Header Ads

Sejarah Teori Antropologi I dari Koentjoroningrat (Sebuah Review)


Buku karya Koentjaraningrat ini diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, Jakarta (1987). Buku Sejarah Teori Antropologi ini terdiri dari 272 halaman yang terbagi kedalam 10 pokok Bab pembahasan. Buku ini telah dicetak beberapa edisi, yang terakhir adalah edisi 2010.

Kontjoroningrat dalam Bab I mengawalinya dengan memberikan pengertian antropologi. Ia menyatakan bahwa ilmu antropologi adalah ilmu yang mempelajari makhluk anthropos atau manusia, merupakan satu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari satu komplek masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia. Proses integrasi itu dimulai sekitar abad 19 hingga sekarang. Oleh karena ilmu ini masih muda, sehingga dalam perkembanganya masih banyak mengalami perubahan menyesuaikan dengan kondisi masing-masing setiap negara sesuai dengan ideologi dan kebutuhanya sendiri-sendiri. Ini dikarenakan belum adanya stabilisasi tentang metodologi dan teori dimana teori dan metodologi ini sangat terpengaruh oleh penerapan praktisnya.

Koentjoroningrat menyatakan bahwa sumber-sumber untuk mengetahui informasi tentang adat-istiadat bangsa diluar Eropa diperoleh dari catatan-catatan perjalanan dari para kalangan penjelajah dunia seperti Herodutus( abad 5 S.M) yang menulis tentang bangsa-bangsa disekitar Yunani. Di China ada I-Tsing yang menulis tentang adat-istiadat budaya dari daerah yang dikunjunginya dalam perjalanannya(Abad ke  7 M), serta di Arab Ibnu khaldun (Abad ke 14 M ) yang banyak menulis tentang selain menulis tentang kisah-kisah dan laporan perjalanan, juga menulis karangan yang bersifat analisa tentang masyarakat dan kebudayaan diluar bangsa Arab pada waktu itu, yang oleh para sejarawan Inggris disebut A. Toynbee.

Selanjutnya pada Bab II Kontjoroningrat dalam bukunya banyak berbicara tentang pandangan orang Eropa pada abad 16 hingga 19 yang terbagi menjadi dua yaitu poligenesis dan monogenesis. Poligenesis percaya bahwa memang manusia yang sekarang ini berbeda-beda secara fisik, kebudayaan serta ciri-ciri yang lain memang berasal dari ras yang berbeda-beda. Sedangkan berdaskan pandangan monogenesis bahwa manusia diciptakan sekali, yaitu manusia memang diciptakan dari satu makhluk induk. Pandangan ini berkembang di seluruh dunia selain Eropa. Untuk menjelaskan perbedaan ras berupa ciri fisik dan kebudayaan manusia yang berbeda-beda dari pandangan ini bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh alam kehidupannya. Proses adaptasi inilah yang membuat perubahan perilaku yang terakumulasi secara detail menjadi ciri ras masing-masing kelompok manusia.

Sebelum masa abad 16, Eropa mengalami jaman yang dinamakan masa kegelapan, dimana ilmu yang sifatnya keduniaan mengalami kemunduran dan manusia berorientasi pada akhirat(kehidupan setelah mati). Dengan berorientasi pada kesastraan dan pengetahuan Yunani dan Romawi klasik, para cendekiawan Eropa pada abad 16 mulai membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang berdasarkan rasionalisme, gejala ini di eropa disebut Renaissance. Kemajuan teknologi dan ilmu pendidikan ini disebut sebagai jaman penerangan(Aufklarung).

1.    Ilmu Anatomi dan masalah aneka warna manusia
Pada Bagian ini Koentjaraningrat memulainya dari awal sekali tentang munculnya proses analisis dari Ilmu Antropologi. Menuruntya ilmu ini sebenarnya sudah ada embrio kemunculannya sejak tahun 450 SM dimasa filsuf Yunani kuno yaitu Herodotus. Pada masa itu mulai menaruh perhatian terhadap ilmu anatomi manusia berupa komparasi tengkorak-tengkorak bangsa disekitar Yunani kuno sebagai bahan penelitian. Kajian ini sempatmengalami kemunduran dijaman pertengahan, namun kembali bergeliat lagi pada masa Renaissance yang mencapai puncak pendalaman ketika dokter J.C Prichard (1786-1848) mulaimenghubungkan data etnografi mengenai ciri-ciri fisik dengan data etnografi mengenai kebudayaan berbagai bangsa yang tersebar di dunia. Satu teori yang menyatakan bahwa perubahan cara hidup, artinya perubahan budaya juga  merupakan salah satu sebab dari perubahan fisik ciri manusia. Karya dari J.C Prichard menjadi permulaaan dari Antropologi Fisik.

