PENJAJAHAN DALAM PENGETAHUAN (BAB III) oleh : M. Ma’arif Rakhmatullah
13/353765/PSA/7531 Saya
akan melakukan review bab III “Penjajahan
dalam Pengetahuan” dari buku “Dekolonisasi Metodologi” yang ditulis oleh
Linda Tuhiwai Smith, diterbitkan oleh INSISTPress pada 2005. Kemudian saya bandingkan
dengan buku “Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial” dari Sayid Alatas,
diterbitkan oleh Mizan pada 2010. Pada intinya kedua buku yang saya pergunakan
ini, ditulis dari perspektif bangsa jajahan. Sehingga apa yang ada di dalamnya
sudah pasti akan memposisikan barat sebagai peletak dasar kolonisasi. Tetapi,
saya melihat kedua penulis tersebut memiliki gaya penyampaian berbeda dalam
menanggapi permasalahan yang sama.
Saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh
Pak Joko dalam kuliah Teori dan Metodologi Sejarah, dimana sejarawan harus
berhati-hati dalam membaca tulisan dalam bentuk karya terjemahan, apalagi
apabila tim penerjemahnya kurang memiliki kompetensi yang baik, mengapa demikian?
sebab ada kemungkinan terjadi perbedaan antara naskah asli dengan hasil
terjemahan. Buku ini memang hasil terjemahan dari bahasa Inggris tetapi saya disini
tidak akan mengomentari mengenai tim penerjemahnya sebab memang tujuannya bukan
untuk hal itu. Saya pikir saran tersebut menjadi landasan penting bagi siapapun
dalam memahami penulisan yang berasal dari terjemahan. Kita harus berhati-hati
menafsirkannya, jangan langsung menjudgment
penulis terkait kalimat yang digunakan dirasa kurang sesuai untuk ditampilkan
atau mungkin terlalu melebih-lebihkan. Asumsinya seperti penjelasan sebelumnya
bahwa karya terjemahan bisa jadi berbeda dengan naskah aslinya. Apalagi dalam
hal ini konteksnya tulisan sejarah, tentu tidak hanya diperlukan mereka yang
memiliki kemampuan bahasa Inggris bagus tetapi juga memiliki sense history. Menerjemahkan tulisan
sejarah tidak hanya dengan mengartikan satu persatu kata tetapi juga memaknai
dari kalimat tersebut.
Apa
yang ditulis oleh Smith ini merupakan tanggapan atas tulisan dari Edward Said
mengenai studi Orientalisme, yang menekankan penggunaan pandangan barat dalam
mengkaji bangsa jajahan. Menurut saya Smith telah melakukan suatu terobosan
baru atau bahasa lebih ekstrimnya mendobrak tatanan yang selama ini dipercayai
oleh bangsa jajahan, bahwa peradaban hanyalah milik barat. Smith berani
melakukan kritik terhadap hegemoni barat yang selama ini telah diterapkan pada
pemikiran bangsa terjajah dalam bentuk arsip atau tulisan-tulisan mengenai
bangsa jajahan. Tentu, dalam sumber tersebut akan kita dapati barat sebagai
penguasa dan seakan-akan menjadikan bangsa jajahan harus menurut pada yang
mereka sampaikan. Barat direpresentasikan sebagai pihak yang benar, sedangkan
pribumi identik dengan pembuat kesalahan.
Dalam
bab III setidaknya terdapat lima sub bab yang disampaikan oleh Smith. Tetapi,
Pada tulisan ini saya tidak akan menjelaskannya satu persatu, mengapa? Karena
saya ingin menuliskannya sebagai sebuah kesatuan dari apa yang sebenarnanya
digambarkan oleh Smith mengenai pengetahuan dalam jajahan. Dari judul babnya
mungkin sudah bisa dibayangkan apa yang hendak diungkapkan oleh Smith. Bisa
jadi timbul pertanyaan apa hubungan pengetahuan dengan jajahan? Atau barangkali
apakah koloni menghasilkan pengetahuan dari bangsa jajahan? Saya lebih melihat
pihak kolonial disini sadar tidak selamanya akan mengeksploitasi sumber daya
alamnya, tetapi perlu juga mengarahkan pola pemikiran penduduk pribumi sesuai
dengan apa yang dinginkan kolonial. Ilmu pengetahuan yang berkembang di barat
menurut Smith merupakan warisan dari kolonisasi terhadap bangsa-bangsa
terjajah. Ilmu tersebut secara sengaja dikembangkan dan diterapkan kepada
negara-negara baru untuk melakukan apa yang disebut Smith sebagai kolonisasi
pemikiran.
