“Pramoedya Ananta Toer” sebagai Sebuah Konsep
Oleh: Dian Purba
Jika
konsep menurut Heddy Shri Ahimsa Putra bermakna istilah-istilah atau kata-kata
yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk
menganalisis, memahami, menafsirkan dan menjelaskan peristiwa atau gejala
sosial-budaya yang (hendak) dipelajari, maka saya memberanikan diri mencangkan
“Pramoedya Ananta Toer” sebagai sebuah konsep. Tentu saja akan ada yang
berpendapat bahwa “Pramoedya Ananta Toer” bukanlah satu gejala, atau wakil,
dari gejala sosial atau gejala budaya. Namun, menurut saya, “Pramoedya Ananta
Toer” bukanlah sekadar menyebut satu nama semata. Di nama itu terkandung
berlaksa-laksa gejala yang semestinya kita telisik dari multiperspektif.
“Pramoedya Ananta Toer” sebagai sebuah konsep dalam tulisan ini akan ditelisik
dari satu sisi gejala itu, yakni pengalaman getir hidupnya, yang dibeberapa karya-karyanya
cukup kuat menjelaskan itu.
Sastrawan
Indonesia paling gemilang dan paling menderita adalah Pramoedya Ananta Toer.
Karyanya dipuja di hampir seluruh negeri di atas bumi namun dihujat di
negerinya sendiri. Seperti nabi yang tidak pernah mendapat perlakuan istimewa
di kampung halamannya sendiri, Pramoedya hingga akhir hayatnya diperlakukan
penguasa seakan-akan dia seorang yang patut disingkirkan. Ironis. Bahkan ketika
dunia mengakui ketangkasannya merangkai kata dengan beberapa kali dinobatkan
sebagai calon peraih nobel, negeri tempat dia besar dan menghembuskan nafas
terakhirnya seolah-olah abai dengan semua itu. Ini terbukti dengan tidak pernah
dicabutnya pelarangan penerbitan karya-karyanya hingga kini. Kita boleh
menggeleng kepala lantaran negara tetangga kita, Malaysia, menjadikan karya
Pramoedya sebagai bacaan wajib murid-murid sekolah, sementara di kelas-kelas di
sekolah-sekolah Indonesia hampir-hampir tidak pernah menelaah karyanya.
Kita
punya kisah tentang zaman di mana seseorang akan dipenjarakan karena menyimpan
dan membaca karya Pramoedya. Memang demikian adanya, di saat itu orang harus
mencari tempat paling sepi dan kemudian bersembunyi di sana dan baru kemudian
bisa membaca karya sastrawan terkenal ini. Isti Nugroho dan Bonar Tigor
Naipospos mesti mendapat hukuman dengan tuduhan telah memiliki karya Pramoedya,
membacanya, dan mendiskusikannya. Pembenaran untuk itu: buku-buku Pramoedya
menyebarkan Marxisme dan Leninisme. Apakah memang karya-karya Pramoedya
mengandung unsur-unsur kedua paham itu? Pramoedya dekat dengan PKI, iya. Dia
terdaftar sebagai anggota Lekra, sayap PKI di bidang kesenian. Namun, tidak
serta-merta dia seorang komunis. Pramoedya mengaku dirinya seorang kiri.
Baginya kiri itu adalah orang-orang yang tidak berdaya. Dan tentu: kiri tidak
sama dengan komunis.
Keterlibatan
Pramoedya di Lekra sesungguhnya terjadi secara tidak disengaja. Tahun 1959 waktu Lekra mengadakan kongres di Solo, dia
diundang. Kemudian dia didaulat memberi kata sambutan. Selepas memberi sambutan
dia pulang ke hotel dan tidur. Di akhir kongres, Lekra mengangkatnya menjadi
anggota pleno. Pramoedya terdaftar sebagai anggota bukan karena mendaftarkan
diri. Di organisasi ini Pramoedya menjadi terbuka mata tentang masalah-masalah
politik.
Inilah
sesungguhnya penyebab utama tuduhan karyanya mengandung ajaran
Marxisme-Leninisme. Pendapat ini mendapat sanggahan dari Koh Young Hun,
pengajar Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Dia membantah
tuduhan bahwa novel Bumi Manusia
menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Tokoh utama novel itu, Minke dan Nyai
Ontosoroh, kata tuduhan itu merupakan perwujudan dari teori pertentangan kelas,
salah satu teori yang berasalah dari ajaran Karl Marx. Bagi Koh Young Hun
Pramoedya menunjukkan dirinya di karyanya sebagai penentang ketidakadilan,
bukan pertentang kelas. Pramoedya di novel itu ingin menggambarkan perjuangan
pribumi semata-mata untuk kepentingan hak pribumi dan kebangkitan nasional.
