan ketegangan
begitu besar di pedesaan Jawa. Kaum agamawan kemudian menjadikan aksi ini
menjadi motif pembantaian.[24]
Selain itu juga, kalangan militer menjadi salah satu pihak lain yang dirugikan
dengan penerapan undang-undang itu. Penguasaan militer atas beberapa perkebunan
dan juga kedekatan kaum tuan tanah dengan mereka akan kepentingan mereka.[25]
Untuk daerah Bali, “aksi sepihak” PKI
ini juga menjadi motif utama pembantaian. Penerapan land reform di Bali dimulai secara resmi pada 1 Januari 1961.
Proses implementasinya adalah pembentukan komite land reform, komite registrasi tanah dan badan pekerja di tingkat
kabupaten, kecamatan, dan desa. Tugas komite-komite ini adalah mengawasi
registrasi tanah yang melebihi batas maksimum dan membuat keputusan yang
sensitif secara politis tentang tanah yang hendak didistribusikan. Komite ini
juga bertugas memastikan bahwa para pejabat pemerintah berperan lebih besar
dalam keputusan pendistribusian tersebut.[26]
PKI dan BTI (Barisan Tani Indonesia)
sangat agresif mendesak pelaksanaan land
reform. Keagresifan itu berbuah manis. Popularitas partai ini meningkat
tajam. Tentu saja banyak petani-petani miskin dan mereka yang tak bertanah
memandang agresifitas partai itu sebagai harapan baru. Daerah-daerah perkebunan
yang menjadi kantong-kantong petani miskin yang dicekik oleh sewa-garap tanah
yang tinggi menjadi lahan basah bagi PKI untuk menyerang para tuan tanah.
Militansi kaum tani menjadi ancaman nyata bagi para tuan tanah dan militer yang
sudah lama bercokol setelah pemberlakuan undang-undang darurat militer pada
1957.[27]
Berbeda dengan daerah-daerah lain, di Bali PNI memegang posisi dominan di
birokrasi di beberapa kabupaten di Bali, kalau tidak menjadi tuan tanah itu
sendiri.[28]
Sementara konstituen PKI, juga Partindo, termasuk petani tanpa tanah dan petani
penggarap, kaum kelas bawah urban, guru sekolah, sebagian kelas menengah
terpelajar, dan sejumlah anggota progresif aristokrat lama.[29]
Di beberapa desa di Bali terjadi kekerasan antara petani militan itu dengan para
tuan tanah, juga kekerasan antara petani dengan petani.
Kehadiran organisasi-organisasi petani
yang berafiliasi dengan partai di hampir seluruh desa di Bali turut memicu
dinamika konflik di pedesaan. Sesungguhnya, tulis Geoffrey Robinson, sengitnya
kekerasan pascakudeta tampak berbanding lurus dengan radikalisme dan kesuksesan kampanye land
reform pada 1963-1965. Di Jembrana dan Buleleng, misalnya, di mana land reform hampir tuntas menjelang
1965, terjadi kekerasan ekstrim pascakudeta. Di Karangasem hal yang sama juga
terjadi. Di daerah ini keagresifan BTI mendesak land reform tahun 1964 dan 1965 berbanding lurus dengan jumlah
korban pembantaian.
Apakah untuk kasus yang disebutkan di
atas, pertentangan PKI/BTI dengan para santri dan para tuan tanah, cukup
menjadi alasan kuat bagi mereka untuk melakukan pembantaian? Mari kita
mempertimbangkan urutan fakta ini: di Jawa Tengah dan Jawa Timur pembantaian
berlangsung di bulan Oktober dan November 1965. Bagaimana menjelaskan
pembantaian di Bali yang baru berlangsung pada bulan Desember 1965 sampai awal
1966? Geoffrey Robinson memberikan jawaban sangat yakin: “Kiranya adil jika
dikatakan bahwa pembantaian itu tak mungkin terjadi tanpa partisipasi aktif
elemen-elemen eksekutif lokal dan kekuatan keamanan.
Bagaimana Gerakan 30 September kemudian
dikeramatkan begitu rupa sehingga peristiwa itu bisa menyingkirkan pembunuhan
massal 1965-1966 dari ingatan masyarakat Indonesia?
Yang membuat Suharto melenggang bebas
berkuasa selama 32 tahun tanpa mendapat tentangan berarti tentang perannya
dalam pembantaian massal itu adalah karena Gerakan 30 September berlangsung
begitu cepat, begitu tertutup, dan hingga beberapa hari setelah gerakan itu
berlalu masyarakat masih diselimuti kebingungan. Masyarakat tidak mendapat
informasi langsung tentang apa sesungguhnya yang terjadi. Di tengah-tengah
suasana yang demikian itulah Suharto dan Angkatan Darat melancarkan teror dan
propaganda. Teror sudah begitu diwakili oleh massifnya nyawa yang menghilang.
