Perbandingan Tulisan Penjajahan dalam Pengetahuan, dalam Dekolonisasi Metodologi Linda Tuhiwai Smith dengan Buku Ilmu Sosial Otonom atau Nativis: Benturan Orientasi, dalam Diskursus Alternatif, dalam Ilmu Sosial Asia, Tanggapan terhadap Eurosentrisme
Siti Utami Dewi
Ningrum
13/352440/PSA/07494
Linda Tuhiwai
Smith, dalam karyanya menawarkan sebuah alternatif baru dalam menuliskan
sejarah bangsa terjajah, yaitu dengan perspektif bangsa terjajah itu sendiri.
Hal ini dimaksudkan agar bangsa terjajah memiliki cerita sendiri dari bangsanya
yang benar – benar mewakili sejarah bangsanya terlepas dari pola pikir barat.
Menurut Linda, selama ini sejarah yang dihasilkan merupakan buah pikiran dan
pengaruh atas konsep yang dibangun oleh Barat sebagai bangsa superior,
sedangkan bangsa terjajah merupakan objek kajiannya yang pasif dan tidak
memiliki kekuasaan untuk menentukan sendiri nasib bangsanya.
Dalam
mempresentasikan idenya tersebut, menurut saya Linda terlalu menggebu – gebu
dan sangat subjektif sebagai orang jajahan dalam memaparkan bagaimana bangsa
Barat mengkisahkan bangsa terjajah sebagaimana yang ia alami. Hal tersebut
memang seringkali dialami oleh orang yang mengalami langsung atas kejadian
tersebut, seperti halnya Moh. Yamin dalam menuangkan idenya tentang
Nasionalisme dalam sejarah, di mana harus ditulis benar – benar dengan cara
pandang bangsa Indonesia sendiri dan merupakan lawan dari apa yang selama ini
ditulis oleh Barat tentang Indonesia.
Ilmu pengetahuan
di Barat muncul karena adanya Renaissance, bebarengan dengan revolusi industri,
liberalisme, dan lainnya. Ilmu pengetahuan menghasilkan apa yang dinamakan
orientalisme. Orientalisme dapat diartikan sebagai sudut pandang Barat, di mana
melihat pribumi (bangsa Timur atau bangsa jajahan) sebagai hasil dari
“pemberadaban” bangsa Barat.
Menurut Linda,
pemikiran “Baratsentris” tersebut tidak hanya digunakan oleh orang Barat itu
sendiri, namun juga orang pribumi yang mendapatkan pendidikan Barat. Para
intelektual menimba ilmu di lembaga – lembaga pendidikan Barat dan otomatis
mereka mewarisi cara berfikir Barat. Ilmu Pengetahuan yang mereka miliki sangat
berpengaruh pada apa yang kemudian ia kerjakan.
Ilmu pengetahuan
barat dengan orientalismenya menjamur pada sekitar abad 19, saat kolonialisme
merambah ke dunia Timur. Orang – orang Barat menemukan lahan penelitiannya
berupa orang – orang Timur dan kebduayaan juga isinya yang menurutnya “unik”
dan menarik untuk diteliti. Hasil penelitiannya tersebut tidak diberikan dan
diajarkan kepada bangsa Timur untuk mereka pelajari, namun “dicuri” oleh Barat
dengan alibi untuk “diamankan” dari kepunahan karena orang Timur yang primitif
tidak akan mampu menjaganya sebagai sebuah Ilmu Pengetahuan. Dengan hasil
penelitian tersebutlah Barat dapat melegitimasi dirinya sebagai sumber ilmu
pengetahuan yang universal dan harus diikuti oleh seluruh belahan dunia.
Menurut Linda
lagi, orang Barat saat melakukan kolonialisme di wilayah Timur berusaha melakukan “pendisiplinan” dengan
cara Barat. Dengan cara tersebut orang Barat memiliki tujuan agar para pribumi
tersebut lupa pada kebiasaannya sehingga dengan mudah Barat menghancurkan
identitas dan memorinya dan dapat menciptakan sebuah tatanan yang baru dalam
wadah kolonialisme. Cara tersebut terkadang tidak disardari oleh orang pribumi
dan menganggap usaha Barat tersebut adalah sebuah kebaikan yang harus dihargai
sebagai usaha untuk “memberadabkan” bangsanya.
Para intelektual
didikan Barat pasca kemerdekaan akan dipandang sangat terhormat dan digadang
sebagai tokoh nasionalis. Namun menurut Linda mereka justru perpanjangan
kolonialisme dan merupakan pewaris pemikiran Barat. Intelektual tersebut
seperti halnya para Orientalis, akan memandang rendah orang pribumi beserta
nilai – nilai yang ada di dalamnya. Namun da tiga frase menurut Linda untuk
seorang intelektual kemudian menyadari jati dirinya sebagai pribumi yang
bertugas memunculkan bangsanya dengan cara pandang bangsanya sendiri. Pertama
ialah pembuktian bahwa kaum intelektual tersebut memang terkontaminasi pemikiran
dan budaya kekuasaan Barat. Saat hal tersebut sudah mereka sadari maka masuklah
dalam tahap kedua yaitu mencoba untuk mengingat jati dirinya. Saat semua tahap
udah dilewati maka sampailah pada tahapan di mana mereka bersatu dengan rakyat menghasilkan
karya pribumi dan mewakili bangsanya.
