Dari Aksi Sepihak hingga Pembantaian Massal
[kisah keruhnya Klaten Barat tahun 1964-1965]
Oleh: Kuncoro
Aksi Sepihak di Jogonalan
Landreform
diartikan sebagai sebuah perubahan atau perombakan dasar struktur pertanahan.
Di awal tahun 1960-an, landreform dianggap sebagai isu global yang telah
memanas, “Landreform is a burning issue through out much of the world
today”.[2]
Sebegitu pentingnya wacana landreform hingga menyebut Revolusi Perancis
serta Revolusi Rusia sebagai dasar historis untuk mengukuhkan perlunya landreform
segera dilaksanakan.[3]
Dengan
kesamaan esensi dasar Revolusi Perancis, intisari dari landreform sebenarnya
berusaha menuntut adanya keadilan sosial, emansipasi dari petani dan
pembangunan ekonomi yang merata sampai rakyat jelata, rakyat tani.[4] Dengan
nuansa revolusioner, tujuan landreform yang berhubungan dengan tanah dan
petani adalah untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil
dan mengakhiri sistem tuan tanah yang berupa tanah partikelir serta penguasaan
tanah-tanah terlalu banyak di satu tangan dengan sistem tuan tanah (dengan
sewa, bagi hasil, gadai dan lain-lain).[5]
Dari wacana
inilah kemudian di tahun 1960, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5
Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau yang dikenal dengan
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) serta Undang-undang No. 2 Tahun 1960 tentang
perjanjian bagi hasil atau yang dikenal dengan UUPBH (Undang-Undang Pokok Bagi
Hasil).[6] Dua
undang-undang ini menjadi dasar hukum untuk mengatur permasalahan landreform
di Indonesia. Inilah pertama kali pemerintah Indonesia membuat undang-undang
tentang permasalahan agraria untuk menggantikan Agrarische Wet tahun
1870 yang merupakan produk hukum agraria warisan kolonial.
Untuk
melaksanakan landreform maka dibentuklah panitia landreform dari
tingkat pusat hingga tingkat desa[7].
Sebenarnya panitia landreform ditingkat desa inilah yang penting karena
memegang peranan besar di tingkat bawah untuk segera melaksanakan secara riil landreform
sesuai dengan cara revolusioner yang dianggap tepat di Indonesia[8]. Di dalam
melaksanakan tugasnya, panitia landreform memang belum sesuai dengan
ketentuan atau garis-garis yang ditetapkan di dalam UUPA maupun UUPBH. Di
desa-desa, panitia landreform ternyata masih ada yang belum terbentuk
sehingga landreform belum terlaksana dan masih adanya lembaga bagi hasil
tradisional yang bertentangan dengan ketentuan di dalam UUPBH.[9] Di samping itu, masih ada penolakan dari para
tuan tanah dan atau para petani kaya. Hal-hal di atas kemudian menghambat dan
memperkeruh proses landreform di berbagai tempat[10]. Seperti
yang terjadi di wilayah Jogonalan, di mana muncul permasalahan berkaitan dengan
gadai dan bagi hasil yang belum mampu diselesaikan oleh panitia landreform.
Kelemahan panitia landreform ini kemudian digunakan sebagai dasar oleh
BTI untuk kemudian mencetuskan aksi-aksi sepihak.
Aksi sepihak
muncul pada tahun 1964 dan tahun 1965. Di Jogonalan, gerakan aksi sepihak
terjadi dua kali pada tahun 1964, yaitu pada bulan Maret dan April. Sedangkan
tahun 1965, gerakan aksi sepihak terjadi hanya satu kali di kelurahan Joton
pada bulan April. Gerakan aksi sepihak hampir secara keseluruhan dikoordinasi
oleh orang-orang BTI dan gerakan ini setidaknya bertujuan untuk membebaskan
sawah dari gadai serta aksi untuk menuntut pelaksanaan UUPBH.[11]
Gerakan aksi
sepihak di Jogonalan yang paling banyak dibicarakan adalah yang terjadi di
kelurahan Kraguman. Aksi ini dipicu oleh permasalahan sawah seluas 2.255 meter
persegi di sebelah selatan desa Candran yang diperebutkan oleh Joyosukarno dan
Suharto.[12]
Gerakan ini bisa dikatakan mewakili berbagai gerakan aksi sepihak yang terjadi
baik di Jogonalan maupun di tingkat kabupaten Klaten. Pada tanggal 25 Maret
1964, gerakan aksi sepihak dilakukan oleh BTI terhadap sawah yang menjadi
sengketa. Kira-kira pada pukul 2 siang, kurang lebih 200 orang pria dan wanita
melakukan gerakan di sawah yang dipersengketakan. Berpuluh-puluh orang wanita
menuai padi sedangkan di belakangnya para pria mencangkul dan membajak. Setelah
selesai, padi yang dituai dibawa ke rumah Joyosukarno sedangkan sebagian yang
merupakan bagian Sukarno dititipkan di kelurahan.[13]
Joyosukarno
adalah seorang petani miskin sedangkan Suharto adalah petani kaya yang keduanya
tinggal di kelurahan Kraguman. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
keduanya terlibat sengketa mengenai masalah gadai dan bagi hasil. Joyosukarno
yang telah menggadaikan sawahnya sejak tahun 1962 kepada Suharto dan berubah menjadi
penggarap atas tanahnya sendiri, meminta agar dalam membagi hasil panen
disesuaikan dengan UUPBH[14]. Suharto
menolak tuntutan ini. Kemudian Joyosukarno ingin menebus sawahnya sesuai dengan
apa yang termuat dalam Undang-undang No.56 tahun 1960 bahwa penggadaian yang
jangka waktu penggadaiannya belum berakhir, dapat ditebus kembali oleh
pemiliknya. Lagi-lagi Suharto menolak menyerahkan sawah yang akan ditebus oleh
Joyosukarno. Karena dengan jalan perundingan tuntutan Joyosukarno tidak mungkin
terpenuhi maka Joyosukarno memutuskan untuk melakukan aksi sepihak.
