Header Ads

“Mengurai Eropasentrisme dalam Ilmu Sosial”

Nama              : Mawardi Purbo Sanjoyo
NIM                : 13/352450/PSA/07495
Mata Kuliah  : Historiografi


Didasarkan Pada Buku

“Dekolonisasi Metodologi”
Bagian Bab IV Dengan Judul “Petualangan Penelitian Di Tanah Pribumi”
Karya
Linda Tuhiwai Smith
Dan
Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme
Karya
Syed Farid Alatas

            Membaca buku yang ditulis oleh Linda Tuhiwai Smith berjudul Dekolonisasi Metodologi dan Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme hasil karya Syed Farid Alatas kita dihadapkan dengan pengetahuan baru mengenai situasi keilmuan yang sebenarnya tanpa disadari masih “mewarisi” pemikiran dari kolonialisme. Kedua buku tersebut berangkat dari keprihatinan yang sama mengenai ilmu pengetahuan yang berkembang di luar Eropa. Ilmu sosial pada khususnya sampai saat ini masih sangat terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran orang Eropa. Penelitian yang dilakukan oleh orang-orang Eropa masih menyisakan benih-benih perspektif Eropasentris. Bahan dari penelitian dan hasil penelitian ini banyak digunakan sebagai bahan referensi guna melanjutkan penelitian. Hal inilah yang menyebabkan cara berfikir yang Eropasentris terus berlanjut. Penelitian yang dilakukan oleh orang Eropa menempatkan objek kajiannya sebagai suatu hal yang lain atau yang disebut Smith sebagai Other. Oleh sebab itu tidak dipungkiri bila kemudian sesuatu yang “lain” atau di luar dari bangsa Eropa tersebut mempunyai sesuatu yang “lain” pula kemudian penilaian atas Other tersebut didasarkan pada realitas yang terjadi di Eropa. Tentu hal ini menimbulkan penilaian bahwa masyarakat yang dijadikan objek penelitian adalah masyarakat yang tertinggal menurut orang Eropa.
            Smith menuturkan dalam bukunya tersebut bagaimana kerangka berfikir yang Eropasentris tersebut terbentuk. Awal penelitian yang dilakukan oleh orang-orang Eropa adalah ketertarikan mengenai kehidupan masyarakat lain di luar Eropa dari laporan ekspedisi pelayaran yang dilakukan oleh para pelaut Eropa. Isi laporan-laporan perjalanan dicatat secara detail semua hal yang ditemui dalam perjalanan. Laporan-laporan tersebut tidak menutup kemungkinan juga berisi mengenai uraian yang ditambahkan dalam laporan supaya laporan tersebut dapat dimengerti oleh pembacanya. Oleh sebab itu terdapat perspektif pemikiran yang membuat laporan dari detail laporan-laporan perjalanan tersebut. Banyak dari perusahaan-perusahaan ataupun asosiasi yang mendanai perjalanan suatu ekspedisi ketika orang Eropa mulai mengapresiasi penelitian dan keinginan mengetahui kehidupan masyarakat di luar Eropa. Hal tersebut dikarenakan kepentingan di salah satu pihak untuk mendapatkan keuntungan dari segi material. Smith juga mencontohkan bagaimana misionaris melakukan hal yang sama ketika membaca laporan ekspedisi. Bagi misionaris seperti menemukan tantangan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang hilang dan terperosok dalam kebiadaban. Kebiasaan orang-orang pribumi dianggap sebagai hal yang menjijikkan. Terlebih ketika para misionaris sudah tiba pada suatu tempat yang dituju, kemudian melaporkan mengenai keadaan masyarakat tersebut, ketika pada masyarakat pribumi mempunyai sifat yang dianggap jahat dan semakin jahat sifat suatu masyarakat maka semakin akan diapresiasi kegiatan misionaris di wilayah tersebut.
Suatu hal yang menarik dari tulisan smith ini adalah pada bab empat terdapat salah satu subbab yang berjudul “datang, melihat, memberi nama, lantas mengklaimnya”. Subbab ini merupakan salah satu contoh kecil yang dilontarkan oleh Smith bagaimana alur berfikir yang sampai sekarang terus dipahami. Smith menjelaskan alasannya mengenai judul subbab yang ditulisnya tersebut ia menuturkan bagaimana seringkali disebutkan mengenai “penemu suatu daerah” sebagai contoh adalah James Cook ketika menamai daerah-daerah di New Zealand sekehendak hatinya sendiri karena menganggap daerah-daerah tersebut belum memiliki nama. Apabila dipahami sebenarnya James Cook hanya berlayar menurut rute pada laporan pelayaran Abel Tasman. James Cook menganggap daerah-daerah pada pulau yang baru disinggahinya tersebut belum mempunyai nama. Kemudian ia menamainya untuk memudahkan pada pelayaran yang selanjutnya dan menulisnya dalam laporan. Bagi orang Inggris, James Cook lah yang pertama kali menandai daerah-daerah pada sebuah pulau di sebelah tenggara benua Australia tersebut. Padahal sebelumnya orang-orang Maori sudah menetap dan tentunya sudah menamai wilayahnya dengan bahasa Maori di pulau yang sekarang dikenal dengan Selandia Baru tersebut. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Smith bagaimana suatu pola pikir yang berkembang selama ini. Smith mengajak kita berfikir secara kritis mengenai hal ini. Inilah bahayanya apabila cara berfikir yang sudah mengakar kuat seperti ini masih dipakai.
                Contoh lain yang diberikan oleh Smith dalam buku yang ditulisnya tersebut adalah penelitian-penelitian yang diarahkan pada masyarakat Maori dianggap sebagai penelian yang “berat sebelah” artinya penelitian tersebut menurut perspektif penelitinya yang dianggap kurang objektif. Ungkapan karena ia menginginkan bahwa penelitian dilontarkan bukan karena “berat sebelah” dan tidak mengacu pada suatu pandangan lain terhadap realitas yang terjadi di suatu masyarakat. Hal ini mudah dipahami karena Smith sendiri merupakan penduduk asli dari suku Maori. Dalam kajian orang Eropa, masyarakat Maori banyak dijadikan sebagai objek penelitian, tetapi penelitian yang dihasilkan dianggap Smith terlalu mengesampingkan realitas yang terjadi pada masyarakat Maori sendiri. Selain itu penelitian yang dianggap “ilmiah” lebih berbahaya lagi. Penelitian dilakukan dengan mengesampingkan etika dari peneliti yang menganggap lebih beradab, misalnya dengan mengukur volume tengkorak untuk membuktikan kebenaran sebuah teori bahwa volume otak “primitif” lebih kecil dibanding volume otak orang Eropa. Kemudian untuk memudahkan penelitian maka artefak-artefak hasil kebudayaan suatu masyarakat dikirim ke Eropa. Inilah salah satu penyebab kemarahan masyarakat yang merasa peneliti-peneliti tersebut telah mencuri barang-barang berharga peninggalan dari leluhurnya.
            Pemikiran ini dapat dipahami karena orang Eropa sendiri ketika melakukan ekspedisi, penelitian, dan penjajakan terhadap daerah yang dianggap baru ada pihak yang sangat berkepentingan di dalamnya. Smith menganggap pihak yang berkepentingan di dalam kegiatan-kegiatan tersebut sebagai pencari keuntungan secara material dan ideologi. Penjajakan terhadap daerah baru mampu memperluas pasar dalam dunia perdagangan dan menanamkan ideologi yang sebelumnya telah berkembang di Eropa.
             Ungkapan yang sama juga dituturkan oleh Alatas dalam bukunya. Alatas lebih menyoroti mengapa ideologi Eropasentris masih terus berkembang di Asia. Istilah yang dilontarkannya adalah “Captive Mind” untuk menunjukkan terbelenggunya suatu pemikiran. Dalam menyikapi suatu masalah dalam masyarakat atau mengkaji suatu hal yang berhubungan dengan sifat ilmiah, selalu merujuk pada pemikiran-pemikiran Barat. Mudah sekali menemukan rujukan-rujukan dari pemikiran Barat seperti Marx, Weber, Durkheim tetapi di satu sisi mengesampingkan para pemikir dari Asia seperti Wang An Shih, Jose Rizal, Rammohun Roy. Logika sederhana untuk menanggapi hal di atas adalah ketika hasil pemikiran orang-orang Eropa digunakan dalam dasar kajian di Asia semestinya kurang memadai karena mereka berfikir terhadap realitas yang terjadi di Eropa bukan di Asia. Imperialisme telah menimbulkan alienasi intelektual, inilah realitas yang terjadi di Asia dimana imperialisme intelektual masih tumbuh subur. Alatas mengungkapkan ada enam ciri imperialisme: eksploitasi, pengawasan, penyesuaian (confirmity), penempatan pihak terdominasi ke dalam peran sekunder dalam masyarakat, rasionalisasi imperialisme secara intelektual, dan watak inferior yang ditanamkan para penguasa imperialis.