2.    Filsafat Sosial dan Masalah Aneka Warna Manusia
Di masa aufklarung Eropa abad 18 para ahli filsafat sosial yang berfikir tentang bentuk masyarakat sosial yang sempurna sangat dipengaruhi oleh kemajuan dalam ilmu alam dan ilmu pasti. Terutama dalam hal metodologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut, yang secara induktif selalu menuju kearah pembentukan generalisasi-generalisasi yang pada akhirnya kearah perumusan kaidah-kaidah alam yang dapat dipakai manusia untuk menguasi  alam itu sendiri.

Terinspirasi dari alam itu maka para ahli filsuf mulai memahami gejala-gejala dan tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, mereka juga mencari unsur persamaan yang dapat dipakai sebagai azas-azas generalisasi dalam analisi induktif yang bisa dapat dirumuskan sebagai kaidah-kaidah sosial. Yang paling menonjol pada masa ini dalam mengeluarkan sebuah teori adalah Montesquieu ynag meneliti beberapa gejala sosial hukum, pengendalian sosial dan interaksi sosial. Dalam bukunya L’Esprit de Loi (1748) ia mengungkapakn bahwa gejala aneka warna masyarakat manusia adalah karena pengaruh sejarahnya serta pengaruh lingkungan alamnya dan struktur internnya. Selain itu Montesquieu juga mengungkapkan bahwa untuk melihat budaya satu dengan budaya yang lain tidak bisa memakai satu unsur atau adat salah satu budaya. Karena setiap budaya memiliki unsur adat istiadat masing-masing. Hal ini lah yang menjadi pelopor teori relativisme kebudayaan.

3.    Filsafat Positivisme dan masalah keanekawarna manusia
Ilmu pasti, astronomi, dan ilmu alam adalah imu yang paling mudah dalam penerapan metodologi positif dan untuk mencapai generalisasi dan perumusan kaidah-kaidah yang ketat, karena jumlah variable yang dapat merubah hubungan-hubungan antara gejala yang bersifat terbatas. Oleh August Comte, metodologi positivisme tersebut mulai diterapkan dalam ilmu sosial yang kemudian disebut sosiologi yang oleh para ahli sebelum comte disebut Fifika Sosial.

4.    Masalah Aneka Bahasa
Pada abad ke-18, para ahli kesusateraan mulai teratarik mempelajari berbagai bahasa yang digunakan oleh seluruh manusia dimuka bumi. Mereka mulai mempelajari prinsip-prinsip dan azas kesaama yang ada serta melakukan komparasi antar bahasa. Kajiannya bukan hanya tentang bahasa-bahasa di Eropa, tapi juga meluar ke asia dan afrika.

5.    Konsep evolusi dalam Ilmu Biologi dan asal mula serta evolusi manusia.
C, Darwin ((1809-1882) menerbitkan buku The Origin of Species) yang isinya membahsa bahwa seluruh makhluk hidup dipengaruhi oleh beberapa proses alamiah, evolusi dan berkembang dari bentuk sederhanan ke bentuk yang baru(komplek). Ada juga Wallace (1823-1913) secara terpisah mengungkapkan bahwa makhluk hidup dipengaruhi oleh lingkungannya dalam perkembanganya.

6.    Lembaga-lembaga Antropologi yang pertama
Adanya sebuah kajian tentang proses degenerasi, evolusi manusia, masyarakatserta budaya, maka didirikan lembaga etnologi di Paris(Societe Etnologi pada 1839) dan London (The Ethnologhica pada 1943l). Kedua lembaga itu mempunya tujuan yang sama yaitu sebagai pusat kajian dan studi dari bahan etnografi yang berasal dari sebanyak mungkin yang ada dimuka bumi. 

Pada pembahasan di Bab III tentang Teori-teori Evolusi kebudayan, Koentjaraningrat banyak berbicara tentang teori evolusi, diantaranya adalah:
1.    Proses Evolusi secara Universal
Besarnya keanekaragaman dari ciri-ciri ras, bahasa, dan kebudayaan manusia menimbulkan kerangka berfikir evolusi baik dalam biologi, maupun proses evlusi secara sosial.