Aksi sepihak
Joyosukarno dipimpin oleh Suradi, Saharjo, Mitropawiro alias Semi, Hardomintoyo
alias Urip. Mereka tokoh BTI di kecamatan Jogonalan dan ratusan orang yang ikut
dalam aksi sepihak di Kraguman juga merupakan anggota BTI. Pemimpin aksi ini
akhirnya ditahan pada tanggal 20 April 1964.[15] Aksi
sepihak secara umum telah mendapatkan kritik keras dari pemerintah. Menteri
agraria berdasarkan instruksi presiden menegaskan bahwa setiap tindakan aksi sepihak
dari golongan manapun tidak dibenarkan.[16] Sejalan
dengan penegasan pemerintah, PNI anak cabang Jogonalan mengeluarkan resolusi
yang intinya tidak membenarkan tindakan aksi sepihak di Jogonalan.[17] Akhirnya
pengadilan negeri Klaten dalam menangani aksi sepihak di Jogonalan memutuskan
bahwa Joyosukarno adalah pihak yang kalah dan Suharto keluar sebagai pemenang
meskipun harus merelakan sawah yang dipersengketakan kembali ke tangan Joyosukarno.[18] Ini
berarti aksi sepihak di Kraguman Jogonalan telah berhasil mewujudkan
tuntutannya meskipun secara hukum aksi ini salah dan kalah serta memberikan
resiko penahanan kepada pelakunya.
Gerakan protes
petani sebagai bagian dari keresahan sosial di pedesaan ini kemudian berkembang menjadi konflik sosial
politik yang melibatkan golongan-golongan politik yang saling berseberangan.
Muatan sosial lokal berubah menjadi muatan politik nasional karena melibatkan
partai besar PKI. PKI kemudian menjadikan landreform dan aksi sepihak
menjadi isu nasional yang disebarkan guna menarik simpati massa grassroot.
Gerakan
aksi sepihak di Jogonalan dan juga di kecamatan-kecamatan lain di Klaten
bukanlah gerakan spontan yang muncul begitu saja. Seperti yang telah disebutkan
di awal bahwa gerakan ini sebenarnya dikoordinasi oleh BTI. Dua belas hari
sebelum meletus aksi sepihak di Kraguman, tepatnya tanggal 12 dan 13 Maret 1964
diadakan konferensi BTI yang dihadiri oleh wakil-wakil 23 anak cabang BTI
Klaten. Kegiatan ini diselenggarakan di gedung Tong Hoo, sebuah tempat yang
kelak menjadi rumah tahanan bagi orang-orang PKI. Konferensi ini merupakan
manifestasi pertanggungjawaban BTI untuk memimpin perjuangan kaum tani. Di
dalamnya termuat juga pertanggungjawaban BTI mengatasi masalah sandang pangan
serta melaksanakan UUPA dan UUPBH yang berlandaskan pada perjuangan kelas buruh
dan petani miskin serta kegotongroyongan untuk mengemban Ampera berporoskan
Nasakom.[19]
Sebelumnya
pada bulan Januari 1964, juga diadakan pertemuan terbuka di alun-alun kota
Klaten yang diselenggarakan oleh Comite Seksi (CS) PKI Klaten. Dalam pertemuan
akbar ini terpampang slogan-slogan, “tanah untuk petani penggarap” dan “Ganyang
Tujuh Setan Desa”. Pertemuan ini dihadiri oleh Nyoto, pengurus pusat PKI. Dalam
pidatonya, Nyoto menyatakan bahwa pimpinan pusat PKI menyambut hangat gerakan
petani di daerah Klaten.[20]
Aksi sepihak
ternyata melahirkan konflik sosial politik. Di Jogonalan, konflik ini
melibatkan golongan petani miskin sebagai golongan sosial bawah yang dibantu
oleh BTI/PKI sebagai pelaku dan golongan petani kaya yang dibantu oleh PNI
sebagai korbannya. Secara politis, konflik ini telah menempatkan dua kekuatan
yaitu PKI dan PNI di tempat yang saling berseberangan. Umumnya, Petani-petani
kaya di Jogonalan adalah orang-orang PNI. Suharto, petani desa Kraguman, Siswo
Darsono, seorang sinder pabrik gula dari desa Gondangan dan Mangku
Wiryono, seorang bekas carik dari desa Somopuro, merupakan sebagian dari
petani-petani kaya yang menjadi pendukung PNI, sedangkan kebanyakan petani
miskin di Jogonalan seperti Joyosukarno lebih tertarik untuk bergabung dengan
BTI/PKI. Mereka bergabung bukan karena ideologi tetapi karena program populis
BTI/PKI yang dapat menolong atau menguntungkan mereka.
