Dekolonisasi Metodologi Bab II oleh Yudiyanto
13/353715/PSA/7527. Linda Tuhiwai Smith dalam bukunya
ini mencoba untuk menguraikan tentang metodologi yang selama ini dipakai oleh
negara-negara yang pernah dijajah untuk sampai kepada suatu konsep
dekolonisasi. Artinya penelitian-penelitian yang selama ini digunakan oleh
Barat yang kita gunakan untuk menyebut negara-negara penjajah adalah lewat mata
imperialis yang menyatakan bahwa ide-ide dan pandangan Barat adalah yang dapat
diterima dan rasional. Linda memaparkan dalam bab ke-2 dari bukunya tersebut
mengenai “Meneliti Lewat Mata Imperialisme” yang disini ditekankan dominasi
Barat dalam penelitian bahkan dunia akademis kita.
Disini Linda menyatakan bahwa
perspektif pribumi, penelitian Barat tidak lebih dari sekedar penelitian yang
ditempatkan pada suatu tradisi positivisme. Teori mengenai penelitian ditopang
oleh sebuah sistem klasifikasi dan representasi dan oleh pandangan-pandangan
tentang sifat manusia, moralitas dan nilai manusia, konsepsi ruang dan waktu
dan konsepsi gender dan ras. Konsep-konsep itu dimiliki oleh Barat yang
tentunya berbeda dengan konsep-konsep kita. Upaya apapun dilakukan agar
konsep-konsep tersebut tetap didominasi oleh Barat, artinya agar makna dari
konsep itu tetap diisi oleh Barat.
Sebagai contoh adalah konsep
mengenai individu. Individu dalam realitas Barat dinyatakan sebagai
representasi yang lebih baik,
mencerminkan tatanan yang lebih tinggi, tidak tunduk kepada dogma, sihir
dan pemikiran masyarakat primitif. Kata primitif inilah sebenarnya yang ingin
diungkapkan oleh Barat sebagai antitesis dari modern dan kata primitif itu
untuk menunjukkan bahwa Barat berada pada posisi yang sebaliknya. Upaya untuk
menjustifikasi ini adalah dengan terus mendengungkan konsep ini dan juga
masyarakat yang beradab haruslah tidak “primitif”.
Pandangan terhadap ruang dimata
Barat lebih mengenaskan lagi. Disini Barat telah menjajah ruang masyarakat
pribumi. Dimensi spasial oleh Barat telah digunakan untuk kepentingannya. Linda
mencontohkan dengan tanah. Tanah masyarakat pribumi oleh para penjajah bisa
ditata sedemikian rupa demi eksploitasi dengan alasan berbagai macam.
Wilayah-wilayah diberi nama, diresmikan dan digunakan untuk menunjukkan bahwa
mereka telah menata suatu wilayah dengan baik, kemudian hasilnya dikembalikan
kepada masyarakat pribumi kembali dengan bentuk yang sudah dimodifikasi oleh
Barat. Secara tegas Linda menyatakan mengenai hal ini dengan kalimat “budaya
pribumi terkerangkakan dalam sebuah bahasa dan seperangkat representasi
terspasialisasi”.
Jadi pada bab ini Linda ingin
menunjukkan bahwa mata kaum imperialis atau Barat dalam pemikiran mengenai
bangsa terjajah adalah mata yang tidak mutlak sesuai dengan mata masyarakat
pribumi yang terjajah. Linda ingin menegaskan bahwa kita sebagai bangsa
terjajah mempunyai mata sendiri untuk membahas mengenai kehidupan kita atau
masyarakat kita dan tidak harus sama dengan Barat. Bangsa Barat bukanlah bangsa
yang seolah-olah memegang dunia.
Pada karangannya, Syed Farid Alatas
khususnya pada chapter pendahuluan dan bab pertama, menguraikan mengenai
kesalahan fatal para ilmuwan-ilmuwan yang mengkaji Ilmu Sosial di “negara dunia
ke-tiga” atau negara-negara bekas jajahan. Kesalahan ini bukan hanya mengenai
objek kajiannya, bahkan sampai kepada teori dan metodologinya. Hal ini oleh
Farid dikatakan karena kita sebagai bekas bangsa yang dijajah oleh barat secara
langsung menerima teori-teori dan metodologi yang diwariskan oleh barat. Farid
lebih tegas mengatakan bahwa akademisi-akademisi Ilmu Sosial di Asia Tenggara
atau pun yang lain sebagai negara dunia ketiga kurang kritis terhadap realita
yang ada dalam kaitannya dengan Ilmu-ilmu Sosial.