Saya
berasumsi hingga awal abad XXI bangsa barat cukup berhasil untuk menerapkannya.
Indikatornya terlihat dari tulisan yang ada di Indonesia misalnya dalam tema
penjajahan posisi Belanda selalu mendapatkan peran yang utama. Seperti halnya
beberapa dosen di tempat saya belajar mengatakan bahwa kita secara tidak sadar selama
ini telah menulis sejarah Belanda daripada sejarah bangsa Indonesia. Kita
terlalu mengagungkan barat, dan menganggap Indonesia tidak dapat tertulis dalam
sejarah apabila tidak dijajah oleh Belanda. Anggapan seperti inilah yang ingin
dirubah oleh Smith melalui bukunya tersebut dan berharap mulai muncul
perspektif penulisan sejarah dari sudut pandang pribumi sebagai pembanding
studi orientalis.
Kolonisasi
pemikiran yang dikatakan oleh Smith berupa konsep modernisasi yang dilakukan
oleh barat. Modernisasi tersebut terutama pada perkembangan ilmu pengetahuan
yang ditujukan untuk kepentingan barat. Mengutip apa yang telah disampaikan Pak
Margana secara singkat dalam perkuliahan minggu lalu, barat ingin membuat konstruksi
baru terutama pada bentuk pemerintahan negara-negara yang pernah mengalami masa
penjajahan kolonial. Barat melihat dalam sejarahnya negara tersebut terbentuk
dari kerajaan-kerajaan tradisional dengan gaya feodalisme dan kepemimpinan yang
otoriter. Permasalahannya realita tersebut tidak sesuai dengan konsep modern
yang dibawa barat, dimana pemerintahan harus berjalan secara demokratis dan
kebebasan individu dalam menentukan pilihan. Sehingga, barat merasa perlu untuk
memberikan pengetahuan mengenai demokrasi menurut konsep mereka tentunya. Kita
bisa lihat sekarang, pada negara-negara Asia maupun Afrika dimana barat
melakukan segala intervensi untuk menanamkan pemerintahan yang demokrasi
menggantikan rezim otoriter. Saya kira itu juga sebagai kontrol barat terhadap
negara-negara baru, agar tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan
perdaban barat.
Smith
menggambarkan pengetahuan milik barat sebenarnya diambil dari milik bangsa
jajahan. Mereka diibaratkan telah “merampok” melalui serangkaian kegiatan
penelitian yang tersistematis dan menggunakan hasil penelitian tersebut dari
sudut pandang mereka. Sedangkan bangsa jajahan sendiri tidak lebih sebagai objek
penelitian dan tidak memiliki peran penting di dalamnya. Penelitian tersebut
kemudian dilegitimasi menjadi milik barat dan diterapkan kepada bangsa jajahan.
Pihak barat menurut Smith berupaya untuk
mendisiplinkan bangsa terjajah atau yang mereka sebut sebagi other. Bentuknya berupa tindakan
diskriminasi atau lebih tepatnya marginalisasi dalam berbagai bidang. Misalanya
dalam pendidikan pribumi bentukan kolonial, dimana siswanya hanya diperbolehkan
dari penduduk yang berasal dari golongan priyayi pribumi. Bagi yang berasal
dari golongan rendah tidak akan pernah dapat memperoleh pendidikan di sekolah
kolonial. Pada kenyataannya pendidikan kolonial tidak sepenuhnya untuk
mencerdasakan kehidupan penduduk pribumi, tetapi justru menjadi media untuk
melanggengkan pemikiran barat. Barat merepresentasikan diri sebagai pusat
peradaban dan pengetahuan, sedangkan pribumi sebagi penganut atau pengekor dari
pengetahuan yang berkembang di barat. Dalam kehidupan sosial bagaimana barat
membentuk peraturan yang bersifat rasial dalam bentuk membagi tingkatan
masyarkat. Dimana barat menempati posisi palinag atas sedangkan pribumi sebagai
bawahan.