“(Di Jogonalan) Ada petani
yang diuntungkan karena harusnya sawah mereka belum kembali kemudian dapat
dikembalikan. Orang-orang tani yang merasa diuntungkan karena aksi sepihak lalu
dengan sendirinya masuk menjadi anggota BTI. Selanjutnya, setiap kali BTI punya
pekerjaan, mereka menjadi pendukungnya. Orang tahu jika diuntungkan pasti ikut
yang menguntungkan.”[21]
Mereka
memilih mendukung BTI/PKI karena ormas dan partai politik inilah satu-satunya
kelompok yang secara radikal memperjuangkan nasib para petani miskin. Ormas dan
partai ini serius memperjuangkan pelaksanaa UUPA dan UUPBH secara massif.
Dengan demikian, BTI/PKI menjadi sangat populer dan menjadi kekuatan besar di
pedesaan Jogonalan.
Sebenarnya landreform
sebagai pemicu aksi telah menimbulkan ketidakstabilan karena setelah mulai
melakukan tindakan-tindakan reform selama beberapa waktu, pemerintah
tidak mampu memberikan keuntungan-keuntungan reform kepada kaum tani
miskin atau terlampau bersikap kompromi dalam pekerjaan itu.[22]
Pemerintah menyadari bahaya bahwa melaksanakan program reform yang
radikal berarti mengurangi kekuasaan para pemilik tanah atau petani kaya dan
karena pemerintah mengkhawatirkan kesetiaan mereka maka pemerintah tidak dapat
menawarkan program itu.[23]
Sebuah
ironi, ketika pusat mencoba membangun kekuatan bersama dengan meminimalkan
resiko tetapi kenyataannya di daerah, landreform menjadi “bola api
panas” yang meluncur dan akhirnya memunculkan aksi sepihak dan telah meretakkan
ikatan kebersamaan komunal di pedesaan. Partai-partai akhirnya juga harus
menjalankan strategi ganda. PKI dan PNI tidak punya pilihan lain, ditingkat
pusat mereka mencoba untuk tidak saling bersinggungan secara langsung.
Tetapi di pedesaan Jogonalan, dua partai
ini bertarung karena aksi-aksi sepihak radikal yang menempatkan mereka saling
bermusuhan. Dua pihak yang saling berhadapan ini memiliki kepentingan berbeda.
Di satu pihak, orang-orang yang menggunakan tindakan-tindakan radikal
berkepentingan untuk melaksanakan Undang-undang landreform dan dipihak
lain adalah mereka yang berkepentingan untuk melestarikan status quo
yang kekuasaannya berakar pada politik lokal dan memiliki kemampuan untuk
menghalangi gerakan yang mengarah pada distribusi tanah[24].
Kepentingan inilah yang merupakan unsur utama dalam konflik sosial politik di
pedesaan Jogonalan.
Kentong gobyok, sebuah tanda
Semenjak
meletus aksi Putsch di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, kebingungan
melanda dengan hebat di daerah-daerah. Pernyataan Untung terkait dengan Gerakan
30 September dan Dewan Revolusi yang disiarkan melalui RRI pada tanggal 1
Oktober 1965 sekitar jam 07.00, menimbulkan kegemparan. Orang-orang di daerah
bertanya-tanya apa yang terjadi di ibukota. Di Klaten, pernyataan Untung
diputar berulang-ulang pada malam hari melalui RRI Klaten.[25] Secara mengejutkan, koran Harian
Rakyat terbit pada tanggal 2 Oktober 1965 dengan tajuk rencana dukungan
moral terhadap Gerakan 30 September. Satu hal yang aneh, ketika kebanyakan
koran ibukota dibekukan dan ketika koran Kedaulatan Rakyat sebagai koran
harian yang banyak dibaca di Klaten tidak terbit, justru HR terbit di tengah-tengah
kemelut politik. Praktis, koran HR edisi 2 Oktober menjadi salah satu
sumber informasi penting di Klaten dan menjadi justifikasi keterkaitan PKI
terhadap aksi Putsch di ibukota.
Tanggal 5 Oktober 1965, komite PKI Jawa Tengah
mengeluarkan pernyataan menawarkan dukungan tanpa syarat kepada presiden
Sukarno, mendorong persatuan nasional dan melakukan sebisa mereka untuk
menenangkan Angkatan Darat dengan melakukan kegiatan senormal mungkin. Bahkan
pernyataan PKI Klaten dikirim langsung kepada presiden tanggal 10 Oktober 1965.[26] Namun pada tanggal 20 Oktober 1965,
Brigjen Suryosumpeno, yang telah menguasai keadaan Jawa Tengah sepenuhnya,
membekukan semua organisasi Komunis untuk seluruh Jawa Tengah. Dengan demikian,
secara struktural PKI Jawa Tengah telah dilumpuhkan oleh Kodam VII Diponegoro.[27]
Pemerintah pusat kemudian mengirimkan Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Jawa Tengah. Pasukan khusus ini masuk
Semarang pada tanggal 17 Oktober 1965 dan menggelar show of force di
tengah-tengah masyarakat. Pada tanggal 21 Oktober 1965, RPKAD mampu
menyelesaikan pemogokan buruh kereta api di Solo dan tanggal 22 Oktober 1965,
RPKAD merebut kendali atas wilayah Solo dan menahan walikota Utomo Ramelan.[28] RPKAD
juga telah masuk Klaten kota setidaknya pada tanggal 23 Oktober 1965
ketika menangani orang-orang Pemuda Rakyat (PR) di Kodim 0723 Klaten.[29] Sebelumnya Batalyon F Dharma Putra dari
Kostrad telah masuk dipimpin oleh Mayor Sunarto yang kemudian diganti oleh
Kapten Mukayat. Mereka ditempatkan pada instalasi-instalasi publik. Di kota,
mereka menempati gedung bioskop “Dana” Pandanrejo[30]. Pada tanggal 25 Oktober 1965, telah
diberlakukan jam malam untuk seluruh daerah Surakarta dan tanggal 26 Oktober
1965, Brigjen Suryosumpeno mengumumkan pemberlakuan Undang-undang Darurat
Perang untuk seluruh Jawa Tengah.[31]
Detik-detik akhir kelihatannya telah nampak. Awalnya Jawa
Tengah terbagi secara berimbang antara kekuatan kiri dan kanan. Namun ketika
pusat mulai campur tangan dengan mengirimkan pasukan militer, keseimbangan
tidak dapat lagi dipertahankan. Ketakutan-ketakutan orang-orang PKI di Klaten sudah
mulai kelihatan karena memang penghancuran terhadap PKI kemudian mulai
dilaksanakan.
