Header Ads

Sex, Race and The Contract (Review dari M. Ma’arif Rakhmatullah)

           353765/PSA/7531. Saya akan melakukan review mengenai chapter tiga dalam buku “Textual Empires: A Reading of Early British Histories of Southeast” yang ditulis oleh Mary Catherine Quilty (selanjutnya akan saya sebut sebagai penulis) diterbitkan tahun 1998 oleh Monash University Australia. Chapter tiga berjudul “Sex, Race and The Contract” yang terdiri dari dua puluh tujuh halaman. Sebelum mulai menulis, perlu diketahui terlebih dahulu siapa penulis dari buku ini dan bagaimana latar belakangnya secara singkat. Penulis merupakan kandidiat doktor di Universitas Sydney, dan bekerja di akademi ilmu sosial di Australia yang memfokuskan penelitian hubungan Australia-Asia. Sehingga menurut saya, dia memiliki bekal yang cukup dan kompeten untuk menulis buku ini. Selain itu nanti akan kita lihat bagaimana dia memposisikan diri sebagai warga Australia yang menulis tentang Imperialisme Inggris. Kedekatan historis mapun politis nampaknya sedikit banyak akan cukup mempengaruhi tulisannya.
            Penulisan chapter tiga memiliki tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana Inggris melihat daerah koloninya di Asia Tenggara pada awal abad XVIII. Maka mereka mengirim lima orang yang bertugas melakukan pengawasan sekaligus memberikan laporan mengenai kehidupan bangsa koloni dari berbagai aspek terutama menyangkut kehidupan penduduknya. Kelima orang tersebut yaitu Crawfurd, Raffles, Symes, Marsden, dan Anderson. Mereka semuanya memiliki jabatan yang cukup tinggi serta ketrampilan menggambarkan situasi tanah jajahanya dengan cukup baik.
Chapter tiga memfokuskan tentang bagaimana sistem kontrak sosial coba diterapkan di daerah koloni sebagai bagian untuk mendobrak tradisi lama dibawah kekuasaan penguasa-penguasa lokal. Dengan kontrak sosial diharapkan adanya persamaan dan jaminan kebebasan sebagai manusia, meskipun dalam pelaksanaanya tidak pernah terealisasi dengan baik. Permasalahan pembagaian kerja juga dimasukan dalam tulisan ini dimana laki-laki mendapat tempat yang lebih dibanding perempuan sehingga mengingkari konsep kebebasan yang didengungkan. Selanjutnya juga dideskripsikan mengenai populasi penduduk di Jawa yang coba ditingkatkan oleh Raffles setelah sebelumnya mengalami kekurangan penduduk akibat besarnya korban meninggal dalam berbagai macam pembangunan infrastruktur di Jawa oleh Belanda.
Kemudian, penulis juga menggamabarkan tentang golongan menengah yang dihuni oleh pedagang dari Arab dan Cina. Sedangkan pribumi sendiri masih jauh tertinggal, sehingga mendorong Crawfurd untuk mengangkat mereka supaya memiliki tingkatan sosial yang sama. Saya melihat penulis cukup bagus dalam mengorganisasi tulisannya dimana berawal dari hal umum ( kontrak sosial) yang menjadi sub bab pertama dari chapter tiga, kemudian masuk lebih ke dalam lagi di sub bab selanjutnya yang berisikan dengan permasalahan kependudukan, termasuk gender dan ras.
Meskipun Inggris memiliki tujuan untuk mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara, namun penulis dalam tulisannya tidak menampilkan seluruh wilayah tersebut. Berdasarkan isi bacaan, penekanan utama berada di Sumatera bersumber laporan Mersden dan Jawa oleh Raffles. Dua daerah tersebut cukup penting dan akan dibangun sebagai pusat Inggris dalam menyebarakan pengaruhnya ke pulau yang lain. Kemudian oleh penulis juga disisipkan laporan dari daerah lainnya sebagai bahan perbandingannya. Seperti laporan dari daerah Burma, Singapura maupun Penang.
Dari segi metodologinya penulis mempergunakan kumpulan laporan dari kelima pegawai Inggris tersebut yaitu Crawfurd, Raffles, Symes, Marsden, dan Anderson. di samping penggunaan sumber-sumber pegawai lainnya seperti Lord Minto dan Paterman. Menurut saya, penulis cukup jeli dalam memahami makna yang tersirat dari beberapa laporan pegawai Inggris tersebut. Satu hal yang khusus dilakukakan oleh penulis yaitu tidak mudah percaya dengan teks-teks yang berisi laporan mereka tentang daerah koloni. Dia kemudian memberikan kritiknya terhadap laporan pegawai Inggris yang sering ditemukan kejanggalan di dalam isinya. Apa yang ditulis dalam laporan dibuat dalam kalimat-kalimat yang bermakna baik, sehingga tidak memunculkan stigma buruk bagi pemerintah pusat. Bentuk imperialisme yang penuh dengan intimidasi dan kekerasan ditulis sebagai upaya persuasif dalam beberapa laporan pegawai Inggris tersebut. Bahkan sistem kontrak sosial yang memberikan jaminan kebebasan dan kesetaraan tidak dilaksanakan dengan baik. Para pekerja memang terbebas dari sistem feodal kerajaan, namun itu hanya cara halus dari pihak Inggris untuk memakai jasa mereka dalam sistem kontrak sosial. Kemudian, dalam prakteknya para budak sering dieksploitasi secara berlebihan sampai pemutusan kontrak kerja secara sepihak, sehingga merugikan budak tersebut. Konsep kebebasan yang ada di dalam diri setiap budakpun hanya jadi utopia belaka.
