Suatu Passe-Partout Sekitar Penulis-Penulis Sedjarah Tentang Indonesia oleh Eka Ningtyas (13/352418/PSA/7493)
G.J
Resink dalam karyanya yang berjudul Suatu
Passe-Partout Sekitar Penulis-Penulis Sedjarah Tentang Indonesia, berusaha
memberikan gambaran mengenai beberapa penulis yang menuliskan historiografi
Indonesia. Pada awalnya saya mengalami kebingungan dengan makna dari passé-partout yang diutarakan oleh
Resink, namun saya berakhir pada suatu kesimpulan bahwa makna dari passé-partout tersebut merupakan sebuah pembingkaian
yang disusun oleh para penulis historiografi Indonesia. Sebelum berbicara
panjang lebar sebenarnya mengapa Resink perlu untuk menuliskan hal ini? Hal
menarik apa yang menjadi diskusi dari Resink mengenai penulisan historiografi
Indonesia pada masa dekade awal penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda? Seberapa
jauh analisis Resink mengenai kecenderungan yang ada dalam penulisan
historiografi Indonesia pada masa itu?
Resink
merupakan seorang keturunan Belanda yang dilahirkan di Yogyakarta dan menjadi
generasi pertama yang memilih kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1949[1].
Seperti kita ketahui artikel ini ditulis dua tahun setelah W.Ph. Coolhaas
mengeluarkan karyanya yang berjudul van
koloniale geschiedenis en geschiedenis van Indonesie, van historici en
taalambtenaren. Dalam artikel ini Resink memberikan semacam sanggahan
beberapa pendapat Coolhaas mengenai Resink yang dianggap beraliran Batavia,
walau disebutkan kemudian lebih lanjut oleh Resink bahwa konsep Aliran Batavia
yang diutarakan Coolhaas berbeda dengan aliran Batavia de Graaf. Nilai dari
seorang Resink sebagai seorang keturunan Belanda yang memilih kewarganegaraan
Indonesia, tentu saja membuat Resink memiliki pemahaman yang berbeda dengan de
Graaf[2]
maupun Coolhaas[3]
dalam menuliskan historiografi Indonesia.
Resink
memahami semangat nasionalisme yang melanda Indonesia pada masa itu membawa
kecenderungan untuk menuliskan sejarah yang indonesiasentris, dimana dalam
beberapa tulisan sejarah yang dihasilkan oleh sejarawan kewarganegaraan asing
masih sangat terasa Eropasentris maupun Nerlandosentrisnya, sedangkan sejawaran
Indonesia pada masa itu belum banyak seperti sekarang, beberapa nama disebutkan
oleh Resink seperti Sartono Kartodirjo, Muhammad Yamin dan Pringgodigdo. Namun
ada sikap yang diambil Resink dengan tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan
dari aliran Batavia, aliran Utrecht maupun aliran Leiden dari segi ideologi,
realisme, prespektif, metode maupun metodologi, hanya berusaha memberikan
penjelasan bahwa pada saat itu ada perbedaan aliran yang merujuk pada
“kesiswaan” dan “subyektifitas dalam penulisan sejarah Indonesia dan dari
ketiga aliran tersebut banyak memberikan usaha yang besar pada bidang sejarah
Indonesia.
Resink
membagi menjadi empat faktor mengenai berbagai kecenderungan bingkai passé-potrait dalam penulisan
historiografi Indonesia, pertama Resink mengutarakan bahwa keberanekaragaman
kebangsaan dari penulis sejarah Indonesia, ada orang Belanda (baik Eropa maupun
Indo), Inggris, Perancis, Jerman, Swiss, India, Amerika dan Indonesia (Jawa dan
Sumatra). Dari keberagaman kewarganegaraan tersebut menghasilkan keberagaman
bahasa dalam kaitannya dengan alat pengertian dan pilihan linguistik kata yang
diserap dalam tulisan sejarah Indonesia. Bagaimana pentingnya bahasa yang
dipakai dalam suatu tulisan serta untuk untuk lingkungan kebudayaan mana
tulisan itu dibuat. Resink memberikan contoh tulisan Vlekke yang berjudul Nusantara dan Van Mook yang berjudul Indonesie, Nederland en de Wereld, dimana
Resink menuliskan bahwa ada perbedaan ketika Vlekke dan Van Mook menuliskan
karyanya di Belanda dan diluar Belanda (Amerika). Resink berpendapat justru
tulisan Vlekke dan Van Mook dalam bahasa Belanda berapa jauh dibawah tulisannya
yang berbahasa Inggris, sehingga penulis yang sama dengan pokok penelitian yang
sama mempunyai pandangan dan pendekatan yang berbeda terhadap hal yang
dipilihnya dan perbedaan itu lebih karena menggunakan suatu bahasa yang berbeda
untuk pembaca yang berbeda pula.