Malam
hari tanggal 22 Oktober 1965 hingga dini hari tanggal 23 Oktober 1965, suasana
sangat mencekam. Di bagian barat Klaten meliputi wilayah Manisrenggo,
Prambanan, Depo, serta Jogonalan terjadi sesuatu yang membuat orang
bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi dan membuat munculnya ketakutan di
mana-mana. Malam itu sesuatu yang sangat misterius terjadi, sebuah kekacauan
yang melibatkan beberapa pihak, pemuda rakyat, orang-orang PNI dan militer.
Tindakan-tindakan kekerasanpun muncul di beberapa wilayah tersebut.
Sepanjang malam, bunyi kentongan terdengar dengan jelas
oleh penduduk. Kentong Gobyok, inilah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan apa yang terjadi pada malam tanggal 22 Oktober 1965 hingga 23
Oktober 1965 dini hari. Bunyi kentongan ini menggelisahkan penduduk tetapi bagi
beberapa anggota masyarakat tertentu, bunyi kentongan memberi tanda bahwa
beberapa bentuk tindakan tertentu harus segera dilakukan. Orang-orang Komunis
maupun non Komunis begitu dikuasai oleh ketakutan dan keragu-raguan. Komunikasi
juga sulit dilakukan di malam hari. Yang dirasakan orang-orang di dalam rumah
adalah bahwa sesuatu yang akan mengubah kehidupan orang-orang tertentu akan
terjadi.
Di Manisrenggo, gema bunyi kentongan terdengar di
mana-mana. Bagi masyarakat Manisrenggo, suara ini merupakan tanda bahaya. Lurah
Barukan terbangun dari tidur karena suara itu pada pukul 03.00 dini hari.
Bersama dengan dua orang penduduk lainnya, ia pergi keluar desa untuk mencari
tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Pemukulan kentong biasanya berarti telah
terjadi perampokan atau penjarahan. Tetapi setelah memeriksa ke sekitar desa
dan mengetahui bahwa suara itu datang dari arah barat jauh dari perbatasan
desa, ia kembali pulang. Sebenarnya di Manisrenggo, ketegangan telah memuncak
sejak malam tanggal 22 Oktober 1965. Pasca kentong gobyok, terjadi
kekacauan dan kerusuhan di kecamatan Manisrenggo yang melibatkan orang-orang
PKI dan pamong PNI di kantor kecamatan Manisrenggo.[32]
Suara kentongan yang didengar lurah Barukan di sebelah
barat pasti berasal dari daerah Prambanan. Malam itu, suasana di Prambanan juga
mencekam. Terjadi insiden di depan kantor kecamatan Prambanan. Batalion F
Dharma Putra yang menyisir beberapa wilayah
di Manisrenggo dan Prambanan, melepaskan tembakan ke udara ketika
melihat kerumunan massa di depan kantor kecamatan Prambanan. Malam itu juga
terjadi penculikan terhadap seorang Pemuda Marhaen bernama Huri, disamping itu
setidaknya juga terjadi penculikan terhadap Harjono, Suwito dan Darmosenjoyo.
Orang-orang PKI dituduh berada dibelakang aksi penculikan itu.[33]
Bergeser ke bagian timur, di wilayah Depo kekacauan pun
muncul. Sebelumnya pada tanggal 22 Oktober 1965 jam 15.00 sore, wakil komandan
Yon dodikif V[34], Mayor Sudarno beserta rombongan yang
baru kembali dari Yogyakarta untuk melayat pemakaman Brigjen Katamso,
sesampainya di simpang tiga jalan ke arah wedi (Bendogantungan) bertemu dengan
Mayor Sudibyo komanda Kodim 0723 Klaten. Karena ada isyarat untuk berhenti maka
rombongan akhirnya berhenti. Oleh Sudibyo dijelaskan bahwa ada sinyalemen di
desa Sranten yang terletak dekat Yon Dodikif V, ada konsentrasi pemuda rakyat
(PR) dan bersenjata aneka ragam. Di Bendogantungan sendiri, ada konsentrasi
massa Pemuda Rakyat yang mencurigakan. Tersebar isu bahwa anggota Pemuda Rakyat
akan menyerbu Depo untuk meminta senjata serta akan mengajak anggota Yon
Dodikif V bergabung mengganyang “setan-setan”.[35]
Mendengar hal semacam ini, Mayor Sudarno kemudian
melakukan konsolidasi. Sudarno akan berusaha mempertahankan kesatuannya dengan
personil yang dimiliki. Jam 19.00 diadakan briffing untuk membahas situasi yang
mengkhawatirkan dan hasilnya adalah bahwa akan diadakan persiapan malam hari
serta senjata akan dibagi bagi personel jika ada gejala bahwa benar-benar
pemuda rakyat akan menyerbu.[36]
Tengah malam, situasi menjadi sangat tegang karena
listrik mati. Kemudian terdengar kentong gobyok. Ada asumsi bahwa ini
merupakan kode pemuda rakyat untuk masuk Depo. Saat itu, sudah
berbondong-bondong anggota pemuda rakyat untuk masuk dari segala arah. Sekitar
20 orang pemuda rakyat akan masuk serentak dari depan. Satu diantaranya
berhasil masuk menerobos penjagaan dan berteriak, “minta senjata !!..minta
sejata!!”. Dalam situasi tegang, Kapten Sahirlan dan Mayor Sudarno kemudian
memerintahkan, “berhenti dan angkat tangan !!. Tidak tunduk, tembak ditempat
!!”. Orang-orang Pemuda Rakyat diperintahkan untuk tidak bergerak dan tiarap.