2.    Teori universal H. Spencer
Konsep berfikir Spencer sama dengan A. Comte yaitu mereka termasuk aliran cara berfikir Positivisme, yaitu aliran dalam ilmu filsafat yang ertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika dan alam, kedalam studi masyarakat manusia. Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudyaan dari setiap bangsa akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun Spencer juga menjelaskan bahwa tingkat kecepatan evolusi dari setiap bangsa akan berbeda-beda dikarekan oleh faktor lingkungan.

3.    Teori evolusi Keluarga dari J.J Bachofen
Menurut Bachofen (1861) dalam bukunya Das Mutterrect bahwa diseluruh dunia keluarga manusia berkmebang melalui empat tingkat evolusi, yaitu promiskuitas(manusia hidup seperti kelompok binatang), matriarchate(keluarga inti pada garis ibu), patriarchate( keluarga inti pada garis ayah) dan parental(susunan kekebaratan)

4.    Teori Evolusi kebudayaan di Indonesia
Seorang antropolog dari belanda bernama G.A Wilken (1847-18901) meneliti daerah Buru, gorontalo, Ratahan, Sipirok dan Mandailing. Ia mencoba menjelaskan teori dari Bachoevn mengenai evolusi keluarga yang ada di Indonesia.

5.    Teoiri Evolusi Kebudayaan L.H Morgan
Teori dari Lwis H. Morgan (1818-1881) ini berpusat pada susunan kemasyarakatan dan sistem kekebaratan. Moragn berpendapat bahwa sistem penyebutan nama atau istilah kekerabatan dari setiap budaya yang berbeda pun mempunyai peranan yang berbeda pula.

6.    Teori Evolusi Religi E.B Taylor
Menurut Taylor (1832-1917) asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran itu disebabkan oleh dua hal yaitu: perbedaan antara makhluk yang hidup dan mati, artinya bahwa saat makhluk itu hidup ada kekuatan yang menggerakan yang disebut jiwa, dan yang kedua adalah peristiwa mimpi. Dalam mimpiny manusia melihat dirnya ditempat lain dan manusia mulai berfikir bahwa ada sesuatu yang lain dari dirinya yang pergi ektempat lain, hal itu lah yang disebut jiwa.

7.    Teori J.G Frazer mengenai ilmu ghaib dan Religi.
Teori Frazer (1854-1941) yang seorang ahli folklor asal inggris ini enyatakan bahwa manusia memcahkan permasalahan hidup ini dengan ilmu pengetahuan, namun akal dan sistem pengetahuan manusia ada batasnya. Semakin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Permasalahn hidup yang tidak bisa dipecahkan dengan akal maka dipecahkan dengan magic.

8.    Menghilangnya Teori-teori Evolusi kebudayaan
Pada bagian ini Koentjaraningrat memberikan analisisnya tentang menghilangnya teori-teori evolusi yang sempat mengemuka. Konstruksi-konstruksi pikiran yang tidak sesuai lagi dengan kenyataan, maka pada permulaan abad ke-20an hampir tidak ada lagi karya antropologi yang berdasarkan konsep evolusi. Ini disebabkan pada masa itu konsep evolusi dirasa tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dari kehidupan manusia. Namun pada tahun 1930-an masih ada para peniliti yang mengembangkan teori evolusi kebudayaan di Uni Soviet. Bahasan Koentjaraningrat pada Bab III ini sangat runut dengan menghadirkan teori-teori yang ada.

Bahasan tentang Teori-Teori Mengenai Azas Religi dimasukan oleh Koentjaraningrat pada Bab IV. Koentjaraningrat menyatakan ada beberapa pendekatan dalam memahami permasalahan azas religi. Banyak analisa yang telah dilakukan untuk memahami asala muasal religi dan azas religi kuno.  Sehingga Menurut Koentjoroningrat begitu bnyak pendekatan dari peneliti dapat digolongkan kedalam tiga kelompok. Ketiga golonga teori itu adalahL1) teori yang pendekatanya berorientasi pada keyakinan religi, (2) teori yang pendekatanya berorientasi pada sikap manusia terhadap alam atau hal ghaib serta (3) teori yang pendekatanya berorientasi pada upacara religi.

