Header Ads

Telaah Bacaan Dekolonisasi Metodologi (Linda Tuhiwai Smith) dan Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosisal Asia; Tanggapan Terhadap Eurosentrisme (Syed Farid Alatas)



Mustofa. 13/356094/PSA/7642. Penulisan sejarah sarat dengan kepentingan penulisnya, kalimat itulah yang dikatakan oleh R. Moh. Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Professor Bambang Purwanto juga pernah mengatakan dalam perkuliahan “sejarah itu subyektif, tetapi obyektifitas dalam sejarah sangat penting”. Sejarawan yang satu dengan yang lain memunyai sudut pandang yang tidak sama,  dari perspektif yang beragam pasti menghasilkan historiografi yang beragam pula. Namun penulisan sejarah secara metodologis tetap menjadi syarat mutlak agar tidak menghasilkan sebuah cerita isapan jempol belaka. Artinya meskipun sejarah subyektif bebas ditulis oleh siapapun, tetapi sejarah adalah ilmu yang memiliki sebuah teori dan metode tidak lepas bebas dalam menulisnya.
Sejak 1957 ketika seminar sejarah yang diadakan di Universitas Gadjah Mada, bangsa Indonesia pernah menggagas sebuah konsep dalam historiografi Indonesia. Keinginan untuk memiliki sebuah sejarah yang disandarkan pada konsep nasionalisme tentu memunyai tujuan strategis. Indonesia yang pernah dijajah oleh bangsa Barat khususnya Belanda tentunya memiliki pandangan yang berbeda dengan yang menjajah tentang Kolonialisme Imperialisme. Hiruk pikuk penderitaan serta perjuangan untuk mencapai suatu bangsa yang bermartabat terlepas dari penindasan, ekplorasi, eksploitasi akan sangat mewarnai pandangannya. Rumusan konsepsi historiografi Inodesia-sentris yang pernah digagas dan menghadirkan beberapa pakar tidak terlepas dari espektasi bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah sejarah Indonesia yang mampu memberi teladan kepada generasi penerus bangsa, kesamaan persepsi dan padangan terhadap sejarah Indonesia diharapkan akan membentuk suatu pribadi bangsa yang nasionalisme sebagai stimulus lahirnya sebuah persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga secara tegas bangsa Indonesia satu suara sepakat mengutuk penjajahan. Seperti yang tertera dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 “bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemnuasian dan keadilan.
Diakui atau tidak bangsa-bangsa Asia masih memilki kebergantungan terhadap bangsa Barat, dipandang secara akademik bangsa Asia masih mendewakan pemikiran-pemikiran Barat. Teori dan metode dalam ilmu sejarah ilmuwan-ilmuwan Asia banyak mengadopsi dari Barat bahkan lebih ekstrim lagi tidak keren apabila tidak mengadopsi dan berkiblat pada Barat. Pola pikir yang seperti ini secara sadar maupun tidak sadar sangat berkembang, karena fenomena tersebut tidak terlepas dari propaganda dan siasat secara sistematis bangsa Barat untuk membuat Asia bergantung padanya. Mungkin ada yang menolak dari pernyataan ini, namun kebergantungan ini tidak bisa dimungkiri karena sampai detik inipun realitas tersebut masih terus berlangsung. Penjajahan secara formal boleh berakhir namun secara pemikiran Asia belum merdeka, kita masih terkooptasi dan terkungkung dengan hipnotis perangkap Barat. Grand design untuk menciptakan bangsa Asia bergantung pada Barat dimulai sejak penjajahan sedang berlangsung, justifikasi bahwa bangsa Barat lebih beradab bahkan pernyataan-pernyataan Asia adalah bangsa Barbar itu memang menyakitkan, namun apa boleh dikata apabila karakter lembek dan tidak mandiri masih terus dikembangkan.