Faktor
kedua masih berkaitan dengan yang pertama dimana keberagaman bangsa
menghasilkan keberagaman bahasa dan tentusaja mempengaruhi ciri kejiwaan dari
lingkungan kebudayaan tempat penulis berasal. Hal ini yang kemudian menurut
pemahaman saya memberikan andil besar dalam sentrisme
yang dipilih oleh sejawaran, berdasarkan ciri kejiwaan dari lingkung tempat
dia berasal.
Factor ketiga yaitu berbagai macam latar
belakang pekerjaan dari para penulis yang menyumbangkan sebuah historiografi
Indonesia pada masa itu, yaitu dari pelancong, pegawai perkebunan, pegawai
pemerintahan, dokter, insinyur, misionaris, zending, ahli purbakala, ahli
ekonomi, pelukis, ahli etnografi, seniman, ahli bahasa dan bahkan ahli hukum.
Dari semua itu menurut Resink memiliki kesamaan yaitu tulisan yang dihasilkan
belum sampai pada jenis tulisan sejarah yang sebenar-benarnya.
Faktor
keempat yaitu adanya berbagai aliran yang berkembang pada saat itu yaitu antara
lain aliran Utrecht, aliran Batavia dan aliran Leiden, namun dalam artikel ini
Resink menyebutkan bahwa pada masa de Graaf aliran Leiden tidak nampak, yang
ditonjolkan hanyalah aliran Utrecht dan Batavia, berbeda dengan Coolhaas yang
menyebutkan ketiganya. Menurut Resink dengan menyebut “aliran” maka akan
merujuk pada dua hal yaitu : “subyektifitas” dan “kesiswaan” . Hal ini tentu
saja kurang memuaskan para sejarawan obyektif mengingat pada masa itu yaitu
pada awal abad ke-20 merupakan masa-masa paradigma positivisme[4]
pada yang mengedepanhal hal-hal empiris untuk menghasilkan sesuatu yang
bersifat obyektif.
Dari
keempat factor yang memperngaruhi pembingkaian pass-partout penulis historiografi Indonesia, Resink juga
memberikan beberapa perdebatan dari para ahli mengenai banyaknya tafsiran
interpretasi yang dihasilkan dari penulis sejarah pada masa itu. Hal ini
berkaitan dengan aliran-aliran, spesialisme, perbedaan penggunaan bahasa,
perbedaan latarbelakang kebudayaan, perbedaan pekerjaan, latarbelakang
pendidikan dan orientasi penulis mengenai sejaah Indonesia. Antara lain
meminjam istilah Morris R. Cohen yang mengatakan hal tersebut justru memberikan
pandangan yang multidimensional pada penulisan sejarah Indonesia. Hal ini juga
di katakana oleh Renier yang mengatakan bahwa sejarah sebagai ilmu pengetahuan
tidak memegang kuasa tunggal dari sejarah sebagai realitas. Sehingga Resink
menyebutkan seperti yang dirumuskan oleh Romein yang mengtakan bahwa sejarah
sebagai realitas sudah menyebutnya sejarah sebagai peristiwa dan ilmu sejarah
sebagai perumusan representatifnya. Sehingga sejarah sebagai realitas yang
direpresentasikan atau dihadirkan kembali oleh penulis sejarah.
Resink
juga memberikan penjelasan mengenai sifat subyektifitas dari kelompok yang
masih memiliki hubungan erat dengan orang-orang Eropa pada masa itu yang
kemudian mempengaruhi tulisannya menjadi lebih Eropasentris atau
Nerlandosentris dengan tidak mempercayai mitos yang ada di Indonesia namun
lebih percaya pada mitos kekuasaan Belanda yang memerintah selama berabad-abad
lamanya[5].
Tulisan-tulisan yang dihasilkan tentu saja akan mengalami pergeseran dengan semakin
banyaknya jumlah sejarawan Indonesia dan berkurangnya jumlah sejarawan Belanda
yang akan mempengaruhi bentuk penulisan sejarah berdasarkan sentrisme-nya.
[5]
Dari pendapatnya mengenai mitos kekeuasaan Belanda ini kemudian G.J. Resink
menghasilkan sebuah karya yang mempertanyakan apakah benar Belanda sebagai
imperialism menguasai Hindia Belanda selama 350 tahun? Baca : Resink, G.J. Bukan 350 Tahun Dijajah. Terjemahan.
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2012).
Post a Comment