Anggota Pemuda Rakyat akhirnya tidak membantah. Karena tujuan mereka datang
untuk meminta senjata maka gudang senjata diperketat penjagaannya.[37]
Jumlah anggota Pemuda Rakyat yang datang ternyata
sebanyak 72 orang, mereka akhirnya digiring ke lapangan Candradimuka. 20 menit
kemudian datang Mayor Sudibyo dengan 2 buah panser dari Korem 072 Yogyakarta.
Pagi harinya, anggota pemuda rakyat yang tertangkap kemudian dibawa dengan
kendaraan menuju markas Kodim 0273 Klaten.[38]
Kentong gobyok juga terdengar di Jogonalan. Di
bagian selatan, di kelurahan Gondangan dan Somopuro telah terjadi peristiwa
yang menggemparkan. Malam itu, Giyanto, adik ipar Siswo Darsono seorang tokoh
PNI dari desa Gondangan dibunuh[39] serta Mangkuwiryono, seorang tokoh PNI,
pegawai kantor pertanian kabupaten Klaten dan mantan carik desa Somopuro
diculik dan dibunuh secara misterius (konon kabarnya kepalanya dipaku). Mengapa
diculik dan dibunuh, apa motifnya, tidak seorangpun tahu dengan pasti.
Masyarakat mencoba menyimpulkan, kemungkinan orang-orang PKI ada dibalik aksi
kekerasan ini. Dalam pandangan umum, PKI memiliki alasan untuk melakukan
tindakan ini. Telah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang PKI/BTI dan PNI
terlibat konflik mengenai masalah landreform. Bagi PKI/BTI, keluarga
Siswo Darsono dan Mangkuwiryono bisa dianggap sebagai bagian dari tujuh setan
desa karena mereka adalah petani-petani kaya. Mangkuwiryono sendiri adalah
seorang tuan tanah yang memiliki 3 sertifikat sawah serta mempraktekkan sistem ngijon
di wilayah Somopuro.[40] Hal ini yang menjadikan keluarga Siswo
Darsono dan Mangkuwiryono sebagai bagian dari musuh PKI/BTI.
Malam itu juga di sepanjang jalan Jogja Solo yang
melintasi Prambanan, Jogonalan hingga ke timur, kerusuhan terjadi. Pohon-pohon
sepanjang jalan ditebang, kemudian dibiarkan berserakan di tengah jalan
sehingga praktis jalan utama ini tidak bisa dilewati kendaraan. Orang-orang
yang melakukan ini kebanyakan adalah anggota Pemuda Rakyat. Selesai melakukan
kerusuhan, mereka menghilang.[41]
Kentong gobyok adalah sebuah hasil provokasi yang
membingungkan tetapi berhasil memancing tindakan-tindakan anarkhis dari
orang-orang PKI. Inilah tanda untuk bergerak. Gerakan anarkhis orang-orang PKI
ini lebih merupakan bentuk tindakan “ketakutan dan frustasi” daripada sebuah
tindakan “kudeta lokal”. Orang-orang PKI di daerah-daerah telah mendengar kabar
bahwa mereka akan dihancurkan. Tentara pusat RPKAD pasti akan datang ke Klaten.
Mereka tahu bahwa tentara pusat ini telah melakukan serangkaian penangkapan dan
pembunuhan terhadap orang-orang PKI di Semarang, Boyolali dan Surakarta.
Tibalah giliran orang-orang PKI Klaten merasakan kampanye penghancuran yang
dilakukan RPKAD.
Hembusan isu-isu penghancuran PKI telah membuat
orang-orang PKI ketakutan. Apalagi hari itu, tanggal 22 Oktober 1965, RPKAD
telah menguasai kota Surakarta dan orang-orang PKI yakin sebentar lagi tentara
pusat ini akan masuk Klaten. Orang-orang PKI di wilayah Klaten barat hanya bisa
melakukan tindakan defensif dengan cara menebangi pohon-pohon di sepanjang jalan
Yogya-Solo. Mereka sadar, jalan utama ini merupakan akses penting menuju
kantong-kantong basis PKI di Klaten barat.
Tetapi tindakan defensif ini berbuah malapetaka bagi
orang-orang PKI sendiri. Tuduhan keras atas pembunuhan tokoh-tokoh PNI serta
gerakan kerusuhan anarkhis di sepanjang jalan Yogya Solo telah membentuk opini
bahwa orang-orang PKI telah melakukan gerakan kudeta di daerah. Opini yang
tidak mendasar ini akhirnya telah mengarahkan pada tindakan penghancuran PKI
yang segera dilakukan dalam skala besar.
