Review : The Tale of the Skull An Islamic Description of Hell in Javanese Karya Clara Brakel-Papenhuyzen oleh Eka Ningtyas (13/352418/PSA/7493)
Papenhuyzen
dalam artikelnya memberikan diskusi yang menarik mengenai kehidupan di akhirat
dalam kaitannya dengan neraka yang mempengaruhi cerita dari text-text
kebudayaan Jawa awal abad ke-19. Walaupun hanya relative kecil literature Jawa
yang berisi cerita tengkorak, yang menggambarkan hukuman bagi ”unbeliever” di
neraka menjadi familiar dalam kepulauan
Indonesia selama abad ke-19. Menurut Pappenhuyzen, berdasarkan penelitian
Poensen ini dipengaruhi oleh tema yang serupa dalam literatur berbahasa Melayu
seperti : syair neraka, syair azab dalam
neraka, syair kanak-kanak dan jenis cerita sakarat-al-maut.
Awalnya,
Papenhuyzen secara kronologis menjabarkan bagaimana legenda kenabian menyebar
ke berbagai wilayah termasuk di kepulauan Indonesia yang ditandai dengan salah
satu versi yang terbaik karya seorang penyair mistis asal Persia, Farid al-Din
‘Attar’ dengan karyanya Djumdjuma-nama. Penyebaran
dari legenda kenabian itu tentu saja bersifat heroik karena terpaku pada
ketokohan tunggal yang menjadi inti dari cerita yang akan disampaikan (biasanya
tengkorak dari raja). Seperti dalam Hikayat Raja Jumjumah sebuah versi melayu
dari Djumjuma-nama yang kemudian
memberi warna pada penulisan narasi sejarah tradisional di Jawa dengan Serat
Pathak (atau serat kabar neraka) dan kitab Mamahi dari Serat Centhini. Namun
ada yang menarik disini, Winstedt mengatakan bahwa legenda mengenai Jumjumah
pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The History of Rajah Junjumah dan
diterbitkan oleh The Asiatic Journal pada
tahun 1823. Menurut pendapat Winstedt, versi tertulis dari legenda ini tidak
sampai menyentuh daerah berbahasa Melayu sebelum abad ke-19.
Namun
Papenhuyzen tidak sependapat dengan Winstedt, bukan berarti dengan tidak adanya
edisi tertulis dari legenda Jumjumah pada akhir abad ke-18 hingga awal abad
ke-19, legenda ini tidak dikenal di daerah berbahasa Melayu. Motif mengenai
berbicara dengan tengkorak sudah dikenal pada awal abad ke-17 melalui Hikayat
Indraputra, dimana dalam hikayat ini menceritakan mengenai Tengkorak yang
memperingatkan Indraputra mengenai iblis berbahaya yang hidup di dekatnya.
Dalam hal ini Papenhuyzen lebih menekankan mengenai pengklasifikasian legenda
yang berakar dari legenda raja jumjumah dalam museum dengan kode-kode MSS.
Meskipun sudah ada ontology 6 jilid dengan judul Hikayat Raja Jumjumah di museum pusat Jakarta dan meskipun Winstedt atau
Jumsari telah mengumpulkan legenda jumjumah dalam bahasa aceh maupun sunda,
namun dalam bahasa Jawa masih kurang diperhatikan. Papenhuyzen menampilkan
perdebatan diantara para ahli seperti yang nampak dalam katalog Behrend maupun
katalog Pigeud mengenai manuskrip Jawa yang mengkisahkan tentang cerita
tengkorak. Dimana Behrend menyebutkan dalam katalognya mengenai Suluk Pathak atau lagu tengkorak dalam
versi Macapat yang mana konten isi merupakan dialog antara nabi Yesus dan
tengkorak raja. Kemudian dalam katalog Florida dengan judul Serat Pathak
(serat Raja Kepala) yang tersimpan di museum Kraton Surakarta dengan
tanggal pada awal abad ke-19. Sedangkan dalam katalog Pigeud mengenai manuskrip
jawa tentang cerita tengkorak diberi judul Serat
Pathak Utawi Serat Kabar Neraka.
