G.J. Ressink. Suatu Passe-Partout Sekitar Penulis-penulis Sedjarah tentang Indonesia. Jakarta: Bhatara, 1971. (Indira Ardanareswari)
NIM : 13/356082/PSA/7641
Mata
Kuliah : Historiografi
Pengampu : Dr. Sri Margana
Review
Penulisan sejarah tentang Indonesia
(Hindia-Belanda) dalam dinamikanya memunculkan keberagaman perspektif.
Melimpahnya cara berpikir ini diakibatkan oleh latar belakang etnis dan bahasa
para penulisanya. Pada awal abad 20, mulai bermunculan penulis-penulis sejarah
dari kalangan bumiputra seperti Yamin, Pringgodigdo, Djajadidningrat. Meski
demikian, keterlibatan penulis-penulis Belanda-lah yang paling banyak
mempengaruhi dan menimbulkan kecenderungan barat yang sulit luntur. Dalam
tulisan ini, G.J. Ressink hendak menyampaikan kecenderungan-kecenderungan yang
membatasai keanekaragaman aliran sekitar perkembangan penulisan sejarah
Indonesia dan kecenderungan para penulisanya pada masa-masa akhir kolonial.
Ressink meminjam penggambaran
H.J. de Graaf dan W.Ph. Coolhans tentang penulisan sejarah Hindia-Belanda. Gambaran
tersebut dianggapnya sebagai potret berbingkai yang terkotak-kotak menciptakan
keberagaman paham penulisan sejarah Hindia-Belanda dan saling terpisah. Ada
empat bingkai (Passe-Partout) yang
dibahas sebagai aspek pembatas oleh Ressink; latar belakang kebudayaan dan
bahasa, pekerjaan, pendidikan, serta kecenderungan yang diakibatkan adanya
politik kepentingan pemerintah atau aliran tertentu.
Penulisan sejarah
Hindia-Belanda ada bermacam-macam sesuai urutan prosesnya. Dimulai dari sumber
catatan-catatan harian kapal yang sifatnya subjektif yang dibuat oleh pegawai
kolonial hingga mereka yang memanfaatkan arsip resmi tentang Hindia-Belanda yang
sangat melimpah, seperti apa yang dilakukan De Jonge. Melimpahnya arsip milik
VOC yang kemudian diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda menimbulkan
keingintahuan para sarjana di negeri Belanda untuk meneliti sejarah
kolonialisme di Hindia-Belanda. De Jonge merupakan salah seorang arsiparis
Kerajaan Belanda yang memberdayakan arsip-arsip resmi tersebut menjadi sebuah
seri dokumen sebanyak 10 jilid disertai pengantar historis.[1]
Akan tetapi, banyaknya usaha penulisan sejarah tentang Hindia-Belanda ini
jarang dibarengi dengan usaha menggali sumber lokal. Para penulis yang
kebanyakan berkebangsaan asing dan sebagian juga pegawai kolonial ini takut
lantaran sejarah lokal justru memunculkan persepsi Belanda adalah bangsa
penjajah.
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, permasalahan dalam historiografi Hindia-Belanda salah satunya
disebabkan latar belakang kebudayaan atau asal negara sang penulis. Ressink
mengambil contoh bahwa perbedaan bahasa, latar politik dan biasnya batas-batas
ilmu sosial di negara-negara barat memaksakan kecenderungan norma bagi para
penulis sejarah. Perbedaan bahasa dapat menimbulkan pemaknaan yang berbeda dan
membuat kedudukan arsip lokal dan arsip resmi Belanda selalu berat sebelah.
Terutama para penulis Eropa enggan memakai sumber lokal berbahasa Jawa atau
Melayu, sehingga perspektif yang muncul seluruhnya adalah Belanda.
Bagi bumiputra kesulitan
menulis sejarah Indonesia ada pada belum sampainya tingkat pendidikan ilmu
sosial yang menunjang pada masa itu. Hal ini menyulitkan pengadaan tulisan
sejarah dari perspektif non-kolonial. Yamin memulai dengan sangat baik, akan tetapi
ia tidak berangkat dari pendidikan dan minat khusus terhadap sejarah karena
Yamin sejatinya merupakan seorang nasionalis. Selain itu, layaknya
Djajadiningrat, Yamin dan Pringgodigdo semuanya berlatar pendidikan Sekolah
Tinggi Hukum dan diantara mereka lulusan Leiden. Hal ini membuat kesan bahwa sejarah
Hindia-Belanda kala itu dikuasai oleh sejarawan-sejarawan Hukum dan para
didikan Leiden yang memunculkan istilah mahzab Leiden. Para sejarawan ini pun
belum dapat lepas dari julukan penulis sejarah subjective.
