Header Ads

Agenda Penelitian Pribumi Sebagai Counter Imperialisme Akademis. Oleh Dieka W. Mardheni

13/356134/PSA/7645
            Penelitian merupakan kegitatan yang sudah terlembaga melalui berbagai disiplin pengetahuan, komunitas dan kelompok kepentingan para sarjana, juga di dunia akademik. Penelitian juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia politik dimana pemerintah memberikan dana kepada peneliti untuk melakukan penelitian melalui perguruan tinggi, organisasi ilmu pengetahuan nasional dan program kebijakan pembangunan. Aktifitas semacam ini banyak dilakukan di berbagai belahan dunia tidak terbatas hanya pada negara kaya saja bahkan negara miskin pun ikut mengeluarkan uangnya demi melakukan penelitian.  Organisasi non pemerintak dan kelompok sosial juga melakukan penelitian dan meilbatkan diri dalam menganalisis dan mengkrtitisi penelitian. Aktifitas penelitian tersebut dijalankan dengan berbagai latar belakang pendidikan dan sudut pandang. Hal ini menyebabkan sukarnya menangkap artikulasi agenda penelitian tentang pribumi dengan skala yang besar. Tetapi ketika kita membayangkan bagaimana bangsa pribumi berkeinginan untuk menentukan nasibnya sendiri dan menjadi partisipan aktif dalam dunia penelitian itu juga berarti membayangkan dunia secara keseluruhan, karena pribumi adalah merupakan bagiannya.
            Bab ini ingin menggambarkan mengenai inisiatif pribumi dalam penelitian dan mendiskusikan berbagai macam agenda penelitian yang diartikulasikan. Hal yang cukup mengejutkan juga, ternyata kalangan bangsa pribumi sendiri  ada perbedaan cara berpikir  mengenai sebutan yang diberikan pada penelitian. Beberapa proyek bahkan tidak disebut sebagai penelitian karenan priyeknya itu kecil dan sederhana. Penelitian juga dipandang sebagai dominan para ahli yang berkualitas, berkedudukan tinggi, punya akses pada bahasa dan berkemampuan tinggi. Selain pandangan yang bisa disebut orientalisme atau eurosentrisme ini agaknya mulai mulai ditinggalkan, karena komunitas pribumi yang menginginkan adanya penentuan nasib sendiri, yang terlibat secara sadar berkenaan mengenai hal menurut sudut pandang dunia pribumi. Misalnya, peneliti dari New Zealand menggunakan nama penelitian Kaupapa Maori atau penelitian yang berpusat pada Maori (Maori-centered), penggunaan nama ini memperlihatkan adanya keinginan untuk menggeser ke pusat dan mengistimewakan nilai-nilai pribumi, sikap dan praktek pribumi bukan malah menggunakan nama yang kebarat-baratan seperti penelitian kolaboratif.
            Terobosan yang dilakukan mengenai penelitian tentang Maori ini memberikan gambaran bahwa mereka ingin terbebas dari imperialisme intelektual, dimana Syed Husein Alatas  pada tahun 1969 menyatakan bahwa imperialisme tidak terbatas pada dimensi ekonomi dan politik. Ia juga memberikan tambahan mengenai enam ciri utama imperialisme yakni: ekploitasi, pengawasan, penyesuaian (conformity), penempatan pihak terdominasi ke dalam peran sekunder dalam masyarakat, rasionalisasi imperialisme secara intelektual, dan watak interior yang ditanamkan penguasa imperialis. Berbagai karakteristik tersebut juga berlaku pada imperialisme intelektual yang berlangsung dengan adanya dominasi pikiran satu bangsa dengan bangsa yang lain.[1] Penjajahan pikiran ini termasuk dalam penghapusan pihak yang terjajah dalam sejarah, dengan kata lain mereka tidak memeiliki peran dalam tulisan sejarah melainkan hanya menjadi objek saja, kemungkinan untuk menjadi agen perubahan otomatis menjadi kecil.[2]
Mengenai hal ini ada dua terobosan yang bisa dilakukan agar penelitian pribumi bisa maju. Pertama yakni, melalui proyek aksi komunitas, prakarsa lokal serta penelitian suku yang bertumpu pada berbagai klaim. Cara kedua adalah, melalui ruang dalam berbagai institusi yang bisa dicapai oleh pusat-pusat penelitian dan oleh program studi pribumi. Kedua terobosan ini bisa saling melengkapi dalam batas tertentu, keduanya ingin merefleksikan dua perkembangan yang memang berbeda. Ide mengenai komunitas kemudian didefinisikan dan diimajinasikan dalam beraneka cara, yakni sebagai ruang fisik, politik, sosial, psikologis, histori, linguistis, ekonomi kultural serta spiritual. Karena bagi bangsa terjajah, kebanyakan komunitas terbentuk untuk menempatkan jauh di pinggiran dan tidak terlihat. Bahkan beberapa komunitas pribumi justru menepati ruang paling terisolasi dan marjinal sebagai kampung halaman.
