The Role of Structural Organization and Myth in Javanese Historiography oleh Wilman.
3/356112/PSA/7644. Melalui
artikel ini, “The Role of Structural
Organization and Myth in Javanese Historiography” yang dimuat dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No. 1. (Nov., 1964), hal 91-99, Anthony
H. Johns berusaha membandingkan Kitab
Pararaton dan Babad Tanah Jawi sebagai
bentuk historiografi tradisional Jawa. Upaya
ini sebenarnya dipicu oleh adanya pandangan para ilmuwan, khususnya Eropa
mengenai isi kedua kitab itu. Sebab secara sepintas terlihat memang isi kedua
kitab itu hanyalah dongeng atau mitos. Dari pandangan inilah Anthony H. Johns mengawali
penialiannya. Meskipun cerita kedua kitab dipenuhi oleh mitos, tetapi terdapat
kemungkinan untuk menemukan fakta. Sebab mitos itu merupakan fakta mental dari
sebuah komunitas atau masyarakat di mana mitos itu berkembang atau dipercayai
sebagai sejarah resmi mereka. Jadi pada dasarnya, nilai yang dibangun oleh
historiografi tradisional adalah kesadaran bahwa di dalam masyarakat itu ada
sebuah kelas sosial yang memiliki kepentingan terhadap maa lalu mereka. Jadi di
sini bukan hanya persoala legitimasi, tetapi lebih dari itu, yakni sejarah
mulai terlembagakan, artinya peristiwa sejarah telah ditulis oleh seseorang. Inilah
nilai penting yang hendak disampaikan oleh Anthony H. Johns.
Kedua
karya ini menceritakan tentang asal usul penguasa dua Kerajaan Jawa yang
berbeda zaman. Kitab Pararaton
menceritakan tentang asal-usul Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari dan Babad Tanah Jawi yang menceritakan
tentang asal usul Senopati, pendiri dinasti Mataram. Persamaannya adalah Ken
Arok dan keturunannya dianggap sebagai Titisan Dewa, dan Senopati dihubungkan dengan
penguasa Majapahit, Islam di Jazirah Arab hingga Nabi Adam. Apa artinya? Ada sinkretisme
Hindu-Budha dan Islam. Hal ini menjelaskan sesuatu yang cukup sederhana yaitu
historiografi tradisional ditulis secara kronik dan sangat genealogis. Umumnya
berhenti pada saat teks (kitab) itu dibuat atau periode teks itu dihadirkan.
Penulis
historiografi tradisional (Jawa), khususnya Kitab Pararaton dan Babad Tanah
Jawi ini disebut Pujangga. Jika didefenisikan, Pujangga itu adalah orang yang
berprofesi sebagai pencatat kejadian yang ada di sekitar raja. Olehnya itu,
tidak banyak orang memiliki akses langsung kepada sang raja, salah seorang di
antaranya adalah Pujangga. Untuk menjadi seorang Pujangga diperlukan beberapa
syarat pokok, yaitu menguasai sastra, menguasai bahasa (bahasa agama, bahasa
massa – dalam hal ini Jawa, dan bahasa pergaulan), menguasai segala aspek
keagamaan (mulai ritual, dan ajaran), dan menguasai pengetahuan isoterik atau
hal-hal yang bersifat supra natural). Hal ini terlihat jelas pada masa Mataram
Islam, hanya keluarga Ranggawarsita-lah yang diangkat menjadi Pujangga Istana.
Begitu juga saat kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, para pujangga istana bergelar
Empu atau Mpu, dan biasanya mereka
memiliki murid. Menurut saya, inilah pesan moral (moral judgment) yang hendak disampaikan Johns, walaupun hal ini
tidak termakhtub dalam artikelnya tersebut.
Pararaton
menceritakan mengenai kisah hidup Ken Arok sebelum menjadi raja, sangat
dipenuhi mitos yang perlu diverifikasi, sehingga perlu dibandingkan dengan
sumber lain berupa prasasti dan berita Cina maupun India, bahkan Arab
sekalipun. Ini yang menjadi ciri khas ilmu filologi. Namun demikian, pasca Ken Arok,
cerita berikutnya berisi dengan fakta-fakta sejarah. Johns melihat bahwa tidak
semua tulisan para pujangga itu mengangungkan raja. Bahkan ada juga isinya
mengenai kejelekan Sang Raja, namun hal ini disampaikan secara simbolik saja. Jika
hanya seperti itu, maka historiografi tradisional dikatakan sebagai bentuk
legitimasi kekuasaan. Sebab ini berkaitan erat dengan tradisi kekuasaan di
Jawa, yang berhak menjadi raja hanya keturunan bangsawan dan pertapa saja.