Konsep yang diutarakan oleh Farid,
yakni “diskursus alternatif” sebenarnya merupakan suatu upaya untuk mencari
jalan keluar dari masalah tersebut. Sebenarnya upaya-upaya ini sudah
dibicarakan oleh akademisi-akademisi masing-masing negara di wilayah Asia pada
pertengahan abad ke-20, bahkan Farid mengatakan sebelum itu sudah ada
upaya-upaya tersebut. Hal ini sebenarnya perlu kita apresiasi mengingat kita
tidak mungkin selamanya bergantung kepada teori-teori barat. Upaya-upaya ini
dilakukan sebagai perlawanan terhadap Eurosentrisme, Orientalisme, the captive mind, imperialisme akademik
serta kebergantungan akademis.
Kembali pada bagaian awal uraian
Farid, bahwa yang dimaksud barat disini adalah merujuk pada kekuatan-kekuatan
besar yang mampu menghasilkan, atau mungkin dengan istilah “yang sudah”
menghasilkan ide, teori dan konsep, media gagasan, teknologi pendidikan dan
lain-lain yang bisa memperkuat posisinya sebagai negara induk dari segala
kegiatan akademik di dunia. Inilah yang menghasilkan suatu fakta bahwa sebagian
besar ilmu sosial dan humaniora, lebih lanjut Farid menegaskan, datang dari
Barat yang telah memunculkan masalah relevansi ilmu-ilmu tersebut bagi
kebutuhan dan masalah Dunia Ketiga. Orang-orang non Barat terkadang diakui
sebagai perintis berbagai disiplin humaniora yang tahapan formatifnya
berlangsung di Barat dan kemudian ditanamkan pada masyarakat non-Barat.
Kurangnya kreativitas dan
orisinalitas juga merupakan sebab dari semua ini. Adanya pemikiran yang
terbelenggu itulah kita kemudian lupa dengan masa pra-kolonial sehingga yang
kita ingat tentang masalalu adalah masa
kolonial, dan masa post-kolonial sekarang pun juga masih dibayang-bayangi
kolonialisme itu sendiri. Seolah-olah kolonialisme sudah berakar kuat pada jiwa
dan mental kita sehingga kita buta dan takut untuk menunjukkan eksistensi kita
sendiri dan melupakan bahkan menghilangkan pemikiran tentang kolonialisme dalam
ilmu-ilmu akademis kita. Terkadang kita lupa bahwa apa yang kita lakukan justru
melanggengkan kolonialisme itu sendiri, kita seolah-olah berada dalam alam
bawah sadar bahwa yang kita lakukan jangan-jangan sebenarnya merupakan suatu
ironi yang sedang kita bahas sekarang ini (ironi Eurosentris dan yang lain).
Farid disini memberikan penjelasan
yang lebih spesifik tentang persoalan Ilmu Sosial di negara-negara berkembang,
yakni terdapat bias Eurosentrisme sehingga ide, model, pilihan masalah,
metodologi semata-mata berasal dari karya Amerika, Inggris bahkan Perancis dan
Jerman. Terdapat juga suatu pengabaian terhadap tradisi filsafat dan sastra
lokal, dimana hal ini mungkin sudah dijadikan objek telaah, namun tidak
dijadikan sebagai sumber konsep ilmu sosial. Selain itu adalah adanya mimesis (peniruan) terlihat dalam
pengadopsian yang tidak kritis terhadap model ilmu sosial Barat. Tiadanya sudut
pandang minoritas juga menjadi permasalahan, sehingga ilmu sosial terdominasi
oleh perspektif elitis. Faktor yang berikutnya lagi adalah adanya persekutuan
dengan negara. Peran negara dalam hal ini juga berpengaruh terhadap langgengnya
perspektif barat dalam ilmu sosial kita, dimana negara yang masih mewarisi
kolonialisme berlanjut hingga sekarang, misalnya penciptaan sebuah budaya
nasional dan lain sebagainya.