Linda Tuhiwai Smith dalam bukunya Dekolonisasi Metodologi menyampaikan sebuah kritik secara tajam “kebrutalan” bangsa-bangsa penjajah yang secara terang-terang dan tidak ber-perikemanusian menurutnya, telah mengekploitasi bangsa-bangsa terjajah. Menurutnya, sejak abad ke-19 penjajah telah melakukan dehuminisasi yang kemudian disembunyikan dibalik justifikasi imperialisme dan kolonialisme yang bersembunyi dalam ideologi humanisme dan liberalisme serta penegasan klaim-kalim moral yang berkait dengan sebuah konsep tentang manusia beradab. Linda T. S. terlahir sebagai suku Maori yang merupakan bagian dari penderitaan kaum terjajah oleh penjajahan bangsa Barat yang menjustifikasi bangsa suku Maori tidak beradab.  Menurutnya, penjajah tidak ubahnya seperti perampok mereka datang, melihat, memberi nama, dan kemudian mengkalimnya. Cook yang datang ke New Zealand kemudian mejelajahinya dan menamai daerah-daerah yang ditemukan sesuai dengan kehendak hatinya, gua-gua, kuburan yang ditemukan dan dipelajari demi artefak-artefak berharga yang dikubur bersama jenazah, rumah ukiran dipreteli dan diangkut dengan kapal ke Inggris. Tengkorak diukur dan ditimbang demi membuktikan bahwa otak primitif lebih kecil dibanding otak Eropa, kepala dikeringkan dan dikecilkan yag dijual dan di ekspor kembali ke Inggris.
Linda secara tegas menentang praktik-prkatik yang dilakukan oleh bangsa-bangsa penjajah ia menyampaikan kebusukan-kebusukan yang dilakukan bangsa-bangsa penjajah yang mungkin selama ini belum dipahami oleh kebanyakan bangsa Asia yang terjajah. Sejarah versi Barat telah di design dan memosisikan mereka seolah-olah tidak pernah bersalah dalam melakukan penjajahan, bahkan mereka mengklaim Barat adalah pembawa pencerahan dan ilmu yang mengantarkan bangsa Asia sebagai manusia beradab. Kacamata bangsa Barat dalam menulis sejarah pada masa kolonialisme imperialism dipandag tidak fair karena hanya merekonstruksi sejarah yang berafiliasi pada bangsa Barat. Maka, menurutnya, perlu adanya sebuah solusi dan terobosan agar penjajahan pemikiran yang masih berlangsung tidak semakin memantabkan posisi bangsa Barat sebagai bangsa yang penah mengeksploitasi bangsa Asia khusunya suku-suku Maori. Bangsa Pribumi memunyai sejarah sendiri, bangsa terjajah harus memiliki kacamata sendiri melepaskan kebergantungan terhadap bangsa Barat dalam merekonstruksi sejarah yang dianggap belum berpihak pada bangsa Pribumi. Bahkan bangsa pribumi selalu diposisikan sebagai bangsa yang tidak beradab, setengah manusia. Barat secara langsung maupun tidak langsung mendiskreditkan bangsa-bangsa terjajah, keberadaan bangsa terjajah tidak dianggap sama sekali, bahkan ia mengiritik seorang politisi yang menganggap bangsa Maori murahan bisa ditukar dengan selimut harga dirinya, dengan tegas ia menyatakan jutaan hektar tanah yang telah dijarah oleh bangsa Barat tidak sepadan ditukar dengan seratus selimut dan lima puluh manik-manik sampai kiamat sekalipun.
Kritik dan seruan senada juga dilontarkan oleh Syed Farid Alatas dalam bukunya “Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia; Tanggapan Terhadap Eurosentrisme”. Meskipun syed farid fokus pembahasannya pada kontek kebergantungan akademik dan secara umum Ilmu Sosial, namun ia juga meyerukan sebuah diskursus alternatif untuk melepaskan diri dari hegemoni Barat dalam bidang keilmuwan. Seperti yang disampaikan diawal bahwa bangsa Asia masih sangat bergantung terhadap bangsa Barat, maka tak heran apabila istilah “dunia ketiga” diciptakan oleh Barat, karena Asia masih menjadi Followers  yang selalu mengekor terhadap bangsa Barat. Syed Farid menyatakan situasi kebergantungan akademik yang dialami oleh para ilmuwan “dunia ketiga” membuat mereka rentan untuk meniru dan mengadopsi besar-besaran ide dan teknik Barat, yang akhirnya melanggengkan normalisasi. Maka, gagasannya adalah memutus lingkaran ini dengan sebuah diskursus yang membebaskan.