Di
titik inilah kita mesti menempatkan diri dalam menganalisis karya Pramoedya.
Pramoedya adalah sastrawan yang bertanggung jawab, wajar mengungkapkan
konflik-konflik yang timbul dalam perubahan zaman. Pramoedya adalah seorang
penulis yang berpapasan dengan zaman. Akan gagal kegiatan menilai karya-karya
Pramoedya, tulis Koh Young Hun, jika karya-karya itu tidak dilihat dalam
konteks perubahan zaman, karena di situlah letaknya kepentingan, ketinggian,
dan kedalaman kualitas karya-karyanya.
Perkenalan
kita dengan karya-karya monumental Pramoedya tidaklah kita peroleh di bangku
sekolah. Perlakuan rezim Orde Baru yang melarang bukunya beredar dan dibaca,
bahkan membakar buku-bukunya berperan besar menciptakan kondisi itu. Sementara
puluhan, bahkan ratusan, sarjana-sarjana di luar negeri menjadikan karya
Pramoedya jadi bahan skripsi, sarjana-sarjana Indonesia masih sangat sedikit
membuatnya jadi kajian skripsi. Terlebih-lebih di Universitas Methodist
Indonesia, Medan. Tersedia segudang alasan untuk ini. Seperti yang sudah
disinggung di atas, sejak awal kita tidak pernah diperkenalkan dengan Pramoedya
Ananta Toer dan karyanya secara utuh. Kita masih mewarisi pandangan pemerintah
rezim Orde Baru yang menganggap karya Pramoedya sebagai karya seorang komunis
sehingga mesti dihindari. Kita kemudian menjadi pelajar yang menghujat suatu
karya tanpa terlebih dahulu membaca karya tersebut. Dampak lanjutannya karya
sastrawan terkemuka Indonesia ini menjadi sesuatu yang tidak perlu dipelajari
lantaran larangan itu sudah mewujud menjadi satu kebenaran.
Inilah
yang diterima Pramoedya dari negara yang sangat dicintainya. Dan tentu saja
kita tidak boleh meninggalkan terali besi dari kehidupannya. Masa mudanya
hingga menjelang uzur dia menghabiskan waktunya di penjara. Belanda memenjarakannya
dua setengah tahun pada masa revolusi. Kemudian tentara nasional
mendekapnya setahun pada tahun 1961
karena bukunya Hoakiau di Indonesia.
Dan Orde Baru tak membiarkannya menghirup kebebasan selama 14 tahun. Bagaikan
Tan Malaka yang menulis buku petualangannya ke berbagai penjuru dunia, Dari Penjara ke Penjara, demikian
pulalah Pramoedya melakoni hidup: dari penjara ke penjara.
Penjara
yang membuat namanya melejit ke seluruh dunia adalah Pulau Buru. Hiruk-pikuk
peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 membuat Pramoedya beserta jutaan
rakyat Indonesia lainnya mesti disingkirkan dari kehidupan masyarakat.
Keanggotaan Pramoedya di Lekra, lembaga kesenian PKI, membuat dia dituduh
seorang komunis. Tuduhan ini cukup untuk membuat semua apa yang dia punya dilenyapkan.
Semua harta miliknya dirampas. Rumah yang ditinggalinya juga disita. Bahkan jas
tebal dan seluruh perkakas rumah tangga dirampas. Dia mesti meninggalkan
istrinya dan lima orang anaknya yang masih kecil. Sebelum mereka dikirim ke
Pulau Buru, mereka diinterogasi di Kodam. Di sana Pramoedya dan teman-temannya
dipukuli. Dengan popor senjata, kuping kiri Pramoedya dipukul. Gendang
telinganya rusak. Semenjak itu dia menjadi tuli. Orang harus berbicara keras
kepadanya. “Untuk lebih aman,” tulis Linda Christanty, “biarkan saja dia yang
bercerita. Suaranya lantang, lebih agar dia sendiri bisa ,mendengar ketimbang
tamu-tamunya yang berpendengaran normal.” Di pulau ini mereka mesti menghidupi
diri mereka sendiri, lebih tepatnya mereka kerja paksa di sana.
