THE BOOK OF SAMUD: A JAVA LITERARY TRADITION (Review Oleh M. Ma’arif Rakhmatullah)
Saya
akan melakukan review bab tiga (The Book of Samud: A Java Literary Tradition)
dari buku yang berjudul Islam
Translated Literature, Conversion, and
the Arabic Comopolis of South and Southeast Asia, ditulis oleh Ronit Ricci
(selanjutnya akan saya sebut sebagai penulis) diterbitkan tahun 2011 oleh The University of Chicago Press.
Pada
chapter tiga ini, penulis memfokuskan
mengenai transformasi The Book of Samud
dalam tradisi sastra yang berkembang di Jawa khusunya pada abad akhir abad
XVII-XX. Bagaimana para agent
mengkondisikan agar sumber arab tersebut dapat diterima dengan mudah oleh
kalangan masyarakat Jawa yang tentunya memiliki perbedaan struktur bahasa dan
budaya. Serta bagaimana tanggapan masyarakat Jawa sendiri terhadap adanya
cerita tentang Samud tersebut, apakah mereka langsung menerima begitu saja?
Atau timbul upaya perlawann? Tentu, keterangan ini akan memunculkan berbagai asumsi
dasar yang mencoba untuk menjelaskannya. Pemilihan Jawa sebagai wilayah
penelitian oleh penulis, kiranya tak terlepas dengan dinamika Islam di wilayah
tersebut. Perkembangan Islam di Jawa tidak terlepas dari pengaruh tradisi
lokal, Hindu-Budha dan Cina.
Secara
umum dalam chapter tiga, penulis cukup bagus dalam mendeskripsikan tradisi
sastra Jawa terutama berkaitan dengan cerita Samud. Dia ingin menunjukan bahwa bukti-bukti mengenai Samud tidak
hanya ada di Arab, namun ditemukanya juga dalam sastra di Jawa. Suatu wilayah
yang bisa jadi tidak dia pikirkan sebelumnya, namun justru disitu cerita
tentang Samud mendapat perhatian yang cukup baik. Tentu ini akan menimbulkan
pertanyaan juga, bagaimana pola penyebaran cerita Samud yang ada di jazirah Arab menuju Jawa? atau mungkinkah cerita
mengenai Samud tersebut merupakan
kebudayaan asli Jawa? pertanyaan ini akan memunculkan asumsi baru yaitu bisa
jadi memang cerita mengenai Samud sengaja
dibawa oleh ulama Jawa yang ada di Arab.
Penulis
berangkat dari penemuan awal mengenai manuskrip bernama Samud Leiden yang diperkirakan telah ditulis pada akhir abad XVII
atau awal abad XVIII di pesisir utara Jawa. Perkembangan Islam di Jawa memang tidak
terlepas dari peranan wilayah tersebut, tempat dimana kebudayaan yang baru
bersifat heterogen saling bertemu dan mempengaruhi. Bisa jadi, dari sinilah agent tersebut mulai memasukkan
sumber-sumber berbahasa arab tadi. Asumsinya memang untuk mempercepat proses
islamisasi di Jawa diperlukan sebuah proses yang juga menyentuh kebudayaaan
mereka. Maka dilakukanlah sebuah upaya transformasi dari sumber Arab kemudian
masuk dalam sastra Jawa berupa Serat dengan pesan-pesan agama Islam. Penulis juga berupaya melihat bagaimana Islam
diterjemahkan oleh orang Jawa dengan segenap kebudayaan lokal yang ada di
dalamnya tentu memiliki cara pandang berbeda dibanding dengan Islam menurut
orang Arab sendiri.
Saya
disini mencoba untuk menampilkan sebuah proses perkembangan Samud dalam
beberapa sastra Jawa. Serat Samud
ditulis pada tahun 1884 di Pura Pakualaman Yogyakarta. Sedangkan Serat Suluk Samud Ibnu Salam diprediksi oleh penulis ditulis pada 1898 di
Surakarta. Menarik disini entah disengaja atau tidak, dalam menyajikan kedua
serat tersebut penulis lebih memilih menyebutkan Serat Suluk Samud Ibnu Salam terlebih dahulu, meskipun apabila
dilihat dari segi waktu Serat Samud
yang ditulis terlebih dahulu. Hal ini dapat diartikan apakah penulis tidak
terlalu mementingkan penulisan yang kronologis? atau justru ingin menonjolkan Serat Suluk Samud Ibnu Salam. Kecurigaan
saya terhadap serat ini semakin bertambah tatkala siapa penulis naskah ini
tidak dijelaskan secara detail, termasuk untuk apa ditulis serta bagaimana
keadaan kesustraan Jawa pada masa itu sendiri.