Pembunuhan dan
Massacre di Kali Wedi Pandansimping
Pembunuhan terhadap orang-orang
PKI di Klaten barat (khususnya di Jogonalan) pertama kali terjadi pada
pertengahan bulan Oktober 1965 dan terjadi sebelum meletusnya peristiwa kentong
gobyok. Tengah malam truk tentara mengangkut 7 orang PKI bergerak ke arah
utara di jalan Gondang menuju wilayah Basin. Malam itu juga terdengar letusan
senjata dan tujuh orang PKI telah dieksekusi mati di jalan daerah Nglarang,
Plawikan. Keesokan hari, beberapa orang berkerumun untuk menyaksikan mayat
orang-orang PKI yang tergeletak di jalan daerah Nglarang tersebut.[42] Pasca kentong
gobyok, di wilayah Kutu, satu orang PKI ditembak mati di dekat perlintasan
kereta api.[43]
Pembunuhan terhadap orang-orang
PKI semakin intensif dilakukan di beberapa wilayah. Tokoh-tokoh PKI Jogonalan
menjadi target pembunuhan-pembunuhan. Para tokoh ini sebelumnya telah melarikan
diri tetapi akhirnya tertangkap dan langsung dieksekusi mati. Tito, seorang
lurah desa Kraguman melarikan diri sampai ke wilayah Birit. Ia tertangkap massa dan kemudian
dieksekusi oleh tentara dengan ditembak.[44] Kemudian, Sarono seorang lurah desa
Gondangan, melarikan diri sampai wilayah kabupaten Boyolali tetapi akhirnya
juga tertembak mati.[45]
Pembunuhan besar-besaran atau Massacre terhadap
orang-orang PKI terjadi di kali wedi Pandansimping. Ratusan orang PKI
telah di eksekusi mati di tempat ini. Mereka diangkut dengan truk tengah malam
kemudian diturunkan di sungai ini dan ditempatkan di sebelah utara kretek
Kebomati. Su ketika menjadi pemandu tentara untuk menangkap 3 orang PKI
di daerah Klentengan, melihat pembunuhan terhadap orang-orang PKI di kali
wedi Pandansimping. Tigabelas orang PKI berbaris memanjang kemudian
ditembak dengan berondongan peluru. Seketika itu juga, mayat orang-orang PKI
dikuburkan di sungai ini.[46]
Tidak
hanya itu saja, di kali wedi ini, banyak yang dimasukkan ke
lubang-lubang dalam keadaan masih hidup. Mereka diangkut dengan truk malam hari
dengan mata tertutup. Dengan cara diikat satu kaki dengan kaki teman lain. Jika
orang pertama dimasukkan yang lain tentu akan mengikuti dan jeritan terakhir
terdengar di kanan kiri.[47]
Peristiwa
pembunuhan di sungai Pandansimping juga disaksikan oleh Ka. Pada malam hari, Ka, pemuda berumur
17 tahun, menyaksikan pembunuhan di kali wedi Pandansimping. Ia
menyaksikan Massacre ini selama 4
hari mulai jam 6.30 malam hingga jam 10 malam. Dia melihat orang-orang PKI
diangkut dengan truk, kira-kira 45 hingga 50 orang dalam satu truk. Mereka
diturunkan dan dipaksa ke tengah sungai untuk menghadap regu tembak yang telah siap melakukan
eksekusi.[48] Ia juga melihat para pemuda ada di sana. Pemuda
yang terlibat dalam pembunuhan massal ini adalah orang-orang PNI, kemungkinan
besar para anggota pemuda Marhaen yang kebanyakan berpakaian hijau saat menjadi
eksekutor.[49] Para anggota pemuda Marhaen ini memang
telah dilatih menggunakan senjata api
selama masa pembersihan orang-orang PKI.
Proses penembakan cukup rapi. Orang-orang
PKI dibawa dengan dua jempol tangan terikat. Mereka diarak kira-kira 100 meter
ke arah utara dari kretek Kebomati. Di tengah-tengah sungai
Pandansimping telah di gali kuburan panjang. Orang-orang PKI dijejerkan di
pinggir galian dan menghadap regu tembak
yang telah berada di depan mereka. Mereka ditembak dipinggir galian yang dibuat
supaya ketika ditembak, mereka langsung jatuh ke dalam galian panjang yang
telah dibuat sehingga bisa langsung dikuburkan.[50]
Penembakan yang dilakukan oleh eksekutor—para anggota pemuda
Marhaen yang berpakaian hijau—ternyata tidak efektif, tidak langsung mematikan.
Mereka memang bukan orang-orangprofesional seperti tentara sehingga seringkali
tidak tepat sasaran saat menembak. Karena jumlah mereka banyak maka para penembak ini bergantian satu per satu
menembakkan peluru. Ketika satu peluru
mengenai tubuh satu orang PKI dan ternyata belum mampu membunuh orang tersebut,
maka giliran penembak selanjutnya menghabisi nyawa orang PKI hingga benar-benar
mati dengan senjatanya. Jadi orang-orang PKI
tidak hanya sekali ditembak tetapi mereka ditembak berkali-kali.[51]
Tidak
hanya anggota pemuda Marhaen saja yang melakukan eksekusi, tentara juga ikut
menembak mati orang-orang PKI di kali wedi Pandansimping. Meskipun
tentara hanya menjadi pengawas serta hanya menurunkan orang-orang PKI dari truk
dan mereka berada di tanggul sebelah utara kretek Kebomati dekat dengan
truk pengangkut dan menjaga truk[52], tetapi tentara tetap menjadi aktor utama
dalam aksi Massacre di kali wedi Pandansimping. Orang-orang
militer inilah yang mengatur pencidukan serta pembunuhan massal di tempat ini.