Karya-karya
besar Pramoedya hampir semua ditulis di penjara. Dari Juli 1947 sampai akhir
tahun 1949 semasa dalam tawanan Belanda di penjara Bukit Duri, Pramoedya
menulis dua buku: Perburuan dan Keluarga Gerilya, di samping
cerpen-cerpen. Sedangkan magnum opus-nya,
tetralogi Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca—lahir di Pulau Buru. Apa yang membuat Pramoedya bisa begitu kreatif
dalam kungkungan penjara? Pramoedya memberikan jawaban panjang: “ Persoalan
yang dihadapi oleh orang yang berada dalam penjara itu sedikit sekali.
Paling-paling menghadapi kekuasaan saja. Dan ketika menulis itu sebenarnya
orang berhadapan dengan dirinya sendiri daripada berhadapan dengan anak dan
bininya. Yang sering terjadi adalah dialog atau lebih tepatnya monolog dengan
diri sendiri. Dan itu yang diperlukan dalam proses menulis. … Untuk saya
pribadi, berada di penjara bisa lebih produktif daripada di luar penjara. Di
penjara saya bisa hidup dengan lebih sederhana.”.
Lantas,
bagaimana dengan orang yang bebas namun pikirannya terpenjara? Pramoedya
membebaskan pikirannya di saat tubuhnya terpenjara. Bagi dia kebebasan itu
harus merupakan produk dari sebuah pergulatan sendiri. Kalau kebebasan itu
merupakan hadiah dari luar, hasilnya akan terlampau labil. Kita perlu
membiasakan diri bahwa semua itu adalah produk dari usaha dan kerja sendiri,
bukan pemberian. Kalau kebebasan itu tidak bersumber dari usaha sendiri, ketika
ada guncangan kecil saja semuanya akan bubar. Namun, puncak dari semua alasan
Pramoedya selalu menggerakkan penanya adalah dia menulis sebagai tugas pribadi
dan tugas nasional. Pramoedya orang bijak yang menjadi tuan atas dirinya
sendiri yang dengan sadar dan berani menempatkan hidupnya dalam bahaya untuk
perjuangan terhadap kedaulatan kemanusiaan. Pramoedya mendapatkan inspirasi
dari kehidupan. Ketika sesuatu menyinggunya, dia akan marah, dan mendapat
inspirasi untuk melawan. “Menulis bagi saya adalah perlawanan. Di semua buku
saya, saya selalu mengajak untuk melawan. Saya dibesarkan untuk menjadi seorang
pejuang.”
Kehidupan
yang berlawan itu seolah-olah hanya tertuju kepada mereka yang lemah dan
dilemahkan. Buku-buku sejarah kita tidak menuliskan orang-orang biasa, rakyat
jelata sebagai pahlawan. Kita hanya mencatat nama-nama pejabat, raja-raja,
pangeran sebagai pahlawan. Di titik inilah Pramoedya menempatkan diri: berpihak
kepada yang lemah. Maka, tokoh-tokoh utama dalam novel-novel Pramoedya selalu
orang biasa, rakyat jelata, dan bahkan mereka yang hanya dikategorikan “massa”
dalam sejarah Indonesia. Pramoedya mencoba berbicara tentang sejarah dari sisi
lain, melalui Gundik (Bumi Manusia),
anak petani (Arus Balik), ataupun
pelacur (Larasati), dan melalui
seorang gundik (Gadis Pantai).
Dalam
karya-karya Pramoedya sering muncul tokoh wanita yang kuat. Pramoedya mengaku
itu timbul dari kecintaannya kepada nenek dan ibunya. Dari neneknya Pramoedya
mendapatkan sosok wanita mandiri, pekerja keras, dan tidak menggantungkan diri
pada orang lain. Dan wanita yang paling ideal baginya adalah ibunya. Kata
Pramoedya: “Didikannya terhadap saya membuat saya semakin menghormatinya. Ibu
saya mengatakan, “Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu
sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri.”
