Wacana Pendekatan Globalisasi (Mustofa)
Nama :
Mustofa
NIU :
13/356094/PSA/7642
Jurusan :
Pascasarjana Ilmu Sejarah FIB UGM
Mata Kuliah : Historiografi
Wacana Pendekatan Globalisasi
Datang, melihat,
memberi nama, lantas mengklaimnya. Itulah yang dikatakan Smith dalam bukunya
Dekolonisasi Metodologi (Smith, 2005: 115). Kiranya tidak berlebihan apabila ia
menyatakan demikian, mengingat bangsa Barat yang datang ke daerah-daerah
jajahan selalu mengklaim sebagai penemu suatu daerah bahkan Benua seolah-olah
daerah itu tidak pernah ada sebelumnya merekalah yang menemukannya. Bangsa
pribumi yang sudah bertahun-tahun bahkan beribu tahun menetap di daerah
tersebut dianggap hanya manusia yang tak berarti yang tidak memunyai hak sama
sekali atas daerah tersebut. Barat sebagai penjajah selalu menegasikan
bangsa-bangsa pribumi. Maka, eksploitasi tak terhindarkan lagi untuk mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya dari daerah jajahan, itulah watak dasar
imperialisme kolonialisme yang sesungguhnya. Namun realitas historis tersebut
berbeda dengan narasi sejarah versi orientalisme yang selalu memosisikan mereka
pembawa peradaban dan pencerahan bagi bangsa-bangsa yang belum beradab. Sudut
pandang semacam ini, selalu mendefinisikan Barat ibarat “Nabi” pembawa wahyu
kabar gembira yang telah berjasa menghantarkan bangsa-bangsa jajahan menuju
peradaban.
Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa maka, penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Kalimat tersebut secara tegas bangsa Indonesia mengutuk penjajahan, karena
penjajahn pasti akan diikuti oleh pamaksaan. Pemaksaan kehendak akan
menimbulkan terpuruknya hak-hak manusia. Tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa bangsa
Timur sampai detik ini masih mengalami penjajahan yang sistemik dari berbagai
aspek. Kebergantungan ekonomi, politik, bahkan secara akademik bangsa Timur
masih selalu bergantung pada Barat. Kebergantungan adalah salah satu design besar bangsa-bangsa Barat
terhadap bangsa-bangsa timur yang telah dilakukan sejak penjajahan secara nyata
hinga saat ini. Kebergantungan akademik adalah menifestasi imperialisme bangsa
Barat. Imperialisme akademik sepadan dengan imperialism ekonomi dan politik.
Alatas menyatakan dalam bukunya Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia;
Tanggapan Terhadap Eurosentrisme bahwa “Secara umum imperialisme atau
impireisme dipahami sebagai kebijakan dan praktik dominasi politik dan ekonomi
di wilayah jajahan oleh bangsa yang lebih maju sejak abad keenam belas”
(Alatas, 2010: 48).
Wacana
dekolonisasi oleh bangsa-bangsa bekas penjajah sudah lama digelontorkan namun
belum ada langkah kongrit untuk berdiri diatas kaki sendiri dalam teori dan
metodologi. Alhasil selalu menghasilkan historiografi kolonial-sentris, sejarah
yang selalu dipandang dari kacamata Barat (Orientalisme) selalu menempatkan
atau memosisikan dunia ketiga sebagai pelengkap, bahkan istilah dunia ketiga
sengaja diciptakan oleh bangsa-bangsa Barat untuk memandang Negara-negara Timur
sebagai Negara yang levelnya lebih rendah daripada Barat. Kemudian
kebergantungan ini berdampak secara psikologis ilmuwan yang belum mandiri
(Timur) hanya menjadi penerima pasif agenda risert, metode dan ide-ide dari
pusat-pusat ilmu sosial nagara maju yang berkuasa. “Keadaan tersebut karena
makna yang dianut bersama mengenai inferioritas intelektual di hadapan barat”.
(Alatas, 2010: 55)
Dr. Margana
dalam perkuliahan menyatakan “Pada dasarnya antara Barat dan Timur ada hubungan
simbosis mutualisme”. Tidak fair atau
bahkan tidak relevan apabila Barat selalu diposisikan sebagai Negara yang
superior tidak membutuhkan timur, karena pada kenyataannya Barat juga
bergantung pada Timur untuk memenuhi segala hasrat dan nafsu produksi
industrinya. Negara-negara jajahan yang selalu dijadikan obyek penelitian tidak
terlepas dari kepentingan Barat untuk mengusai Timur dari segala aspek
kehidupan. Tidak sedikit dana yang kemudian digelontorkan untuk melakukan
penelitian, bahkan sarat dengan politisasi penelitian, hasil-hasil riset hanya
memuaskan “sahwat” kolonialisme yang selalu ingin mendominasi dunia. Namun
idealnya kita tidak boleh phobia
dengan segala yang berbau Barat, namun harus ada kesadaran dan kemandirian
bangsa pribumi untuk bisa memandang sejarah dengan kacamata kita sendiri.
Meminjam kacamata orientalisme bukan sebagai satu-satunya alternatif untuk
menulis sejarah, namun sebagai pembanding dan evaluasi agar memandang sejarah
lebih obyektif, karena meskipun sejarah subyektif tetapi obyektifitas sejarah
harus tetap menjadi prioritas agar historiografi tidak keluar dari bidangnya
sebagai ilmu yang selalu haus dengan kejujuran dan kebenaran.
