Header Ads

Mary Chatherine Quilty, Textual Histories: A Reading of Early British Histories of Southeast Asia (Indira Ardanareswari)

NIM             : 13/356082/PSA/7641
Mata Kuliah : Historiografi
Pengampu    : Dr. Sri Margana


Review Bab satu: Natural Histories

Bab yang mengawali buku berjudul Textual Empire ini menekankan pada awal mula penulisan sejarah oleh para penjelajah dari kerajaan Inggris ke koloni-koloninya. Sebelum revolusi industri Inggris yang diikuti perkembangan ilmu pengetahuan, tulisan sejarah hanya merupakan catatan para pelancong yang ditulis berdasar kesaksian tanpa memiliki values. Marsden merupakan orang Inggris pertama yang dianggap berjasa dalam mewarnai keilmuan tekstual bangsa Inggris melalui penulisan sejarah empirik. Ia dianggap membangun wacana keilmuan baru melalui History of Sumatra.
Pada awalnya pencetusan penulisan sejarah dalam kawasan koloni Inggris dimaknai dengan kepentingan kerajaan dalam memahami dan mengontrol wilayah jajahannya. Dari sudut kolonialsentris, bangsa barat menganggap timur adalah negara barbar, maka tidak mengherankan teks-teks tentang benua Asia khususnya sarat akan pengkategorian barat beradab dan timur harus diberadabkan. Marsden, Raffles, Symes, Crawfurd dan Anderson adalah orang-orang yang memulai sejarah tekstual Inggris dalam lingkup Asia Tenggara. Mereka yakin buku mampu membentuk masyarakat dan merubah seisi negara ke arah yang lebik baik. Misi ini kemudian diterapkan di wilayah-wilayah koloni sebagai bagian beban bangsa kulit putih memberadabkan orang timur.
Studi tentang wilayah koloni dan budaya lokal ini banyak diusahakan oleh para pejabat kolonial. Tujuannya untuk menimbulkan kekhususan dari wilayah tersebut. Mereka meneliti potensi alam sekitar. Seperti Marsden yang melakukan studi tentang Sumatra, bahkan melakukan pengamatan langsung terhadap orang Rejang. Marsden dalam studinya diakui telah menerapkan kaidah penelitian yang terstruktur. Namun, akibat kecenderungan kolonialsentrisnya ia tidak konsisten. Marsden sangat berhati-hati dalam menulis khususnya ketika ia berbicara tentang alam Sumatra yang di perkenalkan dalam bab “Sejarah Alam” dalam History of Sumatra.
Marsden banyak meminjam penggolongan deskriptif yang dicetuskan Linnaeus, seorang ahli botani dari Swedia. Pada masa itu, ilmu tentang tumbuhan merupakan ilmu yang tengah berkembang di samping anthropologi dan ilmu pasti. Para penjelajah Eropa berbondong-bondong menggali potensi wilayah tropis dan hasilnya dibawa pulang ke Eropa. Marsden pun melihat potensi alam wilayah koloni di Asia Tenggara adalah sesuatu yang patut di pertahankan. Namun, apa yang ia jabarkan masih terkesan dangkal dan menggeneralisasikan berdasarkan pada apa yang ia rasakan. Kecenderungan Marsden ini terjadi karena ia menginginakan agar pengalamannya dapat dirasakan langsung oleh pembaca. Ia ingin agar pembaca memposisikan diri seolah mereka berada di tengah belantara Sumatra. Ia bahkan mendeskibsikan rasa semut yang ditemuinya di hutan Sumatra.
Di samping melakukan penelitian menggunakan pendekatan yang belum disempurnakan, Marsden mencetuskan untuk menulis Sejarah Manusia sebagai bagian ilmu pengetahuan. Meski bukan istilah baru, realisasi layaknya sejarah sebagai ilmu pengetahuan masih sangat terbatas di zaman itu, karena sejarah bukan ilmu pasti oleh karenanya kebenaran hanya dapat dicapai secara teoritis. Marsden lantas menulis mengenai implikasi alam terhadap kehidupan sosial orang Rejang di Sumatra.