            Mendefinisikan penelitian komunitas, sama kompleksnya dengan mendefinisikan komunitas itu sendiri. Komunitas dianggap sebagai ruang yang berbeda dalam penelitian dan lapangan. Komunitas itu menyiratkan sebuah ruang yang lebih akrab, manusiawi dan terdefinisi sendiri, sedangkan lapangan mengasumsikdia luar sana dimana  orang bisa hadir bisa juga tidak. Pendekatan komunitas ini mengasumsikan bahwa masyarakat tahu dan bisa merefleksikan hidup mereka sendiri, memeiliki pertanyaan dan prioritas merek sendiri, dan punya ketrampilan serta kepekaan yang mampu memajukan proyek berbasis komunitas. Mengenai hal ini proses diharapkan berlangsung secara lebih bermartabat dan memberikan peluang bagi rakyat untuk bisa menyemuhkan den terdidik. Selain itu juga diharapkan bisa selangkah lebih maju untuk menentukan nasib sendiri.
            Selain komunitas ada pula penelitian mengenai suku, suku disini digunakan untuk mendeskripsikan suatu bentuk organisasi pribumi. Suku mencakup suatu komunitas yang berbeda. Bagi orang Maori suku adalah entitas politik terbesa yang terdiri dari kelompok kecil yang berkaitan erat dengan silsilah maupun praktek adat bersama. suku ini bahkan melakukan investasi pada beawiswa pasca sarjana guna membantu mahasiswa Tanui untuk merampungkan studi mereka  dan melakukan penelitian yang relevan. Lebih dari itu, sekeu tersebut memiliki centre sendiri dimana penelitian khusus sedang dilakukan oleh sebuah tima yang didominasi para peneliti muda. Jelas ini mengobarkan tuntutan orang Maori mengenai kualifikasi pendidikan yang maju dan membuat peran institusi menjadi sorotan yang tajam.
            Gugatan-gugatan yng dilakukan memandakan adanya hasrat ingin merdeka dari belenggu kolonialisasi modern yang didominasi oleh Eropa. Ilmu-ilmu sosial didominasi oleh orang Eropa yang menajdikan bangsa pribumi yang terjajah hanya mengikuti dominsi dan pemikiran saja. Adanya Pemikiran yang meniru dan tidak kreatif dengan cara berfikir menggunakan metode katergori dan metode barat yang disebut juga captive mind juga menjadi alasan adanya pembiaran penanaman imperialisme intelektual. Walaupun bisa dibilang penelitian suku ini bersifat cukup sensitif namun ini juga merupakan hal yang bagus guna perkembangan penelitian yang memihak pada pribumi dan juga diteliti melalui kaca mata pribumi sendiri. Pemikiran pemikiran mengenai ketergantungan terhadap dunia barat seharusnya sekaran gini mulai ditinggalkan.  Kebergantungan yang terletak pada investasi pendidikan menjadikan adanya jenjang antara pusat-pinggiran dalam dunia akademis. 