Wacana dekonstruksi sepertinya
menyelimuti tulisan Farid ini. Sebagai contoh adalah pernyataannya yang
mengutarakan tradisi kritis di Filiphina. Seorang yang bernama Jose Rizal telah
mewariskan gerakan ulayatisasi atau pelokalan atau penasionalisasian
epistemologi yang bertujuan untuk mendekonstruksi warisan epistemologi
Eurosentris dengan mengangkat cara-cara ulayat dalam mencapai pengetahuan baik
melalui penyingkiran klain-klain universalis psikologi Barat, pengembangan
kerangka kerja baru historiografi maupun penerimaan sebuah disiplin akademi
baru seperti Filipinologi. Di Indonesia yang membicarakan pertamakali tentang
diskursus alternatif ini adalah justru seorang Belanda sendiri, yakni Van Leur
yang menentang perspektif dari “geladak kapal, dinding-dinding benteng, balkon
tinggi rumah-rumah dagang”. Sebenarnya upaya ini sudah digagas oleh Sartono
Kartodirdjo dengan konsep Indonesiasentrisme, namun beliau sendiri mengakui
bahwa hal tersebut ternyata masih kabur dan tampak lebih berhasil dalam
konsepsi ketimbang pelaksanaan.
Jadi pada intinya pada bab awal ini
Farid ingin menekankan bahwa kebergantungan akademis dan ilmu sosial kepada
Orientalis maupun Eurosentris perlu untuk dikritisi. Seruan terhadap diskursus
alternatif yang memandang dirinya sebagai koreksi terhadap Eurosentris,
Orientalis, kebergantungan akademis dan lain-lain sehingga ilmu sosial di tanah
air kita bukanlah ilmu sosial yang bersumber dan melandaskan dirinya pada
Barat, tetapi pada diri kita sendiri atau masyarakat kita sendiri.
Melihat kedua buku di atas, ternyata
memiliki hubungan yang saling terkait dengan istilah lain adalah saling
melengkapi. Linda dengan studi kasus tentang Maori dan Farid cenderung lebih
general dalam pembahasannya. Keduanya sama-sama mengritisi dominasi Barat dalam
setiap aspek kehidupan, khususnya akademis dan disini Farid lebih merinci lagi
dalam bidang Ilmu Sosial. Kedua buku ini jelas terpengaruh oleh pandangan
dekonstruksi yang memang berkembang pada era postmodernis sekarang ini. Kedua
penulis ini membuka cakrawala berpikir kita, khususnya bangsa yang pernah
dijajah untuk mencoba bangun dari tidur bahwasanya era kolonialisme telah
selesai, dan era kolonialisme kini telah menjadi sejarah. Kini saatnya kita
memiliki diri kita sendiri dengan berjalan pada koridor kita sendiri. Ini bukan
berarti bahwa kita benci terhadap setiap hal-hal yang berbau Barat, namun lebih
kepada kita bersikap memiliki diri sendiri diantara pribadi-pribadi yang lain.
Linda dan Farid memang berasal dari
bangsa-bangsa yang pernah dijajah. Mereka memiliki latar belakang yang sama,
yakni dijajah oleh bangsa Inggris. Mereka memiliki pemikiran yang kritis
terlebih pengaruh dekonstruksi yang berkembang dewasa ini. Hal ini tidak
mengherankan, Farid misalnya, dia dibesarkan dengan dikelilingi oleh orang-orang
yang sudah memahami tentang hakekat bangsa penjajah dan dijajah. Dia sendiri
yang mengatakan bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ayah dan pamannya, yaitu
Syed Hussein Alatas dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Pemikiran itu membawa
Farid kepada suatu kebencian dalam mentalitas peniru dan benak yang terbelenggu
(untuk menggambarkan kondisi akademis di negara-negara dunia ke-3). Begitu juga
Linda, sejak remaja dia sudah tumbuh dan berkembang di dunia ilmu pengetahuan
serta praktek-praktek bangsa terjajah yang hidup berdampingan. Dia pernah
bekerja di Museum Peabody, Salem, Massachusetts. Dari sini mulai berkembang
pemikirannya bahwa dalam disiplin antropologi yang membuat studi tentang
bangsa-bangsa terjajah lalu menjadikan hal itu sebagai ilmu pengetahuan bagi
mereka. Hal itulah beberapa diantaranya yang membuat dia sadar akan diri dan
bangsanya dimata Barat.
Post a Comment