Seorang sastrawan Inggris bernama Andrew Lang (1844-1912) mengecam teori dari Taylor mengenai adanya kekuatan jiwa yang menggerakan manusia. Lang menyatakan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan ghaib yang dapat bekerja lebih kuat seiring makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional. Karena itu menurutnya gejala gaib itu bekerja lebih kuat pada bersahaja yang kurang aktif hidup dengan pikiranya. Itu kenapa orang Eropa yang hidup dengan pikiranya gejala gaib tidak begitu tampak. Dan menurut lank gejala ghaib itulah yang bernama jiwa, bukan konsep jiwa yang menggerakan manusia menurut Taylor.

Selain Lang, ada juga teori tentang kekuatan luar biasa yang menggerakan manusia dari Marett (1866-1940) dan konsep Kruyt (1869-1949) tentang animisme dan spiritisme. Kruyt menyatakan bahwa kepercayaan manusia pada awalnya berupa kepercayaan pada benda yang memounyai kekuatan, selain itu kepercayaan itu juga berupa percaya akan adanya makhluk halus(Spiritisme).

Menurut Koentjaraningrat banyak sekali para peneliti yang fokus pada asal muasal religi pada kebudayaan manusia, namun dari kesemuanya itu ada seorang ahli yang menyimpilkan sebuah hipotesa dari teori-teori yang ada, dia adalah seorang dosen sejarah agama dari jerman yang bernama n. Soderblom (1866-1931). Bunyi hipotesa tersebut adalah bahwa keyakinan yang paling awal yang menyebabkan terjadinya religi dalam masyarakat adalah keyakinan adanya kekuatan sakti dalam hal luar biasa dan gaib. Selain itu Koentjoroningrat menyimpulkan bahwa terdapat lima komponen dalam religi. Yaitu: (1) emosi keagamaan, (2) sisterm keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, serta (5) umat agama.

Selanjutnya pembicaraan Koentjaraningrat di Bab V berkaitan dengan kelompok studi belajar di Perancis bernama l’Annee Sociologique. Emile Durkheim (1858-1917), pemimpin kelompok itu, mempunyai pandangan bahwa manusia dalam berpikir dan bertingkah laku dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta sosial yang merupakan entitas berdiri sendiri terlepas dari individu dan mempunyai kekuatan memaksa individu untuk berpikir menurut garis-garis dan bertindak menurut cara-cara tertentu. Ia juga berpendapat bahwa dalam alam pikiran individu warga masyarakat biasanya terjadi gagasan-gagasan yang bergabung menjadi gagasan kolektif yang kemudian dijadikan sarana untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan berhubungan dalam kehidupan bersama.Mengenai teori tentang azas religi ini, ia mengatakan bahwa ada sistem religi yang lebih tua dari animisme, yakni totemisme.

Menurut Konjaraningrat, Durkheim juga membahas mengenai klasifikasi primitif, ia berpandangan bahwa kriteria klasifikasi manusia primitif hanya berdasarkan pada persamaan ciri-ciri lahiriah, seperti bentuk, warna dan bunyi). Sedangkan Marcel Mauss (1872-1950) mengatakan bahwa masyarakat Eskimo pada musim panas berpencar untuk berburu, tetapi pada musim dingin berkumpul kembali. Mereka kemudian melakukan upacara keagamaan bersama yang mengandung unsur-unsur tukar menukar harta, makan bersama, menyanyi serta menari bersama sampai mencapai trance. Aktivitas inilah yang berfungsi mempertinggi kesadaran kolektif dan mengintensifkan solidaritas sosial.

Selain, Durkheim, Koentjaraningrat juga mengkaji tentang Lucien Levy-Bruhl (1857-1945) yang mempunyai pandangan bahwa masyarakat primitif berpikir dengan menggunakan mentalitas primitif yang berbeda dengan logika ilmiah pada tiga unsur, yaitu [1] loi de participation atau kaidah partisipasi, [2] mystique atau sifat yang menganggap seluruh alam diliputi kekuatan gaib tertentu, dan [3] prelogique atau anggapan bahwa sesuatu hal ada dan juga tidak ada pada suatu tempat dan saat. Dalam perkembangannya, ternyata ia menarik teorinya, meskipun hal itu baru diumumkan setelah kematiannya yang terungkap dari tulisan catatan-catatannya.