Marsden menunjukan bahwa alam dapat meluap membentuk Sejarah Manusia. Alam merepresentasikan kebudayaan lokal, melalui alam manusia membentuk tubuh, kebiasaan dan kebudayaannya. Namun, Marsden membuat kesalahan, ia menggunakan metode Linnaeus terhadap Orang Rejang di tengah bab “Sejarah Alam”. Selain itu, Marsden hanya membuat generalisasi dengan sikap ideal, sehingga hasilnya bukan mengangkat kehidupan sosial orang Rejang melainkan ke arah penyempurnaan eksplanasi keindahan alam Sumatra bagi kepentingan kolonial.
Selain Marsden, Crawfurd pun memiliki keyakinan bahwa menghubungkan Sejarah Alam dengan pemetaan dan anthropologi adalah memungkinkan. Menurut Crawfurd, sebuah bangsa tidak dikatakan beradab ketika mereka tidak dapat mengupayakan industri pertanian, memproduksi dan menyimpan bahan pangan pokok berupa jagung dan gandum. Sebaliknya, mereka yang menyesuaikan diri dengan alam, menciptakan kebudayaan lain berdasar kontur alamnya belumlah beradab. Hasil pemikiran Crawfurd yang dituangkannya dalam History of the Indian Archipelago sangat dipengaruhi oleh keadaan negeri induk Inggris yang kala itu tengah dalam ekspansi revolusi industri dan perdebatan jagung sebagai produk pertanian utama orang Inggris.
Pada masa ini, teks-teks yang ditulis bukan unsur utama dalam sebuah karya tulis. Mary Chatherine menuliskan bahwa terdapat apa yang disebut gambar yang diubah (edited image). Karya-karya tulis layaknya milik Raffles mencantumkan ilustrasi yang menggambarkan keelokan wilayah Timur kepada orang Barat, khususnya pemerintah kolonial. Ilustrasi tersebut dicantumkan seolah adalah bagian dari kebenaran, padahal dalam kasus Raffles gambar itu justru diubah untuk melindungi simbol-simbol yang dilarang di Inggris. Seperti halnya bentuk kumis orang lokal yang diubah agar tidak menimbulkan sinisme anti-bajak laut dan membangkitkan ingatan terhadap para jenderal pasukan Napoleon. Marsden memiliki cerita yang berdeda, ia mengubah gambar untuk mengurangi kebingungan pembaca kulit putih terhadap bentuk-bentuk aneh binatang berdasarkan legenda lokal.
Marsden selalu berhati-hati dalam menerjemahkan alam budaya masyarakat lokal, baik mitos orang Rejang maupun kanibalisme orang Batak. Berbeda halnya dengan Anderson yang secara terbuka menceritakan apa yang ia amati. Deskripsi yang dituturkan Anderson memiliki kecenderungan elemen romantis yang menekankan ketakutan dan horor akan tradisi orang Batak dan hutan Sumatra. Anderson tidak membatasi dirinya dalam menulis, kecuali kelemahannya terhadap teori ilmu alam yang membuatnya sulit menggambarkan alam Sumatra.

Marsden, Raffles, Symes, Crawfurd dan Anderson dinilai berhasil dalam melakukan penjelajahan dan penulisan tentang wilayah Asia Tenggara. Mereka adalah pencetus ide dan pengamat yang melegitimasi pengetahuan mereka di wilayah Timur yang masih asing. Akan tetapi, mereka telah melakukan kesalahan besar dalam menentukan prinsip sehingga dalam beberapa hal mereka tidak mampu mengurai dari ketentuan-ketentuan yang mengikat. Mereka masih memiliki kecenderungan dalam menulis, terbatasi oleh lemahnya teori, hingga menciptakan dramatisasi terhadap keindahan sekaligus kengerian Asia Tenggara melalui pemetaan lewat alam pikiran yang bebas. Seperti halnya Symes tidak tertarik mengikuti langkah Marsden dan hanya menulis berdasarkan jurnal dengan perubahan dan penyesuaian. Dasar-dasar tersebut kemudian tanpa sengaja menimbulkan kesalahpahaman.

No comments

Powered by Blogger.