Penjajahan dalam Pengetahuan (Review Bab III Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi) Indira Ardanareswari
13/356082/PSA/7641. Manusia
telah mengenal ilmu pengetahuan sejak ribuan tahun silam. Baik ilmu astronomi,
filsafat, maupun ilmu alam sudah mulai dikembangkan oleh bangsa-bangsa di Asia
dan sekitar laut Mediterania. Kala itu ilmu-ilmu yang ada masih sangat sederhana
dan belum mengenal metodologi. Metodologi pada hakikatnya adalah bentukan dari
perkembangan alam pikiran manusia. Alam pikiran ini yang kemudian dipaksakan
oleh kolonialisasi barat menjadi bagian ide-ide bangsa terjajah. Dalam bukunya
yang berjudul Dekolonisasi Metodologi,
Linda Tuhiwai Smith mencoba mendiskusikan perkembangan ini sebagai proses
imperialisasi dan modernisasi di tanah bangsa terjajah.
Selama
beberapa ratus tahun wilayah Eropa mengalami berbagai gejolak yang
mengakibatkan kawasan itu semakin sempit dengan berbagai permasalahan. Selain
itu dengan adanya Revolusi Industri menuntut orang Eropa menata kembali alam
pikirannya menjadi lebih teoritis demi kelangsungan roda ekonomi dan politik
Eropa. Imperialisme Eropa kemudian menjejakan kaki di benua Asia, Afrika,
Amerika agar dapat menyokong negeri Induk. Ekspansi Eropa ke daerah-deerah yang
lebih lamban pertumbuhan budayanya serta masih mempertahankan unsur spiritual
ini menimbulkan pandangan baru di mata para penjelajah. Bangsa terjajah adalah
aset negara induk serta objek penelitian. Demi tercapainya stabilitas negara
jajahan mereka mulai mengkolonialkan negeri baru, dimulai dengan membuat
klasifikasi orang kulit putih dan pribumi, menamai unsur-unsur tertentu dalam
kebudayaan pribumi, serta mengarsipkan dunia pribumi dalam bahasa dan alam
pikiran Eropasentris.
Linda
Tuhiwai Smith mengurai pandangan ala Eropa ini melalui konsep Edward Said
mengenai Superioritas Posisional. Menurut apa yang ditemukan Linda, pengarsipan
dunia pribumi ini merupakan hasil dari peng-objekan manusia pribumi oleh
orang-orang Eropa. Usaha yang disebutkan oleh Linda sebagai peng-arsipan
kultural ini muncul akibat keraguan ide-ide barat terhadap superioritas yang
mereka miliki. Hal ini dianggap barat sebagai tantangan terhadap identitas
mereka sehingga penelitian-penelitian ilmiah terus dilakukan terhadap dunia
pribumi sebagai pembuktian. Keleluasaan mengkonsepkan dan merepresentasikan
dunia pribumi ini kemudian menciptakan Orientalisme, yang lekat dengan
kolonialisme dan kekuatan militer barat di negara koloni.
Ada
sebuah tendensi pandangan barat bahwa dunia pribumi hanyalah objek penelitian.
Maka sudah sewajarnya menurut bangsa barat, mereka membantu para pribumi ini
lebih beradab agar selamat dari kepunahan. Cara pandang ini memunculkan
berbagai macan spekulasi yang berkembang menjadi teori dan metode penelitian
yang kemudian memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan, kultur dan agama.
Kemudian ketika temuan-temuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan universal,
anggapan bahwa barat adalah pusat pengetahuan dunia pun tidak terelakkan. Dampaknya
terhadap penulisan sejarah ialah sulitnya keluar dari konsep kekuasaan dan
hierarki sosial dalam kurun post-kolonial. Meski permasalahan ini nampak
berangsur-angsur pudar dengan timbulnya kesadaran dekonstruktif para
intelektual di negara bekas jajahan, pemikiran sebuah bangsa terhadap ilmu-ilmu
pengetahuan yang telah diwariskan selama beberapa generasi sejak abad 18 dan 19
tidak mudah dihilangkan dalam waktu singkat.