Setelah membahas tentang satu kelompok studi, Koentjaraningrat menjelaskan juga tentang teori-teori difusi (persebaran) kebudayaan. Ia beranggapan bahwa pada awalnya kebudayaan manusia itu satu di suatu tempat tertentu, yakni pada saat manusia muncul pertama kali di dunia. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Lalu dalam perkembangan lanjutanya muncullah konsep klasifikasi unsur-unsur kebudayaan berdasarkan persamaan-persamaannya yang disebut kulturkreise oleh F. Graebner (1877-1934). Lalu konsep itu dikembangkan lagi oleh Wilhem Schimdt (1868-1954) dengan kulturhistorie untuk melihat sejarah persebaran dan perkembangan kebudayaan.

Koentjaraningrat menambahkan Teori difusi dari Schimdt ini diterapkan untuk meneliti unsur-unsur kebudayaan di daerah Melanesia oleh W.H.R. Rivers (1864-1922). Sedangkan penganut lainnya ialah G. Elliot Smith (1871-1937) dan W. J. Perry (1887-1949) mempunyai pendapat  bahwa sejarah kebudayaan dunia pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi besar yang berpangkal di Mesir yang bergerak ke arah timur dan meliputi jarak yang sangat jauh. Teori ini sering disebut heliolithic theory.

Di Bab selanjutnya tentang perkembangan Antropologi di Amerika Serikat, Koentjaraningrat membahas Franz Boas (1858-1942) yang biasa disebut sebagai pendekar atau bapak antropologi Amerika. Ia menyimpulkan pendapat Boas bahwa pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsur-unsur lama itu ke arah pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan tersebut. Konsep ini yang disebut marginal survival. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa antropologi membutuhkan ahli-ahli antropologi wanita untuk meneliti sektor wanita dalam suatu kebudayaan. Koentjaraningrat juga menyinggung tentang Clark Wissler (1870-1947) dengan konsep culture area (daerah kebudayaan) yang digunakannya untuk mengklasifikasikan benda-benda dari kebudayaan bangsa Indian yang tinggal berpencar di Amerika Utara.

Di Bab ini juga Koentjaraningrat membahas tentang peneliti-peneliti lain, siantaranya adalah seorang pengganti dari Boas. Peneliti itu adalah  A.L. Kroeber (1876-1960) yang mewajibkan bagi seorang peneliti untuk tinggal minimal satu tahun untuk melakukan penelitian lapangan. Bersama Talcott Parsons, ia mengajukan konsep culture system (sistem budaya) dan social system (sistem sosial). Poin penting yang diambil Koentjaraningrat dari Kroeber adalah bahwa Ia mengusulkan konsep superorganic yang berarti bahwa kebudayaan berevolusi lebih cepat daripada organisme manusia. Seorang Antropolog lain yang disajikan oelh Koentjaraningrat ialah Robert H. Lowie yang cenderung anti evolusionisme, tetapi secara umum mengikuti F. Boas dalam penelitian difusi.

Kemudian pada Bab VIII tinjauan Koentjaraningrat fokus pada antropologi di beberapa negara komunis. Negara-negara yang dikajinya adalah Uni soviet, Yugoslavia, Rumania dan Republik Rakyat Cina. Semuanya menjadi kajian menarik bagi kajian anntropologi yang mewakili negara-negara komunis.

Di Uni Soviet, Koentjaraningrat mengatakan bahwa di negara ini ilmu antropologi terbatas hanya pada antropologi budaya yang terpisah dari antropologi fisik. Setelah adanya revolusi, ajaran Marxisme dijadikan dasar berpikirnya yang disandingkan dengan teori-teori evolusionisme oleh Friedrich Engels. Sedangkan di Yugoslavia, antropologi dalam arti ilmu etnologi mempunyai wilayah perhatian yang terbatas kepada kebudayaan suku bangsa di Yugoslavia sendiri, terutama di tingkat pedesaan.

Penelitian-penelitian paleo-antropologi di Rumania baru dimulai setelah  Perang Dunia II dengan munculnya ahli antropologi fisik wanita, Olga Necrasov (148-149). selanjutnya di Cina, Koentjaraningrat mengatakan bahwa antropologi tidak berkembang pesat yang mungkin disebabkan sebelum revolusi komunis penelitian banyak tercurahkan pada orang Han dengan memakai filologi untuk menganalisa naskah-naskah kuno.