            Imperialisme terus-menerus menekan secara halus tanpa kita sadari, dan dengan sendirinya akan menciptakan belenggu pemikiran. Belenggu tersebut juga menimbulkan kebergantungan terhadap keilmuan dari Eropa yang terus menerus direproduksi di Asia. Pengawasan yang dilakukan oleh Barat terhadap keilmuan yang berkembang di Asia adalah dengan membuka banyak pengkajian-pengkajian terhadap masyarakat Asia. Walaupun pengkajian terhadap Asia dilakukan oleh orang-orang Asia sendiri tetapi pendasaran pemikiran atau filsafat keilmuan yang dipakai adalah dari pemikiran orang-orang Eropa. Cara-cara baru untuk mengokohkan ideologi Eropa terus dilakukan agar kebergantungan seperti itu dapat bertahan lama di Asia. Dampak yang ditimbulkan cara berfikir yang tidak kreatif dan pemikiran yang meniru menggunakan kategori dan model yang digunakan di Eropa. Kritik yang dilontarkan oleh Alatas tersebut mengajak kita untuk segera menyadari belenggu-belenggu ini dan mulai membangun dasar-dasar keilmuan sosial yang mempunyai “rasa” sendiri, yaitu ilmu sosial “rasa” Asia. Alatas juga mengingatkan kita untuk mandiri secara keilmuan. Mengurangi kebergantungan akademis yang berupa ide, tekhnologi, dan investasi merupakan cara yang ditawarkan Alatas agar kita dapat mandiri secara keilmuan. Dengan sendirinya kita berhak untuk bebas mengungkapkan gagasan yang didasarkan pada realitas yang terjadi di Asia sendiri tanpa ada paksaan secara halus yang sebenarnya merupakan salah satu pengawasan orang-orang Eropa pada ilmu pengetahuan yang berkembang di Asia.

No comments

Powered by Blogger.