Cerita mengenai
tengkorak dalam kebudayaan Jawa sangat nampak pada serat pathak utawi serat kabar neraka,yang tersimpan dengan kode MS
LOr 5769 dalam katalog Pigeud, diindikasi naskah serat pathak ini kurang dibaca secara luas. Bentuk prosa dari serat pathak ini menunjukkan bahwa
neskah ini ditulis pada abad ke-18 atau ke-19. Dalam MS LOr 5769 serat pathak dibagi menjadi 7 tembang
dalam 4 metre yang berbeda, antara lain : Dhandhanggendis (18 bait),
Asmarandana (43 bait), Pangkur (23 bait), Sinom (19 bait), Dhandhanggendis (18
bait), Asmarandana (37 bait) dan Dhandanggendit (7 bait, tidak lengkap). 18
bait dalam Dhandhanggula metre menjadi tembang pertama dalam serat pathak yang hampir sama dengan
tembang 297 dalam serat centhini. Papenhuyzen
juga memberikan gambaran mengenai kesamaan dalam tembang kelima dari serat centhini (Maskumambang) dengan serat pathak (dhandhanggendis) mengenai
gambaran 7 tingkatan neraka dalam kehidupan setelah kematian yang dialami oleh
tengkorak dalam tradisi Islam. Kemudian Papenhuyzen juga memberikan bentuk
kesamaan walau berbeda metre dari kedua naskah literature jawa itu dalam serat centhini (Megatruh) dan serat pathak (Asmarandana). Pada akhir
cerita tengkorak, tembang dalam serat
pathak tiba-tiba berhenti diawal dari pertengahan bait ke-8
(Dhandhanggula), berbeda dengan seart
centhini dalam metre Pucung yang mengakhiri cerita tengkorak sampai akhir.
Walau
kedua serat ini memiliki kesamaan dalam beberapa hal, namun juga memiliki
perbedaan. Tiga bait pembuka dalam serat
pathak : “the story which is told is
from the kitab rajullah”, berbeda
dengan awal dari kitab mamahi dalam serat centhini yang menceritakan
perjalanan dua tokoh yang tinggal menumpang dengan tuan rumahnya di desa Jawa
Timur, dan berdiskusi dengan tuan rumah sampai akhirnya untuk menjawab diskusi
tersebut, Cebolang (tokoh utama dari dua tokoh yang menumpang), membaca kitab mamahi yang isinya menceritakan
bagaimanan pertemuan antara nabi Isa dan tengkorak raja Syiria. Namun dalam kedua naskah leteratur
Jawa itu dalam artikel Papenhuyzen menganggap bahwa konsep dunia ini seperti “pasar”
untuk kehidupan setelah kematian seperti yang ada dalam literatur islami
lainnya kurang sesuai dengan pandangan islam di akhirat yang disajikan dalam
teks ini (serat pathak dan serat centhini).
Banyak
persamaan diantara dua versi Jawa mengenai cerita tengkorak, memberikan
gambaran bahwa naskah itu memiliki dasar yang umum, meskipun belum tentu
berasal dari text yang sama. Walau memiliki banyak kesamaan namun menurut
Papenhuyzen, serat centhini secara
konten lebih lengkap dan juga memiliki gaya puitis yang lebih canggih. Begitu
banyak kesamaan dalam bentuk da nisi antara serat
pathak dan kitab mamahi dalam serat centhini, menurut Papenhuyzen
kedua naskah itu mungkin dianggap sebagai varian satu sama lain. Namun
Papenhuyzen menyebutkan meskipun legenda tentang siksaan neraka yang disajikan
dalam serat pathak jelas bersifat
islami, tapi pesan dalam leganda ini tidak secara eksplisit menunjukkan dalam
bentuk kesalehan yang islami. Penggambaran mengenai pemurnian dosa dalam api
neraka membuktikan bahwa konsep ini telah ditemukan dalam salah satu manuskrip
Jawa tertua yaitu Kunjarakarna
Dharmakathana yang diperkirakan sudah ada sejak pertengahan kedua abad
ke-14 atau ke-15. Dalam manuskrip jawa ini juga digambarkan bagaimana penebusan
dosa dalam bentuk hukuman di neraka bagi mereka yang ketika hidup tidak patuh
pada Hukum. Ini memberikan gambaran bagaimana penyiksaan di nereja yang mirip
dengan yang dideskripsikan dalam serat
pathak. Namun ada perbedaan mendasar dari kedua manuskrip jawa ini (Kunjarakarna Dharmakathana dengan serat pathak). Dalam Kunjarakarna Dharmakathana yang bercorak Buddha digambarkan seseorang
akan dihukum di neraka apabila berbuat tidak baik kepada sesama manusia, namun
dalam serat pathak digambarkan
tengkorak raja syria yang semasa hidupnya berbuat baik kepada sesama manusia
namun menyembah patung sapi tidak percaya pada nabi Isa, sehingga tengkorak
raja Syria mendapat siksa di neraka.
Sehingga
dalam conclusion Papenhuyzen
mengatakan bahwa serat pathak yang
berpesan islami merupakan representasi dari kelanjutan jenis cerita pra-islam
yang popular di Jawa selama berabad-abad.
Post a Comment