Sebelum para nasionalis
bumiputra memulai karyanya, sejarah tentang Hindia-Belanda secara khusus dikaji
oleh para penulis Belanda dan Inggris, yaitu mereka yang tidak dapat lepas dari
perspektif dan perannya sebagai nasionalis negara kolonial. Bagi orang Inggris,
penulisan sejarah dan kebudayaan Hindia-Belanda memiliki misi menggali potensi
negara jajahan, di samping itu juga mempertahankan kolonialisasi yang telah
ada. Di lain pihak, kecenderungan bagi Belanda nampaknya timbul akibat adanya
pemuliaan kolonialisme di negara jajahan Hindia-Belanda—bahkan J.P. Coen
menjadi simbol kebangkitan mahzab Batavia.
Dalam kajian sejarah
Hindia-Belanda dikenal beberapa aliran yang sangat mempengaruhi orientasi
penulisan sejarah Hindia-Belanda. Mahzab Batavia dipengaruhi oleh sikap
nasionalis Belanda yang bekerja sebagai arsiparis bagi pemerintah kolonial di
Hindia-Belanda. Pencetusnya Logemann merupakan sejarawan Hukum yang berada di
bawah pengaruh ide-ide Kumpeni, sehingga tidak mengherankan mereka enggan
menelusuri naskah-naskah tradisional. Sedangkan Mahzab Utrecht dibentuk dengan
latar belakang akademik oleh Professor Garretson. Dibanding mahzab Batavia,
Utrecht lebih mendalam dalam mengemukakan kolonialisme terutama masa tanam
paksa. Mahzab Utrecht pun mulai mengkaji melalui sumber-sumber lokal masa Hindu
dan Islam pada pra-abad 17, disamping penggunaan arsip–arsip Belanda yang
kapasitasnya masih sangat banyak[2].
Penerapan mahzab Utrecht di
Hindia-Belanda memberikan gagasan bahwa aliran ini digunakan sebagai bagian counter-balance politik etis dan
kritikan dari negara induk terhadap pemerintah kolonial. Pasca cultuurstelsel, para penulis Belanda mulai
mendalami naskah-naskah lokal tradisional dan memulai kajian tentang sejarah
dan kebudayaan Jawa. Pada dasarnya kedua mahzab ini saling berseberangan, meski
pada akhirnya terdapat sebuah garis pewarisan ilmu dalam hubungan akademik yang
berpihak menghidupi mahzab Utrecht. Utrecht berhasil menorehkan pengaruh lebih
besar dengan munculnya ahli-ahli Hindu-Jawa, Islam dan Pra-sejarah, serta
dibentuknya institusi khusus yang mengkaji budaya dan bahasa Jawa pada awal
abad 20.
Teori dan metode yang digunakan
dalam historiografi Hindia-Belanda sangat terbatas karena para penulis selalu
membatasi sumber dalam lingkungan kolonial saja. Seluruhnya hanya bergantung
pada perspektif yang dibangun berdasar kelompok, kepentingan, dan budaya. Seperti
halnya mahzab Batavia dan Utrecht yang tidak memiliki banyak perbedaan dalam
teori dan metode selain konsentrasi kajian dan tujuan yang cukup berbeda[3].
Sejarah Indonesia
(Hindia-Belanda) kala itu hanya merupakan sejarah bangsa Eropa di negeri
seberang dilihat melalui kacamata orang Eropa pula. Sejarah itu
terkelompok-kelompok membentuk aliran berdasar kepentingan yang dibangun
melalui gagasan Belanda. Sejarawan kolonial pun terkadang melebih-lebihkan
suatu peristiwa, akibatnya sejarah selalu subjektif dan malahan memunculkan
gagasan sejarah kolonial manipulatif. Meski demikian, proses-proses dan
batasan-batasa tersebut sebenarnya tidak dapat dihindari guna memacu kritisi
terhadap historiografi Indonesia yang berlaku kini.
Post a Comment