Ketika
ditanya apakah kecintaannya pada kedua wanita itu yang menginspirasi dia
berkarya, dia mengatakan: “Sepertinya memang demikian.” Selama masa penahannya
di Pulau Buru dia menciptkan sosok Nyai Ontosoroh. Penciptaan tokoh ini
terinspirasi sewaktu para penjaga battalion Pattimura membunuh sebelas tawanan
sekaligus. Mereka begitu kejam. Kondisi mental para tawanan menurun hingga
mencapai titik terburuk. Beberapa dari mereka menjadi gila, dan ada yang
menggantung diri. Di saat itulah dia berpikir apa yang dapat dia perbuat. Saat itulah muncul sosok Nyai Ontosoroh untuk
memberikan contoh kepada rekan sesama tawanan mengenai perjuangan seorang
perempuan yang dapat membela dirinya dari kekuatan penjajah seorang diri. Dan
ternyata berhasil, cerita tersebut diceritakan di mana-mana.
Pramoedya
senantiasa menghadirkan orang-orang biasa dalam penokohannya lantas
disandingkan dengan orang-orang yang status sosialnya lebih tinggi. Di roman Gadis Pantai, misalnya. Peran orang
biasa itu diperankan oleh Gadis Pantai
berhadap-hadapan dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi itu Bendoro, sang priyayi. Sesungguhnya kita
mesti memandang karya ini dari sisi penolakan Pramoedya terhadap budaya Jawa.
Pramoedya dibesarkan dalam pengaruh budaya Jawa, namun dia menyebut dirinya
bukan Jawa lagi. Dia merasa sebagai orang Indonesia, berpikir dalam bahasa
Indonesia, bukan dalam bahasa Jawa. Ketika seorang mahasiswa Swedia datang
mewawancarainya untuk menyusun disertasinya bertanya: “Apa yang masih
tertinggal dari ke-Jawa-an Tuan?” Pramoedya menjawab: “Masih ada, yaitu
gamelan.”
Sastra
menjadi panggung paling tepat bagi Pramoedya mengekspresikan perlawanannya
kepada segala sesuatu yang dianggapnya menghalangi kedaulatan kemanusiaan,
termasuk di dalamnya budaya Jawa yang mengelilinginya semenjak kecil. Penggambarannya
tentang budaya Jawa yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan tampak
betul di roman Gadis Pantai. Kisah
ini adalah hasil perpaduan imajinasi Pramoedya tentang neneknya dan
penggambaran apik salah satu produk budaya Jawa: priyayi. Walaupun fiksi dan
imajinasi, kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkaitan atau diangkat dari
kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia Indonesia. A. Teeuw
menyebut roman ini sebagai roman sosial-kritis tentang nasib gadis rakyat biasa
yang di-‘hadiah’-i untung baik menjadi teman ranjang seorang priyayi dan
melahirkan anak serta tentang kesewenang-wenangan priyayi dan ketakberdayaan gadis
rakyat biasa. Kita kemudian tahu, setelah Gadis
Pantai melahirkan anak perempuan, dia diusir dari istana suaminya sendiri
yang seorang priyayi tanpa membawa serta anak yang baru dilahirkannya itu.
Dengan
demikian, kita kemudian bisa mengajukan pertanyaan: Apa manfaat sastra bagi
Pramoedya Ananta Toer? Pertanyaan ini mengingatkan kita ke peristiwa di tahun
1984-1985. Di saat itu dua kubu sedang “berperang” untuk menjawab pertanyaan
yang sama: apa manfaat sastra? Kubu yang satu menyebut sastra itu bersifat
universal, sementara kubu yang satu lagi menyebut sastra itu mestilah
kontekstual.
Pertanyaan
itu kemudian dipilah menjadi tiga permasalahan pokok dalam kesusastraan: karya
sastra, hakikat sastra, dan manusia bersastra. Karya-karya sastra tentu saja
bersifat material. Artinya dapat diamati, dipegang tangan, dimakan rayap, atau
dibakar penguasa. Hakikat sastra bersifat non-material. Ia ada dalam pikiran
kita sebagai kategori yang membedakan apa yang “sastra” dan apa yang “bukan
sastra”.
Hakikat
sastra ini, bagi kedua pihak, menjadi perdebatan yang tidak menemukan titik
temu. Bahkan bisa dikatakan kedua kubu berdiri di arah yang saling berlawanan.
Paham yang mengatakan sastra itu universal berkeyakinan adanya suatu hakikat
sastra yang berlaku universal. Yakni suatu hakikat tunggal yang seragam untuk
segala masyarakat dari segala zaman. Menurut paham ini juga, hakikat sastra
dianggap lebih penting dari karya-karya sastra. Bagi mereka hakikat sastra yang
non-material itu diangankan sebagai sesuatu yang universal, kekal, atau abadi,
steril dari perubahan zaman dan masyrakat. Mereka berkesimpulan bahwa dunia ini
seakan-akan seperti tong besar tempat jatuhnya karya-karya sastra dari sumber
hakikat sastra di awing-awang “atas” sana lewat perantara sastrawan. Karena
itulah kemudian mereka beranggapan terbentuknya hakikat sastra itu adalah
sebuah misteri.