Orang-orang
PKI yang dibantai di kali wedi Pandansimping kebanyakan berasal dari
daerah utara dan paling banyak berasal dari Manisrenggo.[53] Mereka menjadi korban atas aksi kekerasan
yang dilakukan oleh militer beserta orang-orang sipil dalam rangka penghancuran
PKI secara total dan menyeluruh.
Pembunuhan
orang-orang PKI di daerah Nglarang, Kutu dan kali wedi Pandansimping
merupakan bentuk nyata dari tindakan kekerasan. Sesuai dengan kategori
kekerasan Jamil Salmi, pembunuhan orang-orang PKI ini mengandung dua kekerasan
yaitu kekerasan langsung (direct violence) dan kekerasan tidak langsung
(indirect violence). Kekerasan langsung (direct violence) mengacu
pada tindakan yang menyerang fisik maupun psikologis seseorang secara langsung.
Pembunuhan yang terjadi di beberapa tempat di Jogonalan menjadi bukti bahwa
kekerasan langsung terjadi terhadap orang-orang PKI. Salmi melihat tindakan
seperti ini merupakan tindakan yang mengganggu hak asasi manusia yang paling
mendasar yaitu hak untuk hidup[54]. Tanpa disadari pembunuhan-pembunuhan
yang terjadi juga telah memunculkan kekerasan tidak langsung (indirect
violence). Tidak ada pencegahan baik secara individu, kelompok maupun
birokratif untuk menghalangi terjadinya pembunuhan serta Massacre di
Pandan Simping. Pembunuhan orang-orang PKI dibiarkan terjadi begitu saja.
Inilah yang disebut Salmi sebagai violence by omission sebagai bagian
dari kekerasan tidak langsung (direct violence)[55]. Sebuah kelalaian karena tidak adanya
pencegahan yang muncul terhadap pembunuhan serta Massacre terhadap orang-orang
PKI.
Sumber:
Buku
Anonim, Landreform.
Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Bagi Hasil, Jakarta: Tanpa
Penerbit, 1962
Antonius Sumarwan, Menyeberangi
Sungai Air Mata. Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya Rekonsiliasi, Yogyakarta:
Kanisius, 2007
B.M. Diah, Meluruskan Sejarah, Jakarta: PT Merdeka Sarana Usaha,
1987
Ben Anderson dan Ruth T Mc. Vey, Kudeta 1 Oktober 1965, sebuah analisis awal,
Yogyakarta: LKPSM Syarikat, 2001
Departemen Penerangan, Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria dan Landreform, Jakarta: C.V. Masco, Tanpa Tahun
Jamil Salmi, Kekerasan dan
Kapitalisme Pendekatan Baru dalam Melihat Hak-hak Azasi Manusia, Yogyakarta:
Komite Anti Kekerasan (KUAK) dan Pustaka Pelajar, 2003
Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings of 1965-1966, a.b. Erika S. Alkhattab, The
Indonesian Killings. Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat Indonesia
Yogyakarta, 2004
Sugiyanto Padmo, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten
1959-1965, Yogyakarta: Media Pressindo dan
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 2000
Artikel koran
“Orang-orang Aksi Sepihak Masih Tetap Ditahan”, Kedaulatan
Rakyat, tahun ke XIX No. 216, 19 Juni
1964.
“PD Presiden. Tindakan Aksi
Sepihak tidak Dibenarkan”, Kedaulatan Rakyat, tahun XIX No.225, 29 Juni
1964.
Sarjono, “Sekali Lagi Gerpol di
Jateng. Tangan-tangan Kotor bergerayangan menjelang subuh di Jon dodikif 5
Klaten”, Kedaulatan Rakyat, tahun XXI
No. 255, 4 Agustus 1966.
Suwarno P. Wirjanto, “Apakah Aksi
Sepihak Itu?”, Kedaulatan Rakyat, tahun XIX No. 225, 29 juni 1964.
Wawancara
Wawancara dengan Ka di
desa Bakung pada tanggal 20 November 2008.
Wawancara dengan Pr di
Gondangan Jogonalan tanggal 24 Oktober 2008.
wawancara dengan Pu di
Sawahan Jogonalan
tanggal 25 Maret 2008.
Wawancara dengan Sa di
Gondangan Jogonalan tanggal 1 Juni 2008.
Wawancara dengan Sum di
Manisrenggo tanggal 10 Oktober 2008.
Wawancara dengan Su di
Kraguman Jogonalan tanggal 17 Oktober 2008.
[1] Sugiyanto
Padmo, Landreform dan
Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965,
(Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 2000), hlm. 109.
[2] Departemen Penerangan, Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria dan Landreform, (Jakarta: C.V. Masco, Tanpa Tahun),
hlm. 3.
[3] Ibid.
[4] Anonim, Landreform. Undang-undang Pokok
Agraria, Undang-undang Bagi Hasil, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1962), hlm. 6.
[7] Komposisi
panitia landreform di tingkat desa adalah lurah sebagai ketua, carik
sebagai sekretaris sedangkan anggota-anggotanya adalah wakil-wakil organisasi
massa tani yang tergabung dalam Front Nasional tingkat desa. Sugiyanto Padmo, op.cit.,
hlm. 105.
[8]
Setidaknya ada tiga cara pelaksanaan landreform yaitu secara lunak,
moderat dan revolusioner. Di Indonesia, cara revolusioner yang semestinya
ditempuh. Selengkapnya lihat Anonim, op.cit., hlm. 7-8.
[9] Sugiyanto
Padmo, op.cit., hlm. 107.