Smith
dalam tulisannya ini memang cukup subyektif, bahkan saya pikir dia seakan-akan
telah memposisikan dirinya sebagai penduduk jajahan yang mengalami masa kolonisasi
barat. Saya umpamakan tulisan Smith sebagai bom waktu yang menunggu untuk
meledak, dan setelah meledak membuat perubahan pandangan bangsa jajahan
terhadap barat. Tulisan dari sudut pandang jajahanlah yang selama ini ditunggu,
setelah waktunya tepat Smith meluapkan semua gagasannya dalam buku ini. Akan
tetapi, saya rasa dia terlalu eksplosif dalam menggambarkan kolonialis. Barat hanya
dilihat membawa dampak buruk bagi negara jajahan tanpa memiliki pengaruh positif
sedikitpun. Bahkan beberapa kalimat juga menunjukan polemik, apakah sekeji
itukah para kolonialis dalam memandang pribumi? misalnya Smith mengatakan
bangsa pribumi disusun Eropa dalam urutan berdasarkan keyakinan bahwa mereka
“mendekati dan hampir manusia”. Kalimat ini tentu dapat memunculkan beragam
interpretasi. Bisa jadi ada yang bilang Smith terlalu mendramatisir kalimatnya,
sebagai pandangan reaktifnya atas kolonisasi sehingga menimbulkan kesengsaraan
bagi pribumi. Tetapi bisa jadi pernyataannya tersebut didapatnya dari hasil
literatur yang telah ia kumpulkan dan kalimat tersebut merupakan hasil
interpretasinya.
Saya
setuju dengan pemikiran Smith bahwa negara-negara jajahan telah mengalami
kolonisasi pemikiran dari barat. Tetapi, saya bertanya apakah cukup dengan
hanya membeberkan kelicikan atau kejelekan mereka? tanpa melihat sisi positif
yang juga didapatkan meskipun dalam skala kecil. Maka apakah dengan begitu kita
tidak boleh menyerap pengetahuan dari barat? Menurut saya sah-sah saja dan
bebas bagi kita untuk memperoleh pengetahuan sekalipun itu dari barat. Hal yang
menjadi catatan disini adalah bagaimana kita tidak menerima pengetahun tersebut
sepenuhnya, dengan kata lain harus menyeleksinya. Ini yang saya tangkap dari
pemikiranya Alatas, dimana dia mengisyaratkan agar kita membudayakan pemikiran
yang kritis.
Alatas
melihat bagaimana tingginya tingkat ketergantungan negara terjajah kepada barat
terutama pada bidang ilmu sosial. Tidak hanya pada ilmunya, tetapi juga masalah
bagaimana negara jajahan membutuhkan pendanaan dari barat untuk melangsungkan
sebuah riset. Disisi lain pendanaan yang diberikan pihak barat juga menyimpan
tujuan khusus. Logikanya mereka memberi dana pada bangsa jajahan, maka harus
ada timbal balik yang lebih besar untuknya.
Program atau proyek penelitian yang mendapatkan dana
dari asing di Indonesia bukan tanpa alasan. Pak Margana minggu telah mengatakan
ada kepentingan di balik hal tersebut, ini seperti dengan yang dikatakan oleh
kata Vincent Houben, Kepala Program Studi Asia di Universitas Humboldt Berlin, Jerman.
Pada 1960an begitu banyak peneliti Amerika mengkaji Indonesia, sebab mereka ingin
tahu apakah Indonesia akan berubah menjadi negara komunis atau tidak. Menurut
Houben, peneliti itu kemudian memberikan nasihat dan saran kepada Washington
mengenai kebijakan yang perlu ditempuh terhadap Indonesia. Contoh ini baru satu
dari sekian banyak contoh lainnya, sehingga tinggi atau rendahnya intensitas
peneliti asing dipengaruhi kepentingan negara asal peneliti tersebut terhadap
negara yang akan diteliti.
Anggapan
yang kita pahami selama ini, barat sebagai patron dan jajahan sebagai klien
haruslah dihadapi dengan strategi yang berbeda. Negara jajahan harus berupaya
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebuah riset penelitian dan memperkecil
keuntungan untuk barat. Tetapi, saya rasa itu cocok sebagai program jangka
pendek.
Mengutip
pernyataan Anthony Reid dalam sebuah opininya di majalah Tempo. Reid menyindir para peneliti Indonesia, dia mengatakan semakin hari semakin
banyak orang Indonesia yang belajar ilmu sosial di luar negeri. Pada umumnya
mereka meneliti negaranya sendiri dan sangat sedikit yang meneliti negara lain.