Sementara
penganut paham sastra kontekstual memandang hakikat sastra itu bukanlah sesuatu
yang abadi, bukan bersifat universal. Bagi mereka persoalan kesusastraan diakui
bersumber dari rangkaian peristiwa konkrit dan tingkah manusia nyata di bumi
ini. Atau: sastra itu tidak pernah lepas dari konteks sosial. Sastra
kontekstual tidak menganggap hakikat sastra itu sebagai misteri. Hakikat sastra
itu tidak saja dapat, tapi mutlah perlu dipahami bagaimana terbentuknya.
Hakikat sastra dibentuk dan diubah-ubah oleh tingkah manusia. Bersastra bagi
penganut paham ini adalah usaha untuk memahami terbentuknya karya-karya sastra
di suatu tempat dan masa tertentu senantiasa membutuhkan pemahaman hakikat
sastra yang berlaku di situ waktu itu.
Persoalan
pokok terakhir dalam sastra, manusia bersastra, paham sastra universal
memandang manusia hanya bisa berusaha menggapai-gapai pemahaman tentang hakikat
di awing-awang itu. Manusia tidak ikut membentuk dan tidak dapat menawar-nawar
atau mengubahnya. Karena itu, di kubu ini kita mengenal berbagai semboyan yang
muncul yang mengagungkan hakikat sastra dan juga seni dan budaya. Misalnya:
“Jika dunia dikotorkan manusia yang berpolitik, puisi yang akan menyucikannya.”
Atau, “Oleh seni manusia dimanusiawikan.” Atau, “Seni membuat manusia menjadi
manusia seutuhnya.” Karena pengagung-agungan terhadap seni dan budaya itu,
paham universal menganggap manusia-manusia nyata sebagai “hamba-hamba”
budaya/seni/sastra.
Bagi
paham sastra kontekstual, manusia dipandang sebagai pusat dari seluruh kegiatan
dan peristiwa budaya/seni/sastra. Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia
sebagai makhluk sosial, individu-individu yang tidak terpisah satu sama lain.
Mereka menganggap manusia sebagai pencipta budaya/seni/sastra. Jika suatu
budaya/seni/sastra berwatak lalim dan menindas, manusialah yang dipandang
sebagai dalangnya. Manusialah yang bertanggung jawab memperbaikinya. Manusia
tidak diperhambakan untuk budaya/seni/sastra itu. Paham kontekstual sesuai
dengan keyakinan agama-agama yang mengajarkan bahwa manusia diciptakan Tuhan
sederajat.
Hal
ini dibenarkan oleh Sapardi Djoko Damono. Menurut Sapardi, sastra tidak jatuh
begitu saja dari langit. Hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Sapardi mengajukan beberapa
pertanyaan yang jadi pertanda hubungan di antara ketiganya: sastrawan, sastra
dan sastrawan. “Apakah latar belakang sosial pengarang menentukan isi
karangannya?” “Apakah dalam karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya?” “Apakah
karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah dengan sendirinya tinggi
mutunya?” “Sampai berapa jauhkah karya sastra mencerminkan keadaan zamannya?”
“Apakah pengaruh masyarakat yang semakin rumit organisasinya ini terhadap
penulisan karya sastra?” “Apakah perkembangan bentuk dan isi karya sastra
membuktikan bahwa sastrawan mengabdi kepada selera pembacanya?”
Bagi
Sapardi, sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Lebih lanjut Sapardi: “Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri
adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra
adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan
kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan
mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang,
antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.”
Dengan demikian, saya
menggolongkan Pramoedya Ananta Toer kepada sastrawan yang menganut paham sastra
kontekstual. Sesungguhnya, tulis Pramoedya, pandangan hidup dan sejarah seorang
seniman adalah motor, sumber, yang menggerakkan penciptaan. Mempelajari hasil
seni seseorang pada hakikatnya mempelajari sejarah kepribadian dan pandangan
hidup yang memaksanya mencipta. Karena, akhir-akhirnya, sesuatu ciptaan adalah
suatu keharusan yang dilahirkan oleh sejarah kepribadian dan pandangan hidup
seseorang.