Olehnya itu, banyak sekali peristiwa yang muncul dalam cerita mereka berkaitan
dengan usaha seorang rakyat biasa menjadi raja. Pararaton dan Babad Tanah Jawi pun demikian. Jadi bukan pada legitimasi kekuasaannya yang
penting, melainkan pada soal usaha atau upaya orang untuk menjadi raja, ada
sosialita, inteektual, dan mentalitas yang ikut bekerja membentuk satu naskah
berdasarkan konteks masa itu.
Lewat
tulisannya tersebut, Johns menegaskan bahwa Kitab Pararaton mewakili bentuk historiografi Jawa zaman
Singhasari-Majapahit (1222-1451), sedangkan Babad (Babad Tanah Jawa), merupakan bentuk historiografi Jawa pada abad
ke-17. Cerita mengenai Senopati ditafsirkan sebagai bentuk legitimasi kepada
Senopati sebagai penguasa dan menunjukkan sifat-sifat keilahian yang
dimilikinya. Beliau adalah putera Ki Ageng Pamanahan, seorang pejabat istana,
bukan seorang bangsawan atau pun pertapa. Olehnya itu, Senopati dikaitkan
dengan para penguasa Pajang Dan Demak, sehingga Senopati dianggap memiliki trah dengan penguasa kerajaan sebelumnya.
Di sini jelas bahwa Johns menggunakan perbandingan antara dua kitab itu. Dengan
cara membandingkan keduanya, maka ia menemukan bahwa hitoriografi tradisional
Jawa ditulis tidak hanya sekedar untuk legitimasi kekuasaan semata, melainkan
kenyataan bahwa betapa tidak pentingnya fakta, tetapi mengutamakan nilai di
dalamnya. Kemudian para pujangga itu sangat bersifat elitis, karena mereka
tidak menceritakan rakyat kecil.
Penulisan
kedua kitab tersebut, pada dasarnya mengikuti konteks zaman yang dilaluinya.
Zaman Singasari dan Majapahit tentunya sangat berbeda dengan Zaman Mataram
Islam. Namun pada zaman yang berbeda itu, sebenarnya ada satu hal yang sama
yaitu peristiwa di sekitar raja itu disasterakan. Olehnya itu, kitab Pararaton dan Babad Tanah Jawi itu adalah sastera, dan dalam pemahaman kekinian,
sastera seperti itu dipahami sebagai sebuah sumber bagi penulisan sejarah
intelektual. Sebagai sejarah intelektual, maka benarlah pendapat bahwa terdapat
kesinambungan dan perubahan dalam masyarakat Jawa sebagai bentuk local genius dari Jawa (hal 99).
Hakikatnya
adalah mitos (apalagi yang telah disasterakan) yang dapat dikatakan sebagai
awal dari sebuah peradaban manusia, karena kemudian menjadi sumber (acuan) dari
perilaku manusia dalam membangun kehidupannya. Pada dasarnya, orientasi tulisan
Johns mengenai Pararaton dan Babad Tanah Jawa berupa pengkategorian
kitab itu sebagai bentuk historiografi tradisional menurut ilmu filologi. Kategorisasi
ini sejalan dengan pemikiran, historiografi tradisional umumnya berupa mitos
ataupun legenda yang terjadi di luar nalar manusia (seakan-akan manusia itu
hanyalah penonton saja), tokoh cerita terkadang dipandang sebagai sosok manusia
setengah dewa, ceritanya berkisar pada kalangan istana atau di sekitar raja,
tempat terjadinya peristiwa berada antara alam nyata dan kayangan, dan urut-urutan
waktu dalam historiografi ini umumnya bersifat anakronik. Meski demikian
adanya, karya sastra seperti ini sangat penting artinya dalam menjelaskan mentalitas
dan kebudayaan masyarakat pendukung dari tradisi tersebut. Sejarah intelektual
dapat dimulai dari konteks ini.
Post a Comment