Header Ads

THE TALE OF THE SKULL AN ISLAMIC DESCRIPTION OF HELL IN JAVANESE( Review oleh M. Ma’arif Rakhmatullah)

353765/PSA/7531. Saya akan melakukan review sebuah artikel yang berjudul The Tale of the Skull An Islamic Description of Hell in Javanese, ditulis oleh Clara Brakel-Papenhuyzen  (selanjutnya akan saya sebut sebagai penulis) diterbitkan tahun 2002 di jurnal KITLV.
Penulis merupakan alumni Universitas Leiden dengan spesialisasi bahasa dan budaya di Asia Tenggara termasuk di dalamnya agama, ritual, sastra dan kesenian. Ini menunjukan bahwa bangsa Eropa yang selama ini dikenal dengan sikapnya yang penuh rasional nyatanya tetap melihat hal-hal seperti legenda atau hikayat memiliki nilai untuk ditulis dalam sebuah penelitian ilmiah.  
Apa yang ditulis oleh  Papenhuyzen ini merupakan bagian dari historiografi tradisional seperti hikayat, babat ataupun serat. Sumber-sumber sejarah ini dalam realitasnya diposisikan sebagai yang termarginal khususnya dalam penulisan sejarah Indonesia. Umumnya sejarawan lebih tertarik pada arsip-arsip yang berupa dokumen pemerintah maupun bangsa kolonial yang banyak tersimpan di lemari Arsip Nasional baik ditingkat pusat maupun daerah.
Bagi pembaca terutama kaum positivis tentu akan menjadi permasalahan tersendiri dalam mengkaji tulisan ini. Kaum positivis cenderung melihat peristiwa sejarah sesuai dengan kenyataan yang terjadi atau hal-hal empirik, sedangkan legenda dipahami sebagai sebuah cerita yang mengandung mitos dengan peristiwa yang dilebih-lebihkan dan memuat unsur magis didalamnya. Justru hal ini menjadi salah satu dorongan bagi penulis untuk mengungkap sejauh mana legenda sebagai salah satu sumber historiografi tradisional dengan mengambil fokus kajian di Jawa abad XIX. Penulis ingin melihat sejauhmana legenda memiliki kontribusi dalam penulisan karya sastra di Jawa pada masa tersebut.
            Nusantara dilihat penulis sebagai wilayah yang memiliki modal besar berupa legenda atau cerita rakyat di berbagai daerah. Namun, menurutnya masih sedikit yang coba untuk dikaji dalam konteks ilmiah. Modal besar itu tercecer dalam kehidupan sehari masyarakatnya dan berkembang luas dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Penyebaran ini memang mempercepat penyampaiannya dalam masyarakat, namun seringkali terjadi perbedaan penafsiran akibat berbeda pula manusia yang menyampaikannya. Hal ini dilihat penulis memiliki perbedaan dengan pesatnya penulisan epik atau syair-syair kepahlawanan di wilayah Timur Tengah yang telah banyak dikaji dalam level ilmiah.
Mengenai metodologi penulisan artikel ini penulis menggunakan beberapa sumber karya sastra seperti Hikayat Radja Djumjumah, Hikayat Melayu Indraputra, Hikayat Maharaja Ali, roman versi melayu, katalog pigeud dan florid, Serat Centhini, Serat Pathak serta beberapa manuskrip atau sumber lainnya yang mendukung penelitian penulis. Menurut saya penulis cukup obyektif meskipun ini bukan pekerjaan yang mudah baginya dalam memahami teks-teks Jawa atau Melayu, kemudian mencoba menggali makna dari syair-syair beberapa tembang Jawa yang ada di karya sastra tersebut.
Untuk menggali makna dari isi dalam hikayat atau serat tentunya membutuhkan ilmu bantu hermeneutika, namun dalam artikel ini penulis tidak menyampaikannya secara langsung.  Ilmu ini memiliki peran yang penting ketika akan menafsirkan isi kalimat-kalimat dalam karya sastra tersebut sebab seringkali memiliki makna atau menyimbolkan akan suatu hal dan pesitiwa. Makna yang diungkapkan bisa berupa nasihat ataupun larangan.
Penulis juga cukup bagus dalam mendeskripsikan artikel ini secara kronologis, dimana dia coba memberikan aspek temporal terjadinya sebuah peristiwa. Penulis juga menyisipkan bentuk komparasi (perbandingan) antara Serat Centhini dengan Serat Pathak Jawa, serta sedikit membandingkan perkembangan historiografi tradisional di Nusantara dengan yang ada di Timur Tengah.
Penulis melakukan kritik terhadap pendapat Winstedt, tentang tidak ditemukannya sumber tertulis dari Hikayat Raja Jumjumah sebelum abad XIX. Penulis cukup bagus dalam mengutarakan jawabannya dengan logika yang baik. Dikatakannya bahwa penyebaran cerita melalui lisan justru seringkali lebih awal dari apa yang di dalam tulisan. Saya juga sependapat dengan penulis dalam hal ini bahwa dalam realitasnya tradisi lisan lebih dikenal di masyarakat, dan sering tidak diketahui siapa penciptanya. Bisa jadi karena faktor dimana menulis merupakan kegiatan yang hanya diperbolehkan untuk kalangan istana saja. Sehingga rakyat biasa tidak boleh melakukannya dan menggunakan metode lisan untuk menyampaikannya.