Penulis dalam menganalisis pelaksanaan kontrak sosial juga menggunakan pendekatan Adam Smith dan John Locke. Hal ini terlihat didalam tulisanya yang menampilkan bagaimana konsep liberalisme coba diterapkan di Asia Tenggara. Di mana pada saat bersamaan penduduknya masih hidup dibawah kekuasaan raja yang abolut dan jauh dari kesan kebebasan. Tentu ini menimbulkan penyesuaian baru dan menyimpan ledakan berupa permasalahan bagi bangsa pribumi. Konsep liberalisme secara tidak langsung akan mengenalkan mereka akan uang sebagai alat tukar ekonomi. Mengingat jika mereka bekerja akan melalui prosedur sebuah ikatan kontrak yang didalamnya termuat jangka waktu dan besarnya gaji. Namun, tingginya pajak yang dibebankan kepada pribumi menjadikan mereka tetap terbelenggun di jurang kemiskinan. Temuan-temuan inilah yang mendasari penulis dalam mendeskrispsikan chapter tiga.
            Penulis disini mencoba memaparkan temuannya kepada pembaca dengan cukup obyektif. Meskipun dia seorang australia yang notabene memiliki kedekatan dengan Inggris namun dalam tulisannya ini tidak serta merta mendukung apa yang pernah dilakukan Inggris di masa silam. Penulis memang mencoba untuk menampilkan tulisan-tulisan tentang Inggris yang dapat mendorong pikiran pembaca guna menyimpulkan nilai-nilai positif imperialisme Inggris di Nusantara. Dari tulisan tersebut, tersiratkan makna bahwa Inggris berusaha mendorong  negeri koloninya lebih maju dalam berbagai bidang perekonomian yang didukung sektor pertanian dan perdagangan. Kemudian berkembang juga kebijkan atas pembagian pekerjaan yang lebih baik dengan adanya sistem kontrak sosial. Penulis disini belum memaparkan secara jelas bagaimana pole kehidupan pribumi setelah bergantinya dari Belanda ke Inggris. Kemudian juga belum dideskripsikan bagaimana penderitaan pribumi setelah adanya sistem kontrak sosial.
            Di dalam sub bab mengenai kependudukan, penulis menggambarkan tentang perbedaan yang mendasar dari gaya Raffles di Jawa dengan kolonial Belanda pada masa sebelumnya. Belanda mempekerjakan penduduk lokal dengan kejam sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat besar terutama di Jawa. Sedangkan Raffles dinilai oleh penulis lebih sistematis dalam membangun jawa dan berupaya menjadikan wilayah ini sebagai pusat pengembangan dari peradaban bangsa Inggris di wilayah Asia Tenggara. Bagaimanapun juga Raffles dan kawan-kawannya tidak hanya membeli hasil bumi Nusantara untuk di jual ke Eropa saja namun bertugas mempersiapkan daerah koloni dengan baik termasuk sebagai tempat pemasaran hasil industri Inggris.
Setalah Raffles, penulis mencoba memberikan pandangan yang lebih seimbang dalam mendeskripkasn tulisannya, maka dilihatlah pemikiran dari Crawfurd. Crawfurd lebih melihat Asia Tenggara secara keseluruhan dibandingkan Raffles yang memang lebih suka Jawa. Akan tetapi keduanya memiliki kesamaan tujuan yaitu memberikan pemikiran dan saran yang tepat kepada pemerintah pusat guna mengembangkan potensi penduduk koloni sehingga peradabannya lebih maju. Crawfurd juga menganggap Nusantara lebih memiliki nilai jual tinggi dibanding India. Bahkan dia juga berpesan kepada petani Jawa untuk bersikap hemat dalam keuangannya daripada untuk dihabisakn untuk berfoya-foya. Saya melihat pesan ini memiliki nilai moralitas yang coba ditampilkan oleh penulis.  
Berdasar dari pernyataan-pernyataanya, saya melihat ada yang menarik dari seorang Crawfurd, tokoh ini cukup kontradiktif. Dia mengelurkan pernyataan yang terkadang sering berlawanan dengan sebelumnya. Seperti yang saya tulis diparagraf sebelum ini, dia begitu memiliki pemikiran yang positif atas daerah koloni. Disisi lain, dia juga pernah mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan pribumi sebagai bangsa yang rendah dan tanpa kedatangan mereka (Inggris), niscaya pribumi bisa menjadi lebih baik dan lebih maju. Ras kaukasosid (Eropa) dipandangnya lebih unggul dibanding bangsa Asia Tenggara. Dari pernyataan tersebut terlihat sikap etnosentrisme yang ditunjukan oleh sebagian bangsa Eropa yang datang di Nusantara. Sayangnya penulis, disini tidak memberikan keterangan yang jelas atas faktor-faktor yang mempengaruhi sikap Crawfurd tersebut.
Mereka (Inggris) cenderung menganggap kolonialisme sebagai perilaku halal untuk dilakukan oleh bangsa yang telah maju terhadap bangsa tertinggal. Menurut saya sangat wajar mereka memberi anggapan seperti itu, sebab berada di pihak penguasa. Tentu, akan beda lagi jika melihat sudut pandangnya dari yang terjajah. Penjajahan telah mengakibatkan kemelaratan, kesengsaraan ekonomi dan lainnya yang membawa kemunduran bagi sebuah bangsa. Menurut saya sebagai bangsa yang pernah dijajah, apapun alasannya bentuk kolonialisme tidak diperkenankan oleh bangsa manapun.


No comments

Powered by Blogger.