Bagi Pramoedya, sastra itu
berfungsi sebagai alat untuk mengembangkan cita. Kesusastraan yang berfungsi
sebagai pancaran dari kegiatan jiwa, bahkan perjuangan jiwa, dan juga sebagai
dokumentasi manusia. Kesusastraan sesungguhnya bukanlah permainan kata kosong
belaka seperti disangkakan oleh mereka yang baru belajar bahasa. Kesusastraan
diperuntukkan bukan hanya untuk meladeni nafsu pembaca semata. Ia harus kuasa
membawakan gambaran tegas dari cita pengarangnya. Dan seorang pengarang akan
dianggap benar-benar menghasilkan karya bila dengan tulisannya ia
memperjuangkan kepercayaannya dan kebenarannya.
Inilah kemudian yang
membuat Pramoedya tidak memandang penciptaan karya sastra demi pengejaran
nilai-nilai keindahan saja. Dalam hidup ini begitu banyak yang harus diberi
perhatian, bukan keindahan saja. Tanya Pramoedya: Apakah keindahan? Baginya,
arti keindahan itu sendiri adalah sesuatu yang meragukan. Sesuatu yang
meragukan karena keindahan takkan bisa diyakinkan pada seorang dengan kata-kata
saja, karena ia soal perseorangan. Keindahan adalah wujud dari subjektivitas.
Ketika kesusastraan
diciptakan hanya untuk mengejar keindahan saja, itu hanya membuat karya sastra
itu sendiri menjadi sempit. Menurut Pramoedya: “Dengan keindahan saja orang
akan terkatung-katung antara segala-galanya. Ia jadi kurban pancaindra yang tak
luput dari kesalahan kerja. Dan keindahan-keindahan itu adalah negative, tak
berjiwa, bila tidak dialirkan ke sesuatu tujuan dalam sesuatu wujud-wujud yang
tertentu. Dalam kesusastraan ia hanya merupakan bahan, tiada berbeda dengan
bahan-bahan seorang pengarang yang lain-lain lagi. Keindahan tak punya hak
untuk memaksa kesusastraan untuk meluluskan segala permintaannya.”
Ketika “Pramoedya Ananta
Toer” sudah kita pahami sebagai konsep maka langkah-langkah selanjutnya untuk
menelisik karya Pramoedya Ananta Toer dari berbagai sudut pandang akan semakin
mudah. “Pramoedya Ananta Toer” sebagai konsep menerangkan bahwa Pramoedya
Ananta Toer tidaklah terletak dalam ketidakadaan.
Daftar
Pustaka
Christanty, Linda.
2009. Dari Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan
Tulisan tentang Politik, Islam, dan Gay. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
Damono, Sapardi
Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Keduyaan
Den Boef, August Hans
dan Kees Snoek. 2008. Saya Ingin Lihat
Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer.
Jakarta: Komunitas Bambu
Heryanto, Ariel.
1985. Perdebatan Sastra Kontekstual.
Jakarta: Rajawali Press
Rosidi, Ajip. 2010. Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah
Obituari. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Scherer, Savitri.
2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam
Ideologi. Jakarta: Komunitas Bambu
Sirait, P.
Hasudungan, Rin Hindryati P, Rheinhardt. 2011. Pram Melawan: Dari Perkara Sex, Lekra, PKI, Sampai Proses Kreatif.
Jakarta: Nalar
Teew, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya
Toer, Pramoedya
Ananta. 2004. Menggelinding. Jakarta:
Lentera Dipantara
Toer, Astuti Ananta.
2009. Pramoedya Ananta Toer: 1000 Wajah
Pram dalam Kata dan Sketsa. Jakarta: Lentera Dipantara
Vltchek, André dan
Rossie Indira. 2006. Saya Terbakar Amarah
Sendiri: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan André Vltchek dan
Rossie Indira. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Yun, Koh Young. 2011.
Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Shri,
Heddy Ahimsa-Putra. 2009. Paradigma Ilmu
Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan (Makalah disampaikan pada Kuliah Umum
“Pardigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora” diselenggarakan oleh Program Studi
Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung,
7 Desember 2009)
[*] Pembacaan bebas makalah Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.
Phil Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah
Pandangan (Makalah disampaikan pada Kuliah Umum “Pardigma Penelitian
Ilmu-ilmu Humaniora” diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah
Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009).
Post a Comment