Penelitian dalam bidang studi sejarah adalah sebuah
proses untuk memeroleh sebuah data dengan sebuah metode agar mendapatkan sebuah
data dan fakta yang obyektif dan ilmiah dalam mengamati dan menjelaskan
realitas hsitoris peristiwa yang selalu berkaitan dengan manusia tentang dinamika kehidupannya. Bagaimanapun metodologi yang
digunakan tidak akan terhindar dalam suatu perdebatan yang tiada ujung.
Misalnya perdebatan dalam upaya memahami masyarakat dengan segala problema dan
polemik. Perdebatan biasanya terjadi dalam kontek metode, makna, untuk
menemukan sebuah formulasi penelitain yang memunyai kredibelitas dan
obyektifitas. Metode merupakan sebuah hal yang sangat subtantif karena
dipandang sebagai cara bagaimana sebuah data atau fakta diperoleh dan ditemukan
untuk mengetahui realitas yang tidak keluar dari peristiwa atau kejadian yang
sesungguhnya yang tidak hanya terikat pada seperangkat ide tentang pengetahuan
namun juga terikat dengan metodologi. Perdebatan biasanya selalu berkisar pada
hal-hal yang berkaitan dengan metodologi dan metode yang merujuk pada definisi
validitas dan reliabilitas dalam merekonstruksi instrument secara spesifik
tentang pengamatan tentang perilaku manusia dalam kehidupannya.
Dewasa ini
kritikan pedas dilontarkan terhadap paham positivistik yang dianggap tidak
mengakomodasi dan tidak bisa meng-cover
golongan minoritas yang seringkali dijadikan obyek penelitian. Kritik atau
gugatan ditujukan pada persoalan-persoalan metodologis dan epistemologis.
Kritik yang dilontarkan menempatkan perdebatan yang teoritis dunia global ke
dalam konteks lokal. Budaya yang berkemabang dalam penelitian Barat selalu
menempatkan mereka superioritas dalam segala hal yang kemudian dikemas dengan
rasionalitas yang “ilmiah”. Tidak jarang
Barat selalu membenturkan pemikiran Barat dengan pemikiran penduduk yang
ditemuinya dengan konsepsi yang mereka buat sendiri.
Menurut saya sejarah
tidak bisa dipandang dari satu sisi atau dari satu paradigma orientalisme agar tidak
menghasilkan histotoriografi yang parsial, namun sejarah adalah suatu peristiwa
multidimensional. Rekam jejak kehidupan manusia dari segala aspek kehidupannya
yaitu politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan yang lainnya. Sejarah
bukan milik Barat, bukan milik penguasa, bukan milik golongan, bukan pula milik
kepentingan, namun sejarah adalah milik suatu bangsa sebagai identitas
kesejarahannya untuk melihat masa yang akan datang. Identitas suatu bangsa
tidak lepas dari sejarah bangsanya, maka tidak berlebihan apabila bangsa
Pribumi (Timur) memandang sejarah dari sudut pandang bangsa pribumi itu
sendiri. Hegemoni Barat harus selalu direduksi dengan pengembangan skill teori dan metodologi bangsa
pribumi tanpa harus melepaskan secara mutlak teori dan metodologi bangsa Barat.
Wacana globalisasi tersebut tidak
hanya berhenti dalam tataran internasional, namun juga diharapkan dalam lingkup
lokal, dulu historiografi Indonesia
hanya berkisar pada peristiwa monumental dan politis yang lain terlupakan dan
termarginalkan. Bahkan masyarakat seolah-olah tidak memunyai hak dalam sejarah.
Robinson (1965) telah merintis perubahan dari Sejarah Lama (The Old History)
ke Sejarah Baru (The New History), merupakan reaksi terhadap Sejarah
Lama yang terlalu kaku membatasi diri pada sejarah politik. Perluasan
pengkajian pada The New History mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial
budaya, pertanian, pendidikan, psikologi, teknologi, dan sebagainya secara
inter/multidisipliner. The New History ini dengan demikian lebih luas,
dan menurut Burke (1993:3-4) merupakan sejarah
sosial. Saya rasa langkah tersebut sangat tepat dan akan berimplikasi terhadap
pembelajaran sejarah yang cenderung sempit dan membuat pelajaran sejarah
membosankan karena siswa hanya dicekoki hal-hal yang berbau politis dan
ideolgis. Pembelajaran sejarah yang bersifat eklektik tersebut tidak
saja menjadi wahana pengembangan kemampuan intelektual dan kebanggaan masa
lampau, tetapi juga merupakan wahana upaya memperbaiki kehidupan masyarakat
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya. Pembelajaran sejarah juga
memiliki nilai praktis-pragmatis bagi siswa, tidak sekadar nilai-nilai
teoritik-idealisme konseptual.
Daftar Pustaka
Alatas,
Farid Syed. 2010. Diskursus Alternatif
Dalam Ilmu Sosial Asia; Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Jakarta: IKAPI.
Supardan,
Dadang, 2009: History
Learning on the Approach of Multicultural and Local, National, Global History
Perspective for National Integration
Smith,
Tuwihai Linda. 2005. Dekolonisasi
Metodlogi. Yogyakarta: INSISTPress.
2008. Jurnal Pendidikan Sejarah Volume 6 Nomor 1. Surabaya:
University Press.
Post a Comment