Jika
dilihat jarak penulisan antara karya Suluk
Samud dengan Serat Suluk Samud Ibnu Salam hanya sekitar 15
tahun. Ini bisa menimbulkan asumsi bahwa Keraton Surakarta tampaknya ingin
memperbaharui kembali, kemungkinan dari segi data dan penulisan dari Serat Samud yang dihasilkan oleh Pakualaman.
Bisa jadi juga sengaja dibuat sebagai tanggapan atas karya dari Pakualaman.
Maka semakin terlihat dua pusat kekusastraan Jawa yaitu Yogyakarta dan
Surakarta tampaknya saling berlomba menghasilkan karya-karya sastra Jawa. Apakah
ini merupakan kecenderungan yang wajar pada masa itu atau memang sebenaranya
dari keduanya ingin memperlihatkan siapa yang paling unggul. Disisi lain hal
ini juga bisa diartikan bahwa ada upaya dari kedua keraton tersebut untuk
bergabung kembali seperti saat dibawah pemerintahan Mataram, akan tetapi
tentunya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Sebagai bentuk transformasi, pada umumnya
sumber Arab mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, namun tetap mempertahankan
huruf arabnya sehingga disebut huruf pegon.
Mengapa masih tetap dipertahankan penggunaan huruf arab? Asumsinya Islam muncul
di jazirah Arab dengan menggunakan huruf arab, Sehingga dapat membawa persepesi
bahawa Islam di Nusantara datangnya langsung dari negeri Arab. Penggunaan huruf
pegon nampaknya tidak saja dilakukan
oleh pujangga keraton tetapi juga para ulama pengarang kitab yang dipergunakan
sebagai dasar mempelajari ilmu-ilmu agama di Pesantren yang ada di Jawa.
Penulis
disini berupaya mengkomparasikan isi Serat
Samud dan Serat Suluk Samud Ibnu
Salam, tentunya kajiannya tidak hanya berhenti disitu saja. Terus
diupayakan unutuk melakukan identifikasi misalnya mengapa sastra Jawa
memberikan perhatiannya terhadap The Book
of One Thousand Question? Apa yang menjadi keistimewaan sumber tersebut?
serta bagaimana sebenarnya keadaan kesusastraan Jawa dimasa itu? Asumsi saya yang
pertama bahwa dialog Nabi Muhammad SAW dengan seorang yahudi mengenai berbagai
topik agama Islam, bisa jadi dipandang oleh para pujangga memiliki kegunaan
untuk mengislamkan sekelompok bangsa yahudi yang kebetulan waktu itu berada di
Jawa. Sehingga disini peran serat tersebut sebagai alat Islamisasi, melalui
makna yang terkandung dalam syair-syairnya. Asumsi selanjutnya, apakah
penyebutan bangsa Yahudi oleh pujangga Jawa memang mengacu yang ada di jazirah
Arab atau bisa jadi untuk penyebutan kelompok masyarakat di Jawa yang memiliki
ciri-ciri seperti Yahudi di Arab dan belum mau untuk memeluk agama Islam, maka
ditulislah serat tersebut.
Dari
apa yang disampaikan oleh penulis mengenai dialog dalam cerita Samud tentunya
dapat kita ambil nilai atau yang ada di dalamnya. Terutama mengenai ajaran
moral dan kebaikan serta tentunya nilai-nilai agama Islam. Disisi lain juga
memunculkan asumsi bahwa Serat Samud tersebut ditulis dengan tujuan untuk memperbaiki
moral masyarakat Jawa yang mengalami kemunduran di masa tersebut. Sebab ditilik
dari rangkaian dialog yang disampaikan penulis berkisar pada topik-topik
keislamaan dari syariat sampai tingkatan hakekat.
Perkembangan
selanjutnya munculnya Soeloek Sheh Ngabdulsalam
pada 1913 di Surakarta. Dalam karya sastra ini menggunakan tokoh Seh
Ngabdulsalam yang berdialog dengan orang Yahudi, jelas berbeda dengan dua serat
sebelumnya. Hal unik lainnya dalam serat ini yaitu dimasukannya gamelan,
tayuban dan wayang didalamnya. Jika diperhatikan hal ini jelas berbeda dengan
dua serat sebelumnya yang terlihat sangat mengadopsi bentuk sumber Arab. Lantas
pertanyaanya, apa sebenarnya tujuan penulisan Soeloek Sheh Ngabdulsalam? Serta siapa yang menulis? Mengapa ditambahkan
unsur Jawa di dalamnya? Asumsinya ini ditulis untuk melengkapi Serat Samud dan Serat Suluk Samud Ibnu Salam dengan menambahkan kebudayaan lokal
yaitu Jawa. bisa jai hal ini bertujuan untuk memudahkan bagi masyarakat untuk
mencerna nilai-nilai dari serat tersebut sebagai bagian untuk memperdalam ilmu
keagamaan.
Post a Comment