Kolonialisme
hidup dan menular lewat ilmu pengetahuan barat yang mendorong adanya pembaharuan
di bidang pendidikan barat bagi pribumi. Usaha yang sebenarnya dapat dipandang
sebagai praktek menanamkan imperialisme lebih jauh di negara koloni. Pendidikan
pribumi dipusatkan ke negara induk untuk menghindari pertanyaan terhadap
kontribusi pribumi terhadap ilmu pengetahuan barat. Bangsa barat harus keluar
sebagai pendidik bangsa pribumi bukan pihak yang belajar dari pribumi.
Pemusatan ke Universitas-universitas negeri Belanda misalnya, menimbulkan kecenderungan
dan prinsip telaah terhadap literatur-literatur berbahasa Belanda.
Di
Hindia-Belanda pada abad 19, mencerdaskan pribumi merupakan agenda pemerintah
Belanda setelah kerajaan ekonomi VOC runtuh. Sekolah-sekolah formal mulai
dibuka dan mulailah dikenal pendidikan Belanda. Hasil dari pendidikan ini ialah
munculnya tokoh-tokoh liberal berorientasi kebudayaan barat. Mereka yang
dipandang berpotensi kemudian dikirim belajar ke Belanda. Proses ini boleh saja
kita sebut tidak hanya penjajahan terhadap ilmu pengetahuan bangsa Indonesia,
namun juga nantinya berpengaruh kepada kolonialisasi politik Indonesia abad 20.
Imperialisme
nampaknya tidak hanya menyuburkan negara induk, namun juga telah menciptakan
tatanan baru negara koloni melalui disiplin dan ilmu pengetahuan. Disiplin ini
terutama mengorganisir fisik, mental, bahasa, ingatan, kultur dan partisi dalam
kelompok. Barat ingin agar pribumi menanggalkan kebiadabannya dan beralih ke
arah modernitas. Mentalitas inilah yang kemudian menciptakan golongan-golongan
liberal di kalangan elit pribumi yang menjunjung nasionalisme. Di Indonesia,
apabila kita mengingat kembali isi diskusi dalam seminar sejarah pertama tahun
1957, maka akan mudah dipahami bahwa kecenderungan historiografi Indonesia ada
pada paham nasionalis, serta adanya usaha menempatkan Belanda sebagai penjahat
di antara para pahlawan pribumi.
Kenyataannya
ada semacam pertukaran antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Kolonialisasi
di bidang medis, biologi, botani dan komoditi perdagangan pada akhirnya
meciptakan kepuasan ekonomi dan keamanan politik negara jajahan, meski pada
kasus ekologinya kadang merusak. Dalam perdagangan, bisa disebutkan pertukaran
senjara api dengan potensi budaya negara jajahan. Adanya kebiasaan orang barat
mengambil barang-barang etnografika dan naskah-naskah lokal dilakukan dengan
dalih menyelamatkannya dari kehancuran. ‘Pencurian’ data-data di tanah negara
jajahan biasanya terhubung dengan kepentingan ekonomi, yaitu yang oleh Linda di
uraikan sebagai usaha legitimasi ‘pencurian’ terhadap hasil-hasil bumi dan potensi
budaya untuk dinikmati di Eropa dan disebarluaskan ke pos-pos kolonial di
negara jajahan lainnya.
Dunia
barat menginjakan kaki ke negeri baru yang kemudian disubordinasikan tidak
semata terkonsentrasi ke arah eksploitasi. Ada semacam timbal balik antara
penduduk lokal dengan pemerintah kolonial. Ilmu pengetahuan barat tidak mungkin
maju pesat tanpa negeri jajahan. Adanya hubungan kausal inilah yang memunculkan
usaha-usaha menghasilkan ide dekolonisasi ilmu pengetahuan negara bekas jajahan.
Membandingkan dengan Syed Farid Alatas dalam Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia, upaya dekoloniasi di
bidang ilmu sosial ini didasari oleh usaha mengimbangi ilmu sosial dari bangsa
Eropa. Meski pada akhirnya, ide-ide barat memenangkan pengaruh dan
legitimasinya terhadap aset-aset lokal, termasuk menciptakan alam berpikir baru
baik secara teoritik maupun empirik dalam ranah ilmu pengetahuan orang-orang
terjajah. Dampaknya pada tugas-tugas baik penulisan sejarah maupun ilmu sosial
secara umum ialah terjadinya kebingungan konsep dan perspektif.
Post a Comment