Di Bab ke IX, Koentjaraningrat memaparkan teori-teori fungsional-struktural. Pertama dijelaskan mengenai fungsionalisme Bronislaw Malinowski (18884-1942). Etnografi Malinowski ialah menggambarkan hubungan antara sistem kula di kepulauan Trobriand dengan lingkungan alam sekitar pulau-pulau, serta berbagai macam unsur kebudayaan dan masyarakat penduduknya. Ia mensyaratkan agar peneliti lapangan melatih diri dengan ketrampilan analitikal, yakni menerangkan latar belakang dan fungsi sosial adat tingkah laku manusia dan pranata-pranata sosial dalam masyarakat. Ia juga menganjurkan pengumpulan data kuantitatif yang dapat dievaluasi secara obyektif. Menurut Koentjaraningrat cara dari Malinoeski ini sangat unik, karena ia melakukan hal yang belum pernah dilakukan pengarang etnografi sebelumnya.

Selain malinowski, ada pula seorang antropolog peletak konsep strukturalisme adalah A.R. Radcliffe-Brown (1881-1955). Mengenai struktur sosial, ia menyatakan bahwa masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai struktur. Ada dua dimensi struktur sosial, yaitu hubungan diadik dan hubungan diferensial. Adapun gagasannya untuk mengintegrasikan metodologi ilmu alam dalam ilmu sosial tidak pernah sempat diterapkannya. Pandangannya mengenai fungsi sosial hampir sama dengan Malinowski, tetapi pendiriannya mengenai hukum pada dasarnya berbeda.

Koentjaraningrat juga menemukan selain Malinowski dan Radcliffe-Brown, ada juga antropolog lain di Inggris, misalnya seperti Evans-Pritchhard, Meyer Fortes dan Raymond Firth. Evans-Pritchhard (1902-1974) yang berpendapat bahwa ahli antropologi sosial pada dasarnya tidak berbeda dengan ahli sejarah sosial yang sama-sama bertujuan merekonstruksi dan mendeskripsikan struktur sosial suatu masyarakat. Titik perbedaannya hanya dimensi waktunya saja yang berbeda, yakni sejarah berdimensi masa lampau sedangkan antropologi berdimensi masa kini.

Sedangkan Meyer Fortes yang mengatakan bahwa struktur sosial yang bentuknya selalu berubah adalah merupakan jaringan hubungan antara bagian-bagian dari suatu masyarakat yang memelihara azas-azasnya untuk jangka waktu tertentu dan Raymond Firth yang berpendirian bahwa seorang antropolog harus mempelajari small unit behaviour untuk menemukan azas-azas tingkah laku manusia dalam masyarakat yang kompleks. Selain di Inggris, di Belanda ada penganut struktural lain yang penelitian mereka ditujukan kepada masyarakat di Indonesia.

Pada Bab penutup di buku ini, Koentjaraningrat menguraikan teori-teori struktural C. Levi-Strauss. Diantaranya adalah Tentang metode segitiga kuliner yang dikatakannya bahwa metode itu menjelaskan berbagai macam unsur kebudayaan manusia karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok yang diolah dengan api, yaitu salah satu unsur kebudayaan dan sumber energi manusia yang sangat dini. Tentang sistem kekerabatan, Levi-Strauss mengatakan bahwa masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi di dalamnya berdasarkan sistem simbolik. Dalam usahanya menganalisa segala macam sistem kekerabatan, ia berpangkal pada keluarga inti, sebagaimana Radcliffe-Brown.

Selanjutnya Koentjaraningrat menerangkan tentang azas klasifikasi elementer dari Levi-Strauss yaitu bahwa untuk mengetahui kategori-kategori yang secara elementer dipergunakan akal manusia dalam mengklasifikasikan seluruh alam semesta beserta segala isinya, maka dapat dipelajari dari studi tentang totemisme. Menurutnya, arti kata totem (yang secara lengkap berbunyi ototeman dalam bahasa Ojibwa) adalah “dia adalah kerabat pria saya”. Memang hampir secara universal manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya sebagai kerabat atau berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya, sehingga manusia ber-ototeman dengan hal-hal itu. Dalam hubungan itu, manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer.

