TEXTUAL EMPIRES: A Reading Of Early British Histories Of Southeast Asia, Mary Catherine Quilty oleh Wilman D
13/356112/PSA/7644. CONCLUSIONS. Menarik sekali buku ini sebenarnya, karena mengungkap
beberapa hal penting mengenai historiografi. Buku ini cukup komprehensif untuk
sebuah kajian historiografi karena ada hal pokok yang disampaikan, yaitu values (nilai), moral judgment, norma konkrit, Theori dan Metode, prinsip pengorganisasian, explanatory, dan orientasi. Ketujuh pokok ini dapat dilihat dalam
buku tersebut.
Berdasarkan
pembacaan terhadap conlusions buku tersebut, maka ditemukan berbagai hal yang
menarik. Mary, melihat adanya genre yang berbeda dalam memandang historiografi
Indonesia. Ia menyatakan “The natural history
of Marsden can be seen as founding a genre of British Orientalism in Southeast
Asia.” Dari penyataan ini dapat disimpulkan bahwa Marsden menjadi peletak dasar
kajian natural history mengenai Indonesia, sebab pada giliran selanjutnya para
penulis berkebangsaan Inggris (T. S. Rafles, Symes, J. Crawfurd, J. Anderson)
itu mengikuti jejaknya. Walaupun begitu, harus diakui pula, jika kajian mereka
mengenai Asia Tenggara (Indonesia dan Vietnam) merupakan dasar dari upaya
Inggris untuk mengurusi koloninya. Melihat paragraph pertama dari conclusions dapat disimpulkan bahwa kelima penulis yang disebut tadi memiliki minat
yang sama, dan mereka sangat dipengaruhi oleh karya Wiliam Marsden, sedangkan
Marsden sendiri dipengaruhi oleh seorang ahli botani Swedia. Lineaus namanya. Inilah
nilainya, yakni nilai tulisan sebagai orang barat.
Marsden
menganggap bahwa lingkungan alam Indonesia sebagai hal yang luar biasa. Begitu
juga yang lainnya. Alam Indonesia memberi konteks lain, yakni peradaban juga
dapat ditentukan oleh alam Indonesia sendiri.
Koloni yang didefenisikan sebagai tempat tinggal di tanah seberang,
memiliki banyak sekali perbedaan dengan Eropa, seperti lingkungan alam,
peradaban, dan kebudayaannya, serta kebiasaan sehari-hari yang masih beradab.
Sehingga hal inilah yang menjadi tugas berat para penulis ini untuk
menyampaikan keadaan koloni kepada Pemerintah Inggris Raya. Namun kelima orang
ini, ketika menulis, mereka sangat dipengaruhi oleh ideologi agama Kristen.
Makanya sangat terasa sekali kajian mereka membandingkan moralitas Barat
(Kristen) dengan penduduk yang mereka temui. Mereka tampil sebagai orang Barat saat
menulis karya-karyanya. Jadi moral judgmentnya ada dua yaitu misi peradaban
kolonial dan agama Kristen.
Secara
teoritis, kelima karya, khususnya empat di antaranya, memiliki keterkaitan. Jika Marsden berargumentasi tentang
sejarah yang idealistik, maka Rafles, Crawfurd, dan Anderson pun demikian.
Walaupun ketiga orang ini menghasilkan karya yang lebih progresif daripada yang
dilakukan Marsden. Apalagi secara
metodologi, penggunaan metode sejarah, terkhusus lagi dalam penggunaan sumber
cukup baik dan benar. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah penggunaan sumber,
walaupun hingga kini, masih banyak orang yang mempertanyakan cara mereka
menggunakan sumber-sumber tersebut. Hingga sekarang, banyak orang telah
mengakui kenyataan mengenai sumber mereka.