Sementara itu, lewat propaganda Suharto menciptakan slogan-slogan berangkap
empat: (1) pemalsuan fakta tentang Peristiwa Madiun pada 1948; (2) propaganda
yang difokuskan kepada konflik agrarian; (3) propaganda yang didasarkan konflik
keagamaan; dan (4) penggalian jasad para jenderal. Pada slogan-slogan ini
tersisip dua pesan: kekejaman komunis dan pemahaman terselubung bahwa hanya
militer yang dapat membebaskan rakyat dari bahaya laten komunis.[32]
Lewat propaganda, rezim berusaha mendapatkan kepatuhan membabibuta masyarakat.
Propaganda rezim Suharto menurut Julie Southwood-Patrick Flanagan bertujuan
memanipulasi rakyat untuk patuh dan mau bersikap ‘kooperatif’ dengan kekuasaan
betapa pun brutal, eksploitatif dan melanggar kebebasan.
Monumenisasi
sejarah
Selain perombakan besar-besaran narasi
sejarah, penciptaan mitos-mitos di seputar Gerakan 30 September, pembuatan film
tentang “pengkhianatan PKI”, Suharto juga doyan membangun monumen. Bagi Suharto
monumen bertujuan sebagai alat penyaji fakta tentang pengkhianatan dan teror
yang dilakukan PKI, mengenang dan menghormati jasa dan pengorbanan para
pahlawan revolusi, meningkatkan kewaspadaan untuk melindungi Pancasila dari
musuh yang bertujuan merusak atau menghancurkan Pancasila dan untuk menanamkan
kesadaran akan kesaktian Pancasila. Dengan atas nama Pancasila pula kita menaruh keprihatian mendalam karena sebagimana
dikatakan Robert Cribb, “Orang akan memandang bahwa Pancasila sebagai ideology
bangsa Indonesia saat ini adalah sesuatu yang sia-sia, sebagai alasan mengapa
komunis harus dimusnahkan, dan bukan dirangkul dengan cara halus.”
Sehingga apa yang terjadi kemudian
adalah sikap munafik rezim Orde Baru dalam mengamalkan Pancasila secara murni, Pancasila
yang merupakan “suatu filsafat yang mencakup prinsip “kemanusiaan yang adil dan
beradab dan prinsip “keadilan sosial”, hanya bisa disadari sepenuhnya dengan
mencermati tindakan yang mereka ambil saat itu terhadap musuh-musuh rezim,
terutama orang komunis—atas nama penegakan Pancasila.” Atas nama pembantaian ratusan ribu nyawa itulah kemudian Orde Baru merayakan
setiap tahun 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Kita kemudian tahu,
“Yang dikaburkan oleh peringatan ini ialah kekerasan yang jauh lebih besar yang
dilakukan kepada pendukung komunis segera sesudah usaha kudeta.” John Roosa menyebut ini sebagai tragedi sejarah nasional modern. Tragedi yang
tidak hanya terletak pada pembunuhan massal 1965-1966 yang diorganisasi
Angkatan Darat saja, tapi juga bertakhtanya para pembunuh, yang memandang
pembunuhan massal dan operasi-operasi perang urat syaraf sebagai cara-cara sah
dan wajar dalam mengelola tata pemerintahan.
Sejarah pembantaian itu kemudian
berakhir di monumen. Setiap monumen yang dibangun untuk mengenang Gerakan 30
September oleh rezim Orde Baru setiap kali itu pula sejarah terkelam bangsa
terserap ke dalamnya dalam kepalsuan dan kemunafikan. Setiap monumen yang
dibangun adalah monumen untuk merayakan kemenangan militer sementara regangan
ratusan ribu nyawa raib sempurna di setiap seremonial-seremonial peresmian
museum. Mengapa untuk korban ratusan ribu nyawa, bahkan jutaan, tahun 1965-1966
tidak dibangunkan museum?
[1] Disampaikan pada diskusi bersama Pascasarjana Ilmu Sejarah
Universitas Gadjah Mada Angkatan 2013, Selasa, 1 Oktober 2013
[2] P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt, Pram Melawan: Dari Perkara Sex, Lekra, PKI,
Sampai Proses Kreatif (Jakarta: Nalar, 2011)
[3] Ben Anderson, How Did The
Generals Die? (Cornell Southeast Asia Program: Indonesia, No 43 April 1987)
[4] Harian Kompas, harian
terbesar Indonesia, tanggal 30 tidak memuat satu tulisan pun tentang peristiwa
ini. Namun Tempo edisi 30 September-6
Oktober menurunkan edisi khusus tentang Lekra, Lekra dan Geger 1965.
[5] Persandingan ini didasarkan pada dampak peristiwa itu. Sumpah
Pemuda 1928 berdampak besar karena di saat itu sekelompok pemuda dari beragam
suku berikrar berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu. Sementara
Proklamasi 1945 menjadi peristiwa penanda keterputusan mata rantai kolonialisme
di Ibu Pertiwi.
