Review The Book of Samud; A Javanese Literary Tradition (Ronit Ricci). Oleh Mustofa
Nama: Mustofa
Jurusan: Pascasarjana Ilmu Sejarah FIB UGM
Matkul: Historiografi
Review
The Book of Samud; A Javanese Literary Tradition
(Ronit Ricci)
Ronit Ricci
dalam bukunya ini membahas tentang karya sastra dalam tardisi Jawa, ia
mengambil dua contoh karya sastra tentang “Seribu pertanyaan” yang telah
diadaptasi ke dalam karya sastra Jawa, dalam telaah ini saya mengambil cerita
tentang “Seribu Pertanyaan” yang versi Jawa yaitu Serat Samud dan Soeloek Seh
Ngabdoelsalam di Yogyakarta yang telah mengalami transmisi dan adaptasi dalam
budaya setempat. Karena ada interaksi antara bentuk tertulis dan tradisi lisan
yang berarti setiap pembahasan tentang tranmisi budaya atau Agama di Asia
selatan dan Asia Tenggara harus senantiasa memerhatikan aspek non tertulisnya,
dalam hal ini ia mengamati karya tulis atau karya sastra yang mengalami
sirkulasi di Jawa. Cerita yang disajikan dalam Serat Samud ini sangat terkenal
dalam dunia Muslim, yaitu antara dialoq Samud Ibnu Salam Yahudi dengan Nabi
Muhammad. Cerita kemudian diproduksi dan ditransformasikan dalam konteks
masyarakat Jawa.
Dalam cerita ini
bahwa Samud ingin menemui Nabi Muhammad dan ingin mengajukan beberapa
pertanyaan untuk meyakinkan Samud bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terkahir yang
dijelaskan dalam Kitab Toret (Taurat), apabila Sang Nabi mampu menjawab maka,
ia benar adalah Nabi terkahir dan ia akan mengikuti jalannya (masuk Islam).
Dalam naskah ini Samud bertanya seputar biografi Nabi Adam, tubuh manusia, dan
ritual Muslim. Contoh dialoq Samud dan Nabi Muhammad yaitu: Samud bertanya: Mengapa
Muslim berpuasa sepanjang bulan Ramadhan, kemudian dijawab karena Khuldi ada
diperut Adam dan Allah memerintahkan agar tidak minum dan makan selama tiga
puluh hari. Ketika Samud bertanya tentang doa yang sering dilakukan Umat Islam,
kemudian dijawab bahwa doa Nabi Adam ketika membuat kesalahan agar mendapat
ampunan Allah dan tradisi ini dilanjutkan sampai umat Islam sekarang.
Pertanyaan berkaitan dengan anggota tubuh yang bagian wadlu, Nabi Muhammad
memberi jawaban yang pajang, yang intinya bahwa semua anggota wudlu itu untuk
mensucikan kembali dari noda dan kotor yang dibuat Nabi Adam ketika memakan
buah Kuldi agar tetap bercahaya dan memohon ampun sampai Allah mengampuninya,
agar tidak terbelenggu di neraka.
Melihat dialoq
ini bahwa menurut Ricci teks yang yang disajikan adalah gaya atau model yang
sama dalam penafsiran seluruh teks Jawa yaitu analogi yang sering digunakan
untuk menyajikan ide-ide abstrak. Dalam naskah awal Samud menekankan narasi
secara detil peran sentral Nabi Muhammad, berbeda cerita yang digambarkan oleh
Serat Suluk Samud Ibnu Salam dan serat Samud yang menekankan pada ajaran mistis
Islam Jawa. Subtansi dari seribu pertanyaan ada variabel atau unsur-unsur Jawa
ajaran Wadhat al-Wujud atau menjadi kesatuan yang yang diadaptasi dari ajaran
Ibnu Arabia pad abad ke-13 yang diperkenalkan di Indonesia pada akhir abad
ke-16 dalam bentuk puisi oleh Hmazah Fanzuri. Menurut Ricci tentang Samud yang
masuk Islam bukan ingin menyajikan diskusi tentang konversi yang dipahami
kompetisi historis antara Yudaisme dan Muslim, namun sebagai penekanan narasi yang bergeser ke intra-Muslim dan intra-Jawa.
Dalam cerita
“Seribu Pertanyaan” ada sosok Nabi Muhammad yang menyampaikan ilmu atau
mengarahkan pengetahuan pada pendatang
yang semangat untuk belajar dari
sifat-sifat Nabi dan ajarannya. Kemudian dalam Soeloek Sheh Ngabdoelsalam peran
Nabi digantikan oleh seorang guru Jawa yang mampu dan bijaksana meskipun tidak
sama dengan Nabi Muhammad. Selain itu apabila Nabi mendapat inspirasi dari
Malaikat Jibril untuk membalas dengan
cepat seluruh pertanyaan, sedangkan Sheh
Ngabdoelsalam tidak mendapat bantuan Ilahi. Antara Nabi dan Samud berada dalam
satu lokasi dan semua cerita diungkapkan dalam Masjid, Sheh Ngabdoelsalam juga
menerima muridnya, tetapi mereka datang dan pergi secara terus menerus atau
berkelanjutan. Itulah poin-poin perbedaan yang ingin disampaikan oleh Ricci
dalam tulisannya ini.
Apabila dalam
“Seribu Pertanyaan” yang mencolok antagonisme antara Yudaisme dan Islam yang
menyajikan dialoq antara Samud dan Nabi Muhammad dan berakhir dengan konversi,
berbeda dengan yang di Jawa cerita itu menyajikan dialoq antara guru dengan
murid-muidnya yang datang untuk mencari ilmu. Naskah ini membuktikan simbol
Agama kedua karya sastra tersebut dan merupakan perubahan yang cukup mendasar. Sudah
tampak jelas bahwa karya sastra Soeloek Sheh Ngabdoelsalam mengalami interkasi
dengan tradisi lokal yaitu Jawa yang beorientasi Islam kejawen. “Seribu
Pertanyaan” yang sudah bertransformasi dalam sastra Jawa yang ditulis dengan
daya kreatif dan imajinasi penyair Jawa pada abat ke-17 dan abad ke-20.
Ricci ingin
menyampaikan dalam tulisannya ini bahwa, dalam proses penyebaran Islam peran
teks menjadi sangat penting, seperti
Alquran, karya sastra, puisi, penulisan ilmiah, historiografi. Dengan
teks-teks ini ide-ide, keyakinan bisa disampaikan, selain itu, transmisi
sastra, terjemahan, dan konversi Agama saling memengaruhi. Dalam hal ini Ricci
membandingkan keudian menjelaskan tentang “Seribu Pertanyaan” dalam tradisi
Islam Arab yang telah mengalami konversi atau transformasi kedalam budaya Jawa
dalam serat Samud “soeloek Sheh Ngabdoelsalam”. Tak bisa dimungkiri bahwa Islam
secara langsung telah memengaruhi Jawa yang kemudian menjadi Islam Kejawen, pun
sebaliknya, Jawa telah memengaruhi teks atau sebuah cerita orang-orang Arab
“Seribu Pertanyaan” dialoq antara Nabi Muhammad dan Samud yang kemudian
dimodifikasi ala Jawa. Walaupun menurut saya pesan yang disampaikan tidak jauh
berbeda.
Post a Comment