Menurut Koentjaraningrat, ada  perbedaan besar antara konsepsi Levi-Strauss dalam caranya menganalisa sistem-sistem kekerabatan dan mitologi. Dalam usahanya menganalisa sistem kekerabatan, ia tidak bermaksud mencari azas-azas universal dari proses-proses berpikir simbolik yang menyebabkan sistem kekerabatan di dunia hidup dan berjalan sebagaimana biasanya berjalan. Adapun analisanya mengenai mitologi, azas-azas dan proses-proses berpikir bersahaja dan azas-azas simbolisme yang diabstraksi itu bersifat benar-benar abstrak dan universal, serta tidak terikat kepada kompleks mitologi dari masyarakat atau kebudayaan yang bersangkutan.

Pemikiran strukturalisme Levi-Strauss ternyata berpengaruh terhadap para antropolog lain, misalnya di Belanda (antara lain F.A.E. van Wouden, P.E. de Josselin de Jong, J. van Baal, dan H.G. Schulte Nordhot), Inggris (antara lain R. Needham dan R.H. Barnes) dan Amerika Serikat (antara lain C. Kluckhon dan James J. Fox).

Ulasan tentang Buku Sejarah Teori Antropologi

Sebagai sebuah buku wajib Antropologi, buku Sejarah Teori Antropologi I ini sangat lengkap isinya, karena berisikan sejarah perkembangan dari ilmu itu sendiri. Terlihat jelas bahwa Koentjaraningrat sangat ingin menyajikan sebuah panduan yang tidak “nanggung”. Penyajian dari yang runut dari awal benih munculnya ilmu antropologi serta penjelasan perkembanganyanya menjadikan buku ini sebuah karya yang bisa disebut historiografi dari sebuah cabang ilmu sosial yang menarik. Sehingga akan menjadi sebuah buku yang sangat dibutuhkan oleh para peneliti maupun para pelajar yang ingin meperdalam tentang ilmu ke-antropologi-an.

selain itu, dalam buku ini pun Koentjaraningrat tidak hanya menyajika sebuah “cerita” sejarah sebuah ilmu, tapi ia juga memberikan penjelasan serta komentar tentang apa yang disajikanya. Tidak mengherankan jika membaca buku ini, banyak kita temui kalimat yang merupakan ringkasan pokok dari pemikiran Koentjaraningrat atas teori yang disajikan. Misalnya saja saat membahas terori perkembangan religi yang begitu banyak macam ia berani menyimpullkan dengan ringkas dari berbagai banyak teori para ahli yang ada.

Di buku ini juga Koentjaraningrat mengajak kita untuk melakukan sebuah analisis yang kritis dan sistematis tentang teori-teori yang ada untuk kita dalamai sebagai pembaca agar buku ini tidak stagnan di tempat, contohnya dalam analisis mengenai teori-teori strukturalisme yang begitu banyak. Pembaca di ajak untuk bisa menyelami bagaimana asusmsi dasar dari sebuah teori, lalu pembaca akan mulai berfikir tentang bagaimana sebuah teori dikembangkan dan bagaimana pembaca bisa mengaplikasikan dalam sebuah kegiatan penelitian.

Walau demikian, dari sekian banyak kelebihan dari sebuah buku ini, ada saja kelemahan-kelemahan yang mungkin muncul, seperti diantaranya adalah
1.    lebih bagus apabila editing bahasanya disesuaikan EYD yang berlaku, atau kesalahan penulisannya diperbaiki (misalnya di daftar isi tertulis “Konsep evolusi dalam ilmu psikologi” tapi di dalamnya tercantum “biologi”).
2.    Cover sampul depan seharusnya lebih kreatif, tidak memajang foto pak Koentjaraningrat, kesannya buku ini seperti album foto. Foto pak Koentjaraningrat bisa diletakan dibiografi penulis disalam buku.
3.    Masih banyak terdapat istilah asing yang tanpa disertai dengan terjemahan Indonesia, ini seikit membingungkan pembaca karena harus mencari maknanya sendiri.

Demikianlah kelebihan dan kekuarangan buku ini. Semoga kedepanya ada perbaikan yang lebih baik sehingga buku ini menjadi sebuah pusaka ilmu Antropologi bagi anak bangsa Indonesia yang lebih baik. (sebagai Tugas Mata Kuliah Teori Kebudayaan)


1 comment:

  1. saya menyepakati bahwa antropologi ini sangat beraga dan meiliki banyak aspek yang bisa di pahami entah nantinya politik, ekonomi, sosial, agaa, budaya. saya memiliki sedikit pertanyaan disini,, apa kaitan teori budaya dan ilmu sejarah itu sendiri, dan mungkin apa itu teori budaya?

    ReplyDelete

Powered by Blogger.