[6] Sukarno pada Mei 1965 mengatakan pembentukan angkatan kelima ini
untuk menambah empat Angkatan Bersenjata yang sudah ada: Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian. Selama konfrontasi
Indonesia dengan Malaysia, Sukarno memanggil hingga 21 juta sukarelawan untuk
melawan Malaysia. Pada Juli 1965 Angkatan Udara mulai melatih sekitar 2000
warga sipil PKI di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. Robert Cribb, Audrey
Kahin, Kamus Sejarah Indonesia (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2012), hal. 32.
[7] Robert Cribb, Audrey Kahin, Kamus
Sejarah Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hal. 32.
[8] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (Yogyakarta: LKiS), hal. 386.
[9] Peristiwa ini begitu berkesan mendalam pada perpolitikan Indonesia:
PKI tidak hanya dituduh telah melakukan kebrutalan dalam membantai Muslim
tetapi juga dianggap menusuk Republik dari belakang pada saat Indonesia sedang
mempertahankan kemerdekaan nasionalnya melawan Belanda. Sebaliknya PKI menuduh
Hatta telah memprovokasi terjadinya pemberontakan tersebut agar memiliki alasan
untuk menghilangkan para pendukung revolusi bersenjata dan bisa melakukan
kompromi dengan Belanda. Robert Cribb, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hal. 380.
[10] Bagian ini diambil dari John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta:
Hasta Mitra, 2008), hal. 218-225.
[11] John Roosa, Dalih Pembunuhan…,
hal. 311.
[12] John Roosa, Dalih Pembunuhan…,
hal. 312.
[13] John Roosa, Dalih Pembunuhan…,
hal. 313.
[14] John Roosa, Dalih Pembunuhan…,
hal. 251-252.
[15] Segera setelah gerakan itu gagal, Angkatan Darat melarang terbit
semua surat kabar yang berseberangan dengan mereka.
[16][16] Korban terdiri dari enam jenderal Angkatan Darat, seorang letnan,
anak perempuan Jenderal Nasutian yang berumur lima tahun, seorang pengawal di
rumah Leimena (tetangga Nasution), kemenakan Brigjend Pandjaitan yang berumur
dua puluh empat tahun, dan dua perwira Angkatan Darat di Jawa Tengah. Lihat
catatan kaki 57 John Roosa, Dalih
Pembunuhan…, hal. 47.
[17] Julie Southwood-Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981 (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013), hal. 3.
[18] Tuduhan resmi dan pengkambinghitaman PKI baru dimulai pada 4
Oktober, tepat ketika jasad para jenderal diangkat dari Lubang Buaya.
Southwood-Patrick Flanagan, Teror Orde
Baru…, hal. 4.
[19] Menurut M. R. Siregar, banyaknya manusia tak berdosa yang
disembelih, menyusul drama subuh 1 Oktober itu, jauh melebihi seluruh jumlah
korban dalam seluruh jumlah total peristiwa-peristiwa pembantaian dijadikan
satu sepanjang 350 tahun penjajahan Belanda, 3,5 tahun pemerintah pendudukan
fasis Jepang, agresi militer Inggris dan Belanda 1945-1949, pengejaran selama 3
bulan terhadap kaum komunis dalam peristiwa Madiun 1948, teror DI/TII selama 13
tahun—dari 1950 sampai dengan 1963, dan perebutan kekuasaan oleh raja-raja
perang daerah di Sumatera dan Sulawesi yang kemudian berpuncak pada pemberontakan
dan pembentukan pemerintah pusat tandingan—PRRI, dari November 1956 sampai
dengan Oktober 1961. M. R. Siregar, Tragedi
Manusia dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi (Yogyakarta: Resist
Book, 2007), hal. 1.
[20] Daftar lengkapnya lihat Robert Cribb (ed.), The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa Tengah dan Bali
1965-1966.
[21] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 417.
[22] Southwood-Patrick Flanagan, Teror
Orde Baru…, hal. 56.
[23] John Roosa, Merencanakan
Pembunuhan Massal, Melemparkan Tuduhan Palsu pada Komunis, dalam Bernd
Schaefer, Baskara T. Wardaya (eds), 1965:
Indonesia and The World (Jakarta: Goethe Institut-Gramedia Pustaka Utama,
2013), hal. 261.
[24] Robert Cribb, Audrey Kahin, Kamus
Sejarah Indonesia, hal. 516-517.
[25][25] Budiawan, Mematahkan
Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (Jakarta:
Elsam, 2004), hal. 119.
[26] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 404.
[27] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 404.
[28] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 405.
[29] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 414.
[30] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 415.
[31] Geoffrey Robinson, Sisi Gelap
Pulau Dewata…, hal. 479.
[32] Southwood-Patrick Flanagan, Teror
Orde Baru…, hal. 83.
[33] Southwood-Patrick Flanagan, Teror
Orde Baru…, hal. 81.
[34] Katharine E. McGregor, Ketika
Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah
Indonesia (Yogyakarta: Syarikat, 2008), hal. 154.
[35] Robert Cribb (ed.), Pembantaian
PKI…, hal. 28
[36] Katharine E. McGregor, Ketika
Sejarah Berseragam…, hal. 162.
[37] Katharine E. McGregor, Ketika
Sejarah Berseragam…, hal. 163.
Post a Comment