Alam tropis
dapat menjelaskan sifat-sifat dan perilaku masyarakatnya. Dari sini muncul
peradaban dan kebudayaan masyarakat di alam tropis itu. Perseteruan antar
kampung sering kali ditemui oleh Marsden, karena bentrokan adalah kenyataan
yang selalu ditemuinya selama berada di Sumatera, khususnya Bengkulu. Agak
berbeda dengan tiga koleganya yang lain, karena mereka berada di Pulau Jawa
yang mana keadaan penduduknya sedikit lebih teratur. Namun jika membaca
karya-karya mereka, terasa bahwa secara konseptual dibatasi oleh konsep imperialisme, di mana pandangan barat
yang lebih modern menjadi acuan. Kemudian imperialisme
yang terjadi bukan hanya soal politik dan perekonomian, melainkan juga pada bidang kemanusiaan dan negara. Sebagai
kaum kolonial, Inggris bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan
masyarakat tanah jajahan. Melalui misi peradabannya, Inggris memperkenalkan
banyak hal, seperti mendirikan sekolah, penyebaran agama (Kristenisasi),
mendirikan rumah sakit-rumah sakit, dan penempatan dokter dan suster ke
daerah-daerah untuk melayani kesehatan masyarakat. Namun rencana ini tidak
terealisasikan karena tanah koloni ini telah dikembalikan kepada Belanda.
Imperialisme dan kolonialisme menjadi aturan (norma) konkrit dari karya para
pejabat kolonial tersebut.
Melalui buku
itu, Mary berhasil menjelaskan pandangan barat terhadap timur, khususnya
Indonesia dan Asia Tenggara. Melalui kalimat, “The texts Marsden, Symes, Raffles, Crawfurd, dan Anderson endeavoured
to see and present Southeast Asia in a neutral tone, however their complicity
in the colonial enterprise is revealed in their rendering of Southeast Asia and
their visions for its future.” Kelima penulis ini sebenarnya berusaha
menjelaskan secara berimbang, namun pada akhirnya mereka tetap terbatasi oleh
kepentingan kolonial Inggris atas kolonin. Dari sinilah sebenarnya tampak
jel;as, jika Mary melakukan kritik yang pada dasarnya menjelaskan posisi
keilmuwannya, yakni timur harus dilihat atau dibicarakan berdasarkan cara
pandang orang timur terhadap dirinya sendiri, artinya tidak boleh melihat timur
menurut pandangan barat tentang timur itu sendiri. Dalam konsep historiografi
hal ini disebut sebagai prinsiple organization.
Membaca kelima
penulis itu, terdapat kontinuitas dari value,
karena mereka menulis dalam bingkai (batasan) kolonial. Jika soal value-nya
tidak menjadi pokok eksplanasi Mary, maka hal ini akan memunculkan dekolonisasi
penulisan sejarah Indonesia. Dalam melakukan eksplanasi, Mary berusaha menjelaskan
pemikiran mengenai historiografi kolonial di Asia Tenggara. Tetapi Mary sepertinya
tidak melihat proses dari terciptanya karya-karya itu, sebagai karya pejabat
kolonial British. Proses sejarah selalu menempatkan waktu sebagai tolok
ukurnya, waktu yang terjadi secara natural dalam masyarakat koloni saat itu.
Buku Textual
Empires ini ditulis dalam bingkai pemikiran Postmodernisme. Namun demikian,
Mary masih banyak melewatkan banyak hal dalam melihat para penulis Inggris pada
masa kolonial. Apalagi ketika melihat pada periode ketika bukunya dicetak dan
akhir-akhir ini, permintaan terhadap buku-buku tersebut meningkat, maka
penerbitan dan pencetakan buku terus menerus berulang-ulang dilakukan, dengan
jumlah eksemplar yang juga meningkat. Hal ini dapat diartikan, Mary tidak
melihat kenyataan, semakin dikritik maka buku-buku tersebut semakin dicari oleh
para pembaca yang ingin tahu mengenai isinya.
Paparan
singkat di atas mengenai buku Textual Empires ini, dapat disimpulkan bahwa
terlepas dari orientasi yang dihadoirkan penulisnya, buku sudah semestinya
menjadi bacaan wajib para sejarawan Indonesia. Banyak sekali hal-hal yang
berbeda dengan yang selalu dipahami selama ini. Sebab penulisan buku History of Sumatra oleh William Marsden,
Embassy to the Kingdom of Ava oleh
Symes, History of Java oleh Thomas
Stamford Rafles, History of the Indian
Archipelago oleh Crawfurd, dan Mission
to the East Coast of Sumatra oleh J. Anderson dilakukan oleh para pejabat
kolonial, sehingga nilai utamanya adalah memberikan informasi mengenai tanah
jajahan kepada negeri induk. Pemerintahan koloni harus tetap berjalan dengan
baik, maka para pejabat-pejabat itu diberi kewajiban untuk menggambarkan
keadaan tanah jajahan, karena tujuannya untuk mempertahankan tanah jajahan
tersebut.
Post a Comment