            Pagi bangsa pribumi universitas sendiri dianggap sebagai institusi yang elit. Bahkan universitas yang dibiayai negara dianggap sebagai kubu elitisme barat, jadi tidak mengejutkan bahwa mahasiswa pribumi hanya menemukan segelintir ruang bagi perspektif pribumi dan sebagian besar disiplin akademis dan pendekatan penelitian. Dapat dikatakan bahwa pada masa postkolonial meski kemerdekaan telah dicapai kita tetap akan mendapati neoimperialisme akademis yang tetap bertahan lantaran adanya kontrol dan pengaruh monopolistik barat atas watak dan aliran pengetahuan ilmu sosial. Jika pada asa kolonial imperialisme akademis dipelihara melalui kekuatan kolonial, maka zaman neokolonialisme dipertahankan melalui kebergantungan secara akademis. Sehingga ruang ruang untuk melakukan penelitian tentang pribumi agaknya dibatasi karena dianggap bahwa pribumi itu sebgai objek bukan sebagai subjek yang harus diteliti.
Keputusan untuk membentuk sebuah unit penelitian dipandang sebagai suatu cara utnuk menganngkat penelitian pribumi, serta mengembangkan aliansi strategis dengan para akademisi non pribumi yang  bersimpati. Unti penelitian bagi pendidikan Maori dibentuk tidak lama sesudah dua akademisi Maori ditunjuk untuk menduduki segai dosen senior. Tujuan dari unit penelitian ini bertujuan untuk memepromosikan penelitian Maori yang diharapkan dapat menciptakan perbedaan positif dan juga guna mengenmbangkan strategi dalam rangka memepengaruhi kebijakan pendidikan Maori. Pencapaian unit ini secara akademis dan adalam hal penciptaan ruang bagi pengenmbangan pribumi di suatu universitas juga menarik perhatian dari berbagai centre pribumi lain dari berbagai kelompok dan komunitas yang berasala dari Australia, Kanada, Amerika, Skotlandia dan Irlandia. Hingga pada tahun 1955 unit penelitian Maori ini sudah berkembang sendiri.
Misi dari institut tersebut adalah untuk melaksanakan dan menyebarluaskan penelitian, keilmuan dan perdebatan yang akan mendatangkan sebuah perbedaan positif bagi kehidupan bangsa maori dan bangsa pribumi lainnya. Dan memepersatukan sekelompok bangsa pribumi lainnya yang terampil dan bermartabat untuk mendedikasikan dirinya demi peningkatan mutu orang Maori dan pendidika pribumi pada umumnya. Para mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan teoritik sejalan dengan minat penelitian spesialis mereka. Penciptaan kultur penelitian dilakukan dengan sangant berhati-hati dan mahasiswa juga dilibatkan dalam diskusi serta perdebatan mengenai problematika penelitian. Bebrapa mahasiswa juga dipekerjakan sebagai pekerja paruh waktu atau diberikan beasiswa selaku asisten peneliti yang mengerjakan review literatur, memasukkan data dan wawacara secara bertahap kearah tanggungjawab untuk suatu proyek kecil. Bagi peneliti ketrampilan dan kemampuan merefleksikan diperlukan guna menjembatani dan bekerja dalam dinamika yang amat rumit tersebut. Mereka harus memikirkan gambaran yang lebih besar dari penelitian dan memiliki sebuah analisis kritis mengenai proses mereka sendiri.
Mengenai berbagai penelitian yang dilakukan Linda juga membagi penelitian menggunakan istilah insider dan outsider. Sebgaian metodologi penelitian mengasumsikan bahawa peneliti adalah orang luar yang mampu mengamati tanpa terlibat dilapangan. Hal ini berhubungan dengan positivisme dan gagasan mengenai objektifitas dan netralitas. Tetapi dalam penelitiannya motode insider lebih cocok ketika digunakan dalam penelitiana feminis dan akan lebih diterima dalam penelitian kuantitatif. Secara umum penelitian insider  memaksa peneliti harus selalau memiliki cara berpikir kritis terhadap proses yang mereka tempuh, hubungan mereka, kualitas mereka dan kekayaan serta analisis mereka. Sebagai seorang insider Linda mempunyai hubungan erat dengan perempuan yang merupakan pengorganisasi utama. Namun pada beberapa titik Linda merasakan sekaligus sebagai seorang Outsider. Kebanyakan proyek komunitas mensyaratkan masukan intensif dari komunitas. Implikasi masukan demikian bagi komunitas miskin dan komunitas yang tertekan bisa sangat luar biasa.  Penelitian pribumi memefokuskan dan meletakkan agenda pribumi lebih besar dalam domain penelitian. Agenda dari pribumi dalam penelitiannya adalah menantang peneliti pribumi untuk bekerja di seluruh batasan-batasan, inilah tantangan yang memberikan fokus dan arahan dalama membantu dan ber[ikir untuk menerobos kerumitan penelitian pribumi. Proses ini juga kana berkembang ketika peneliti yang bekerja dalam bidang ini mendialogkan dan mengkolaborasikannya.