[10] Lihat
artikel “Biarlah Fakta yang Berbicara” yang dimuat oleh harian Suara Merdeka
tanggal 2 dan 3 Juli 1964 dalam B.M. Diah, Meluruskan Sejarah, (Jakarta:
PT Merdeka Sarana Usaha, 1987), hlm. 220-227.
[11]
Sugiyanto Padmo, op.cit., hlm. 119-123.
[13] Ibid.,
hlm.132.
[14] Joyosukarno
menuntut sistem pembagian 1 banding 1 dari hasil bersih untuk tanaman padi dan
2 banding 1 untuk hasil polowijo dari hasil bersih. Hasil bersih berarti hasil
kotor setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, tanam serta panen. Aturan diatas
sesuai dengan penjelasan pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 2 tahun 1960. Lihat
Anonim, op.cit., hlm. 7.
[15]
“Orang-orang Aksi Sepihak Masih Tetap Ditahan”, Kedaulatan Rakyat, tahun ke XIX No. 216, 19 Juni 1964.
[16] “PD Presiden. Tindakan Aksi Sepihak tidak
Dibenarkan”, Kedaulatan Rakyat, tahun XIX No.225, 29 Juni 1964.
[17] Suwarno P. Wirjanto, “Apakah Aksi Sepihak
Itu?”, Kedaulatan Rakyat, tahun XIX No. 225, 29 juni 1964.
[20] Ibid.
[22] Sartono
Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 150.
[23] Ibid.,
hlm. 151.
[24] Ibid.,
hlm. 152.
[25] wawancara dengan P di Sawahan
Jogonalan tanggal 25 Maret 2008.
[26] Ben Anderson dan Ruth T Mc. Vey, Kudeta 1 Oktober 1965,
sebuah analisis awal, (Yogyakarta: LKPSM Syarikat, 2001), hlm. 141.
[28] Ibid.,
hlm. 110-113.
[30] Ibid.
[31] Ben
Anderson dan Ruth T Mc. Vey, op.cit.,hlm. 113.
[32] Dalam
laporan Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan UGM disebutkan bahwa
kerusuhan dan kekacauan ini merupakan bentuk kudeta PKI di Manisrenggo. Pusat
Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. “Aksi Kekerasan di Pedesaan
Klaten dan Banyuwangi” dalam Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings of
1965-1966, a.b. Erika S. Alkhattab, The Indonesian
Killings. Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, (Yogyakarta:
Mata Bangsa dan Syarikat Indonesia Yogyakarta,2004), hlm. 239-240. Tetapi
menurut S kekacauan yang terjadi bukanlah aksi kudeta tetapi untuk
mempertahankan pamong kecamatan Manisrenggo supaya jangan mengungsi dan tetap mempertahankan struktur pemerintahan di
Manisrenggo. Wawancara dengan S di Manisrenggo tanggal 10 Oktober
2008.
[33] Ibid.,
hlm. 228-229.
[34] Yon Dodikif V adalah depo pendidikan latihan
tempur yang terletak di kecamatan Klaten Selatan, di sebelah timur kecamatan
Jogonalan.
[35] Sarjono, “Sekali Lagi Gerpol di Jateng.
Tangan-tangan Kotor bergerayangan menjelang subuh di Jon dodikif 5 Klaten”, Kedaulatan
Rakyat, tahun XXI No. 255, 4 Agustus
1966.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[39] Wawancara dengan Pr di Gondangan
Jogonalan tanggal 24 Oktober 2008.
[40] Wawancara dengan P di Sawahan
Jogonalan tanggal 25 Maret 2008.
[42] Wawancara dengan S di Gondangan
Jogonalan tanggal 1 Juni 2008.
[45] Wawancara dengan Pr di Gondangan
Jogonalan tanggal 24 Oktober 2008.
[46] Wawancara dengan Su di Kraguman
Jogonalan tanggal 17 Oktober 2008.
[47] Lihat Antonius Sumarwan, Menyeberangi
Sungai Air Mata. Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya Rekonsiliasi, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hlm. 339.
[48] Wawancara dengan Ka di desa Bakung
pada tanggal 20 November 2008.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Jalmi
Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme Pendekatan Baru dalam Melihat Hak-hak Azasi
Manusia, (Yogyakarta: Komite Anti Kekerasan (KUAK) dan Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 31.
[55] Ibid.,
hlm. 32.
Saya sempat melihat sisa sisa pembunuhan itu, waktu kecil kalau maen ke kali sering menemukan tulang belulang manusia. Dari hasil ngobrol ngobrol dengan orang orang tua, kabarnya sekitar 200 orang dibunuh di sana. Termauk suami istri Joyudo (pimpinan PKI Prambanan) dan dua anak gadisnya.
ReplyDeleteSewu-sewu aja ketemu lik....
DeleteObat Aborsi Di Klaten
ReplyDeleteObat Cytotec Asli Di Klaten
Obat Penggugur Kandungan Di Klaten
Jual Obat Aborsi Di Klaten
Cytotec Asli Di Klaten
Obat Aborsi Cod Di Klaten
Obat Pelancar Haid Di Klaten
Obat Terlambat Datang Bulan Di Klaten
Obat Peluntur Janin Di Klaten
Obat Cytotec Asli
Obat Aborsi
Jual Obat Cytotec Asli
Cytotec Asli
Jual Obat Aborsi
Obat Peluntur Janin
Obat Penggugur Kandungan
Obat Terlambat Datang Bulan
Obat Pelancar Haid
WA: 0812 1519 9699
WEBSITE RESMI: https://penggugur-janin.com/