Menurut Spivak,
para kaum intelektual harus mampu menempatkan dirinya pada posisi yang
strategis. Posisi tersebut ialah antara intelektual dunia ketiga (pribumi) dan
ilmuan di dunia Barat. Dengan xara seperti itu, kaum inteektual diharapkan
dapat menghasilkn karya yang lebih humanis. Barat dengan sudut pandangnya
melihat bahwa sesuatu yang “otentik” seperti yang dimiliki oleh pribumi adalah
hal yang primitif dan membutuhkan sebuah pemberadaban. Cara padang tersebut
berbeda dengan pribumi. Mereka memandang “otentik” sebagai masa di mana mereka
memiliki kejayaan dan kehidupan yang unik dan aman. Hal tersebut dapat
dirasakan sebelum Barat datang ke wilayah mereka. Barat tidak dapat memahami
bagaimana budaya pribumi tersebut. Mereka menggunakan pemahamannya sendiri
sebagai “penguasa”, sehingga kebudayaan pribumi dianggap oleh mereka sebagai
hal yang primitif karena berbeda dengan apa yang selama ini Barat ketahui dan
pelajari.
Pemikiran mengenai
orientalis dan pribumi atau nativis juga dikemukakan oleh Syed Farid Alatas
dalam bukunya Ilmu Sosial Asia, Tanggapan
terhadap Eurosentrisme. Menurutnya para ilmuan Asia (bangsa Timur)
terkadang tidak kritis dalam menggunakan pemikiran – pemikiran Barat
(orientalis) terhadap objek penelitiannya. Tindakan tersebut kemudian
memunculkan kesadaran pribumi, di mana mereka membalikkan apa yang dihasilka
oleh pemikiran Barat dengan pemikiran baru yang dirasa lebih sesuai untuk
diterapkan pada bangsanya. Pemikiran tersebut dinamakan Nativisme atau
oto-Orientalis.
Nativisme atau
oto-Orientalis tidak hanya tertuj pada orang pribumi yang mengkaji mengenai isu
– isu pribumi, namun dapat juga orang asing namun menggunakan sudut pandang
pribumi dalam melakukan penelitiannya. Menurut Farid Alatas, terkadang sikap
yang nativis tersebut berakibat fatal. Hal ini karena kemudian karya – karya
nativis menolak pemikiran Barat dan membentuk opini mereka sendiri berdasarkan
cara pandang subjektif pada rasa kepribuman mereka.
Pemikiran para
nativis tersebut sama halnya dengan cara pandang Linda, di mana ia menganjurkan
untuk menuliskan sejarah dengan sudut pandang pribumi untuk menghasilkan karya
yang benar – benar mewakili jiwa pribumi. Jika boleh di samakan dengan
Indonesia, mungkin Moh. Yamin sejajar dengan cara pandang tersebut. Ditambah
lagi dengan penjelasan dari Syed Farid Alatas bahwa kemudian para nativis
sangat dekat dengan pemerintah untuk menghasilkan karya yang nasionalis.
Dalam hal ini,
baik orientalis, maupun nativis tidak dapat lepas dari “kekuasaan” dalam
menghasilkan sebuah karya intelektual. Orientalis dikuasai oleh Barat,
sedangkan nativis dikuasai oleh lokalisme yang berlebihan dengan tambahan
nasionalisme yang berbau politik. Karena pengaruh kekuasaan tersebut hasil
karyanya sama saja, baik orientalis maupun nativis. Nativis memang lebih
pribumi, namun secara tidak sadar ia mereproduksi kembali yang telah dilakukan
oleh para orientalis.
Dari keprihatinan
tersebut, Syed Farid Alatas mengatakan perlu adanya produk intelektua yang
bebas dan mampu membebaskan, yaitu yang ia sebut dengan Ilmu Sosial Otonom.
Ilmu Sosial Otonom tidak mengharuskan peneliti untuk takluk pada satu
pemikiran, pribumi atau Barat, namun seperti yang dikatakan oleh Gayatri Spivak
di mana memadukan antara keduanya. Peneliti bebas menciptakan konsep, metode,
teori dan apapun yang dirasa sesuai dengan objek penelitiannya.
Pemikiran Barat
memang tidak selamanya sesuai untuk dapat mengkaji permasalahan yang ada pada
bangsa Timur, namun dengan pemikiran tersebut setidaknya dapat memberikan
gambaran dan pembanding saat seorang peneliti menggunakan cara pandang lokalnya
dalam membuat konsep dan teorinya. Perbandingan tersebut kiranya dapat
menghasilkan karya yang lebih universal, meskipun dengan cara pandang lokal.
Perlu ditekankan, bahwa sebuah kehidupan tidak dapat lepas dari pengaruh budaya
lain, termasuk Timur terhadap Barat. Jadi, untuk menceritakan Timur, para
peneliti tidak cukup hanya membahas mngenai Timur, namun harus melihat
bagaimana Timur itu ada dan berdampingan dengan Barat dalam kehidupannya.
Melihat pemikiran
tersebut saya kemudian teringat dengan pendapat Soejatmoko dalam Seminar
Sejarah I. Cara pandnag Syed Farid Alatas sangat persis dengan apa yang
diungkapkan oleh Soejatmoko. Soejatmoko menyarankan untuk menulis sejarah
Indonesia dengan sudut pandang bangsa Indonesia dan bukan berarti menghilangkan
segala unsur luar yang mempengaruhi sejarah Indonesia. Indonesiasentris
bukanlah anti-neerlandosentris seperti yang diungkapkan oleh Moh. Yamin atau
sama dengan yang dipikirkan oeh Linda dan kaum nativisme. Jika sejarah ditulis
tetap dengan “kepentingan” maka hasilnya bukanlah sejarah yang bebas dan
membebaskan, sehingga penjajahan akan terus ada, hanya berganti aktornya saja.
Post a Comment