Namun, hampir 90 persen karya tertulis tentang Indonesia di jurnal-jurnal
akademis internasional ditulis oleh orang yang tidak tinggal di Indonesia. Sesuatu
hal yang menurutnya membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling
tidak efektif di dunia dalam menjelaskan dirinya kepada dunia. Saya memang
tidak pernah mengecek secara langsung prosentase jumlah tulisan peneliti
Indonesia, akan tetapi tentu Reid memiliki dasar yang kuat dalam mengemukakan
pernyataanya tersebut. Dari realita tersebut menggambarkan bahwa negeri kita justru
dijelaskan oleh peneliti asing yang bukan orang Indonesia. Sehingga wajar
sekali tulisan mereka sering berlawanan dari sudut pandang pribumi. Pernyataan ini
saya gunakan sebagai program jangka panjang dimana kita sebagai negara yang
pernah dijajah, memang harus mulai terbiasa mengkaji permasalahan yang ada di
barat sebagai counter penelitian yang
telah mereka lakukan. Sehingga kita tidak hanya berfokus pada negeri sendiri
atau paling tidak bagaimana menulis sejarah negeri sendiri dari sudut pandang
pribumi dan menghubungkannya dalam sejarah dunia.
Saya
melihat Alatas sadar akan masih lemahnya apa yang dia sebut sebagai negara
ketiga (bangsa terjajah) untuk mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai kompetitor
pihak barat. Menurut saya Alatas lebih menunjukan sikap bijak menanggapi
permasalahan tersebut dibanding Smith. Dia memang memperlihatkan bagaimana
pandangan barat terhadap bangsa jajahan yang cenderung terbelakang, tetapi tampaknya
dia tidak terlalu eksplosif menunjukannya seperti Smith. Dia tidak mau
berlama-lama membicarakan kolonisasi barat, cukup memahami permasalahannya
kemudian mencoba mencari jalur alternatif untuk memecahkannya dari apa yang
dimiliki oleh bangsa jajahan. Toh, apabila terlalu menanggapi secara berlebihan
tanpa mencari solusi justru akan membuat bangsa jajahan semakin mengalami
kemunduran untuk bersaing dengan Eropa dalam bidang pengetahuan.
Saya
lihat Alatas memiliki cita-cita bangsa jajahan tidak hanya melulu sebagai obyek
penelitian barat tapi juga harus mandiri dalam mengembangkan pengetahuan. Kita
bisa lihat sendiri selama ini sumber penggetahun yang kita gunakan khususnya dalam
ilmu sosial dan humaniora hampir sebagian besar berasal dari pemikiran barat. Mengapa
bisa terjadi? Karena memang secara realita pengetahuan disana memang lebih
maju, sedangkan di negara-negara jajahan sendiri perkembangan ilmu pengetahuan
bisa dikatakan masih berjalan lambat. Inilah sebenarnya permasalahan utama yang
sedang kita hadapi dan melalui bukunya tersebut, Alatas mencoba mencari alternatif
jawabannya.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya menggambarkan
tulisan Smith sebagai masalah sedangkan tulisan Alatas sebagai jawabannya. Smith terlalu
asyik menganalisis kesalahan barat, sehingga saya rasa masih kurang memberikan
alternatif jawaban dari pertanyaan bagaimana bangsa terjajah itu bisa bangkit
dan mulai menulis sejarah dari sudut pandang pribumi. Sedangkan Alatas, dia
lebih melihat bangsa terjajah yang justru menyimpan masalah. Menurut saya, dia
mempertanyakan mengapa pribumi selama ini terlalu baik terhadap pemikiran yang
diberikan barat? Mengapa mereka tidak terbiasa bersikap kritis? Jawaban dari
pertanyaan tersebut seperti yang dituliskan Alatas di dalam bukunya tersebut.
Sehingga tulisannya, saya anggap sebagai alternatif untuk “melawan” hegemoni pemikiran
barat. Pada kesimpulannya keduanya saling melengkapi satu sama lain, dan sangat
saya rekomendasikan kedua buku ini untuk dibaca, dipahami serta diaplikasikan
oleh sejarawan maupun peminat ilmu sosial dari negara-negara yang pernah
merasakan penjajahan kolonial.
Daftar Pustaka
Smith,
L.W. 2005. Dekolonisai Metodologi.Yogyakarta:INSISTPress
Alatas,
S.F.2010.Diskursus Alternatif Dalam Ilmu
Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Bandung:Mizan
Zulkifli,
A. Dkk. Republik di Mata
Indonesianis:Pasang Surut Peran Peneliti Asing dalam Sejarah Indonesia. Tempo
Edisi 14-20 November 2011.
Post a Comment