Header Ads

CONJECTURAL HISTORIES Oleh Idham Setiawan

Tafsiran sejarah dapat diartikan sebagai rekonstruksi sebuah peristiwa berdasarkan kumpulan data atau fakta dari masa lalu yang dianalisis berdasarkan interpretasi penulis sehingga terciptalah sebuah tulisan historiografi. Misalnya tentang perang jawa, bukan hanya perang antara pangeran diponegoro vs belanda, tapi tentang cerita perang itu sendiri yang banyak melibatkan banyak orang jawa dengan berbagai perannya dan kerugian materi yg banyak di sisi lain. Melihat perang jawa dari berbagai sisi.
Memang pesan yang di bawa adalah sebuah perlawanan melawan belanda. Pada perang diponegoro bisa dikatakan sebagai jihad jika dilihat dari segi perjuangan agama karena orang belanda telah merusak makam leluhur pangeran diponegoro untuk membangun jalan raya pos, karena saat itu bagi orang islam jawa makam para leluhur merupakan sakral adanya, tidak boleh digusur atau di bongkar. Atau bisa juga dikatakan bahwa kolonialisme belanda, apapun bentuknya, hanya akan menyengsarakan pihak yang terjajah. Contohnya sistem tanam paksa yang mengakibatkan banyak korban jiwa melayang. Masyarakat pribumi dijadikan sebagai budak atau gundik bagi orang eropaa. Pihak terjajah hanya sebagai sapi perahan saja. Namun kolonialisme tidak sepenuhnya jelek, karena dengan adanya kolonialisme, rasa nasionalisme masyarakat pribumi mulai bermunculan untuk menjadikan bangsa Indonesia merdeka. Namun munculnya rasa nasionalisme atau perlawanan orang pribumi melawan hegemoni belanda membutuhkan proses yang panjang, bukan instan.
Penulisan sejarah berdasarkan konsep conjectural histories, yaitu penulisan sejarah menggunakan sumber sejarah dari artefak, oral history atau sejarah lisan, tradisi adat istiadat orang jawa atau Sumatra, orang Indian, baik itu bentuk pemerintahannya, model perkawinannya, kehidupan sosialnya, semuanya menarik untuk dijadikan sumber sejarah, sebagaimana yagng ditulis oleh Rafles dalam buku history of java. Menarik untuk di bahas, karena masyarakat Indonesia saat itu tidak meminggalkan bentuk peninggalan sejarah berupa tulisan sejarah pada masanya, tetapi hanya berupa bentuk hasil budaya mereka, oleh sebab itu, data-data sejarah dalam penulisan historiografi mengalami perubahan makna atau konsep. Bukan hanya dokumen saja yang pantas menjadi hardfact, tapi juga hasil-hasil budaya masyarakat jawa atau sumantra bisa menjadi hard fact jika memang itu sebuah pilihan bersadarkan metode sejarah. Namun sejarawan harus netral melihat suatu peristiwa sejarah berdasarkan fakta yang ada sebagai pedoman dalam penulisan historiografi.
Memang secara teori, penulisan historiografi berdasarkan Conjectural histories, perlu diperdalam lagi pembahasannya, karena saat ini Rafles dalam melakukan penelitian di jawa masih menggunakan sumber sumber lisan atau artefak karena dalam penulisan sejarah, data seperti itu masih di anggap sebuah mitos, yang belem tentu kebenarannya sehingga perlu dirasionalkan sesuai dengan zamannya apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataannya. Oleh sebab itu ada kritik sumber yang dilakukan oleh rafles dengan cara memilih dan memilah mana yang pantas untuk dijadikan sebuah data atau fakta dalam penulisan history of java misalnya.
Bisa dikatakan tulisan Rafles tentang history of java adalah pandangan barat terhadap sejarah timur yang dianggap terbelakang, masih kuno, nomaden, padahal tidak. Bukan masalah tradisional atau modern, tapi itu adalah hasil dari kebudayaannya. Hasil budaya suatu bangsa yang unik. Seandainya pada saat itu, Rafles mengajarkan kepada pribumi tentang menulis dan membaca, maka pandangan history of java yang ditulis oleh rafles belum tentu sama dengan pandangan orang pribumi tersebut. Bisa juga jika orang pribumi atau orang jawa misalnya, melakukan penelitian ke Eropa (barat) pada saat yang sama, sesuai dengan masa Rafles hidup, pasti terdapat cerita baru tentang eropa. Kemungkinan sisi gelap eropa saat itu bisa terungkap. Karena penulisan sejarah, sarat dengan kepentingan politik yang menulisnya.
Namun tulisan marsden, rafles, dan crawfurd, patut untuk diapresiasi karena telah menulis (menceritakan) dengan lugas dan menarik tentang orang hindia, baik itu Malaysia, sumatara, jawa, australia yang masyarakatnya masih dianggap “primitif” dan berperang sebagai cara bertahan hidupnya sepeti yang terlihat pada masyarakat aborigin diaustralia misalnya, karena memang bagi mereka, kehidupan masyarakat tersebut berbeda dengan kehidupan eropa pada saat itu. Tanpa ada tulisan mereka, mungkin kita tidak tau bagaimana kehidupan di dunia asia pada saat itu terjadi, selain berdasarkan dari sumber-sumber babad atau kitab-kitab lokal pada zaman tersebut.







No comments

Powered by Blogger.