Tulisan Linda ini mengenai penelitian yang dilakukan Maori ini menunjukkan adanya kemerdekaan mengenai kebergantungan terhadap terori sosial yang di munculkan oleh bangsa barat. Ide mengenai penelitian bangsa pribumi yang menjadikan pribumi sebagai subjek adalah hal yang baik, karena pada akhirny bangsa yang terjajah bisa memiliki cerita dan bisa menceritakan tentang apa yag terjadi. bukan hanya sebagai objek yang diceritakan oleh pihak orientalis yang kadang disebut sebagai bangsa yang harus di beradabkan. Bahkan dalam dunia modern seperti sekarang ini masih ada koloninasi dalam dunia sosial ekonomi dan pendidikan. Bangsa-bangsa yang dulunya terjajah tidak diperbolehkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan selalu dibuat untuk bergantung pada bangsa barat. Melalui program seperti beasiswa pola pikir para ilmuwan dibuat dan dibentuk dalam lingkup teori bangsa Eropa yang imperialis.
Teori captive mind digunakan untuk mengontrol pemikiran bangsa pribumi.  Pemikiran ini didominasi oleh pemikiran barat dengan cara meniru dan bersikap tak kritis, peniruan tak kritis tersebut merasuk ke semua tingkatan aktivitas ilmiah, yang mempengaruhi latar belakang, konspetualisasi, diskripsi, eksplanasi dan interpretasi. Benak yang terbelenggu hampir sepenuhnya dilatih oleh ilmu sosial barat, karya karya penulis barat, dan terutama dididik oleh para pengajar dari barat. Konsekuensi dari hal ini yang begitu nyata yakni dalam kelemahan pola pikir, pemikiran yang hanya mengekor pada pemikiran bangsa Eropa. Namun dalam tulisannya Linda ini khususnya bab 3, ia menggambarkan adanya inisiatif dari para ilmuwan Maori untuk mendirikan sebuah institusi yang khusus meneliti bangsa Maori. Sikap seperti ini yang masih kurang terlihat di Indonesia. perasaan untuk melakukan Counter terhadap pemikiran-pemikiran barat yang mengucilkan bangsa pribumi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa proses sejarah bangsa pribumi terjajah tak lepas dari bangsa barat sebagai kolonialis.
Level dimana bangsa pribumi mulai menuliskan sejarah bangsanya sendiri. Dengan melakukan counterisme kita melakukan sikap responsif terhadap retorika yang dialkukan melalui penyebaran ilmu sosial secara global. Dan berbagi kebergantungan teori sosial terhadap ilmu sosial yang berpusat di barat. Karena ilmuwan pribumi dari dunia ketiga dikondisikan untuk menerima teknik retorika yang diistilahkan dengan teknisasi pembangunan. Gagasan-gagasan bangsa barat ini melemahkan tradisi pribumi itu sendriri dan hanya mendasarkan pada modernitas bangsa barat dan bangsa pribumi adalah bangsa pengikut. Selayaknya dengan counterisme yag berkembang kita bisa menceritakan modernitas bangsa prbumi dengan cara pribumi sendiri dengan tanpa menghilangkan metoe, teori dan konsep keilmiahan barat. Sehingga dengan ini kita bisa memanfaatkan pengetahuan yang diberikan bangsa barat dengan lebih baik, bukan hanya dianggap sebagai bangsa  perniru yang selalu bergantung.



[1] Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Jakarta Selatan, PT. Mizan Publika, 2006, hlm 41.
[2] Ibid, hlm 40.

No comments

Powered by Blogger.