Salah satu karya sastra Jawa yang isinya juga mendapatkan pengaruh dari legenda menurut penulis yaitu Serat Pathak, bahkan menurt Pigeud ini merupakan teks untuk mendidik muslim dan mendapatkan pengaruh dari sumber-sumber berbahasa Arab. Karya ini menurut Poensen diperkirakan hampir sezaman dengan Serat Centhini. Sedangkan siapa penulis dan tujuan penulisannya masih belum diketahui secara mendetail dalam artikel ini. Memang terlihat dalam artikel dibandingkan dengan Serat Centhini, Serat Pathak tidak terlalu menjadi fokus penulis. Hal itu terlihat dari penjelasan yang disampaikannya kurang mendetail. Penyebabnya apakah karena serat tersebut kurang popular termasuk masalah kejelasan isi dan penulisnya, tampaknya penulis tidak menuliskannya.
Serat Centhini begitu popular dan menurut penulis sangat membantu dalam memahami peradaban awal di Jawa abad XIX. Kompleksitas dari segi isi dan bidang kajian perihal budaya dan kehidupan penduduk Jawa bisa menjadi daya dukung pernyatannya tersebut. Satu catatan kepada penulis, bahwa meskipun artikel ini tidak bertema khusus Serat Centhini namun menurut saya perlu diberikan penjelasan mengenai latar belakang penulisan karya sastra tersebut. Hal ini penting untuk memperjelas sebuah sumber yang digunakan dalam penelitian sehingga pembaca mengerti tujuan penulisannya.
Sebagaimana diketahui dari isi artikel, penulis hanya menampilkan tokoh penyusun Serat Centhini. Bahkan disebutkan salah satu tokoh pembuatnya merupakan kelompok lapisan atas atau kaum ningrat. Hal ini dapat memunculkan berbagai dugaan dari pembaca terkait munculnya serat tersebut. Seperti upaya melanggengkan kekuasaan, atau justru sebagai tanggapan atas berkembangnya pengaruh pemikiran dari tokoh lain yang coba mengguncang pemerintahan di waktu itu. Sehingga alangkah lebih baiknya diberikan penjelasan yang lebih rinci lagi.
Tampaknya terdapat sikap kehati-hatian dari penulis dalam mengkaji Serat Centhini yang menurutnya tidak hanya mengandung unsur Islam semata tetapi ada juga  pengaruh dari Hindu-Budha serta bentuk kepercayaan masyarakat Jawa. Sehingga dari sini terlihat terbentuknya karya sastra tersebut merupakan bentuk penggabungan atau transmisi dari berbagai unsur yang dominan di masa tersebut. Bisa disebut juga sebagai sebuah sinkretisme budaya.
Berdasarkan artikel ini, saya melihat isi dari penulisan Serat Centhini dengan Serat Pathak khususnya tentang kehidupan setelah mati. Kedua karya tersebut sama-sama menekankan pada bidang keagamaan berupa keyakinan adanya Tuhan dan kehidupan di alam barzah. Penceritaan tentang kehidupan sesudah meninggal menjadi alat penuntun bagi setiap manusia agar bertingkah laku yang baik selama hidup di dunia. Dari sini terlihat bahwa ada pesan-pesan moral yang disampikan oleh penulis berdasarkan syair-syair dalam tembang tersebut, bahwa  kehidupan duniawi sering membuat manusia lupa kepada Tuhannya dan penyesalan selalu ada dibelakangnya. Kedua karya sastra tersebut juga dijadikan pedoman oleh para guru Agama bagi pendidikan setiap muslim dalam mempelajari agama Islam.
Penulis disini menyertakan syair-syair Serat Centhini dalam tembang Maskumambang, Megatruh, Pucung, sedangkan Serat Pathak menggunakan tembang Dhandanggenis dan  Asmarandana. Disinilah kita sebagai pembaca harus berhati-hati dalam menyimpulkan apa yang disampaikan penulis. Mengingat dalam syair-syair tersebut menyimbolkan suatu hal atau ada makna yang tersembunyi di dalamnya. Saya setuju dengan pendapat penulis yang mengatakan bahwa isi Serat Centhini lebih memiliki keunggulan dibanding Serat Pathak yaitu ceritanya lebih lengkap serta penggunaan bahasa puitis bergaya kraton. Dari penjelasan tersebut bisa diperkirakan bahwa Serat Pathak bukan disusun oleh kalangan kraton.
Dalam kesimpulannya penulis melihat bahwa legenda-legenda yang ada di Jawa seperti yang termuat dalam manuskrip Kunjarakarna Dharmakathana telah popular lebih dahulu di Jawa sebelum munculnya Serat Cethini atau Serat Pathak. Bahkan diperkirakan Kunjarakarna Dharmakathana telah ada sebelum Islam datang dan sudah menjadi pedoman hidup bagi orang Jawa dalam memaknai kehidupan setelah meninggal di dunia. Sehingga dapat dikatakan terdapat kesamaan antara apa yang diajarkan dalam kehidupan orang Jawa mengenai kehidupan setelah manusia meninggal dengan sumber-sumber Islam dari Arab.


No comments

Powered by Blogger.