Pada dasarnya, menurut saya kedua ilmuwan Asia ini berangkat dari sebuah  kegelisahan yang disebabkan cengkraman Barat dalam sebuah kajian akademik masih sangat menentukan pola pikir para ilmuwa-ilmuwan Asia. Secara teori dan metodelogis Asia selalu mengekor dan berkiblat ke Barat. Pandangan orientalisme yang menganggap bangsa-bangsa terjajah khususnya Asia sebagai dunia ketiga bahkan cenderung menjadi kiblat bagi bangsa Asia. Linda Tuhiwai Smith fokus dalam kajian sejarah dengan mencoba mendekonsruksi pemahaman-pemahaman lama yang selalu memosisikan Barat sebagai bangsa penjajah seperti malaikat pembawa wahyu kebenaran dan pencerahan. Bangsa terjajah selalu diposisikan sebagai masyarakat Barbar yang belum beradab, dan berkat jasa penjajah ini lah mereka diperkenalkan dengan ilmu pengetahuan sehingga mereka mulai beradab. Hegemoni Barat menjadi momok yang menakutkan, bangsa pribumi harus melakukan dekononisasi dengan melakukan sebuah penelitian dengan teori dan metodologi yang tidak selalu bergantung pada Barat. Sejarah harus ditulis dengan versi Pribumi agar tidak tejadi pemahaman yang parsial dan sejarah yang diskriminatif.
Sedangankan Syed Farid Alatas menawarkan diskursus alternatif secara luas yaitu ilmu sosial. Disiplin dan institusi ilmu sosial yang banyak diajarkan diberbagai wilayah Asia dirintis dan dilanggengkan oleh para ilmuwan dan pemerintah kolonial sejak abad ke-18. Orang-orang Eropa secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu sosial di daerah jajahan. Namun sampai detik ini kebergantungan akademik terus berlangsung, bangsa-bangsa Asia merasa sudah nyaman dengan kondisi ini teori-teori, pandangan-pandangan Barat terus diadopsi dan dikembangkan sehingga menyebabkan keterbelakangan dan miskinnya gagasan baru. Fenomena tersebut adalah manifestasi keberlanjutan penjajahan. Barat memunyai banyak cara untuk membuat ilmuwan Asia selalu bergantung pada mereka, kucuran dana riset, pelatihan, beasiswa Pascasarjana menjadi salah satu siasat untuk membodohi bangsa-bangsa Asia. Otonomi dalam wilayah ilmiah harus diciptakan dengan diawali kesadaran bahwa kita tetap dijajah, kesadaran bisa tercipta apabila kita telah mendiagnosis permasalahan atau fenomena yang sedang tarjadi dalam dunia akademik bangsa Asia.
Dapat dipastikan bahwa kririk-kritik dan gagasan-gagasan yang disampaikan oleh kedua Ilmuwan Asia ini, sangat dipengaruhi oleh semangat nasionalisme sebagai bangsa bekas penjajahan. Mereka berusaha menyadarkan bangsa-bangsa bekas penjajah khususnya Asia dengan membentuk opini dengan gagasan-gagasan yang disampaikan dalam tulisannya. Bahkan Linda lebih ekstrim dalam menyampaikan kritik da gagasannya, ia tidak hanya dipengaruhi semangat nasionalismenya, namun menurut saya lebih dari itu, primordialismenya bahkan cenderung mendominasi. Bahasa-bahasa yang disampaikan dalam mengiritik dan menyudutkan bangsa penjajah sangat provokatif. Tidak berlebihan apabila sejarah dikatakan subyektif, bahkan pernyataan “pemenang dalam perang memunyai rumus sendiri dalam mebuat sebuah sejarah” sangat relevan. Sejarah ibarat wayang yang ditentukan oleh dalangnya meskipun ada norma-norma mutlak yang tetap tidak bisa dilanggar. Terlepas dari itu, gagasan-gagasan yang dtulis oleh kedua ilmuwan menjadi bahan renuangan dan rujukan dalam merekonstruksi sejarah, dan menanggapi serta “melawan” hegemoni-hegemni Barat yang terus manjajah bangsa Asia agar kita menjadi bangsa Indonesia yang bernartabat. Pasti tidak ada yang menyangkal kalau Indonesia dikatakan adalah bangsa yang besar, namun kebesaran menjadi sia-sia apabila hanya mampu menjadi followers semata.

No comments

Powered by Blogger.